"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng
Dokter Marzuki tersenyum pada Laila dan di sampingnya, Yasmin menatap Laila antara takut dan malu. "Dokter Marzuki?" "Iya. Mbak La."'Wah, kesempatan dan kesemutan nih,' bisik hati Laila riang. 'Tunggu, ini mimpi nggak sih kalau dokter Marzuki ke rumah?' Laila lalu mencubit lengannya dan tak lama kemudian dia mengelus lengannya karena merasa nyeri. 'Wah, nggak ada hujan, nggak ada panas, mendadak ada calon suami dan calon anak sambung bertamu nih,' batin Laila. Dia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Yasmin. "Hai Yasmin cantik! Apa kabar nih? Masuk yuk ke rumah kakak?" tawar Laila mempersilakan anak dokter Marzuki untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hm, iya mbak La, terimakasih ya sebelum nya dan maaf mengganggu. Tapi kami di sini saja. Cuma ingin bertanya dimana alun-alun di daerah sini. Soalnya ..,""Ada siapa, La?" terdengar suara dari belakang punggung Laila. Laila dan Marzuki menoleh ke arah suara itu. "Oh Pak dokter! Kenapa cuma berdiri saja di luar?" tanya Pak Jaka, ayah
"Apa tidak merepotkan dokter Marzuki kalau Laila ikut ke alun-alun?" tanya Pak Jaka menatap dengan tidak enak ke arah dokter Marzuki. Dokter Marzuki menggelengkan kepalanya. "Insyallah tidak. Justru nanti mbak Laila bisa menjadi guide saat saya dan Yasmin kuliner.""Kalau begitu saya ganti baju dulu ya, Dok."Laila melesat ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban dari dokter Marzuki.Di depan kaca, Laila termangu. Dirinya memang termasuk bongsor dengan tulang bahu lebar. Bentuk dada dan pantat lebih subur dari anak seusianya. Jadi dia selalu menganggap bahwa badannya gemuk. "Ck, apa nggak ada baju yang jika dipakai bisa membuat lebih langsing seperti Lina blackping?" gumam Laila kesal. Akhirnya diraihnya baju lengan panjang dan celana kain hitam. Tak lupa jilbab warna navi menutup kepalanya. "Haduh, nggak punya bedak sama lipstik lagi. Udah baju gelap, wajah pucet, ck. Ini mau ke alun-alun apa mau takziyah. Duh Laila!" Laila menepuk jidatnya sendiri."Kamu jadi ikut dokter Marzuki, M
DOKTER 14 Laila dan Yasmin menoleh ke asal suara. Tampak Dokter Marzuki menyedekapkan kedua tangan di dada sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menahan senyum. Terlihat ekspresi wajah gemas juga merasa aneh saat melihat Laila yang baru saja merayap turun dari pohon mangga. "Papa!" seru Laila riang. Marzuki menatap ke arah anaknya dan Laila bergantian. "Wah, kamu dapat layang-layang, Sayang?" tanya Marzuki seraya menatap ke tangan anaknya yang sedang mengacungkan layang-layang itu. "Ya, mbaknya yang dapat. Mbaknya pintar banget manjat pohon, Pa. Kayak monyet!"Marzuki langsung mendelik dan menatap sungkan pada Laila. Sementara itu, Laila tertawa lebar mendengar ucapan polos Yasmin. "Yasmin Sayang. Nggak boleh ya ngatain manusia kayak binatang. Nama mbak ini, mbak Laila.""Panggil saja Mbak La, Min," sahut Laila sambil meletakkan mangga ke meja kayu yang ada di teras rumah dokter Marzuki. "Pa, aku mau dong pintar manjat pohon kayak mbak La!" seru Yasmin dengan bersemangat.
"Yasmin, layang-layang nya sudah rusak lho. Jadi nggak bisa terbang tuh."Bibir Yasmin mengerucut seraya masih memegang layang-layang itu erat. "Tapi Pa, Yasmin mau nya besok main layang-layang, Pa. Ya Pa? Masa Yasmin setelah sekolah harus ikut papa terus di puskesmas?" tanya Yasmin dengan nada memprotes. Dokter Marzuki hanya menghela nafas panjang. Laila langsung merasa bersalah karena dia juga lah yang mengambil layang-layang dari pohon mangga tadi sehingga Yasmin rewel. "Di alun-alun banyak kok layang-layang. Kita bisa beli satu," ujar Yasmin. "Dan kalau papa kamu nggak bisa menemani kamu main layang-layang, biar mbak La saja yang menemani kamu main layang-layang besok.""Wah, benarkah Mbak La mau menemani Yasmin bermain layang-layang?" tanya Yasmin dengan mata berbinar. "Bukannya besok kamu sekolah, Mbak La?" tanya Dokter Marzuki seraya melirik sedikit ke arah Laila. "Ya sekolah, Dok. Tapi kan besok hari Jum'at. Jadi sekolah cuma sampai jam 10.30.""Kamu beneran nggak masalah
"Harus dijawab sekarang?" tanya dokter Marzuki. Laila tersenyum nyengir dan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Tidak dijawab pun tidak apa-apa. Maaf kalau saya membuat Dokter menjadi tidak nyaman ya."Dokter Marzuki hanya menghela nafas panjang. "Yah, saya tidak menyangka jika harus membicarakan masalah ini dengan gadis yang belum menikah," sahut dokter Marzuki tersenyum kecut. "Tapi entah kenapa saya merasa ingin menceritakan padamu, Mbak La.""Saya akan siap mendengarkan nya. Kalau perlu bahkan saya akan menanggapi nya. Saya ini pembaca novel kisah cinta. Siapa tahu kita bisa sharing, Dok. Atau kalau bukan begitu, barangkali saya bisa membuat dokter bertambah pusing." Laila mencoba melucu untuk mencairkan suasana. Dan berhasil. Dokter Marzuki tertawa terbahak. "Kamu lucu, Mbak La."Laila menanggapi ucapan Dokter Marzuki dengan senyuman. Hatinya berbunga bisa ngobrol dengan pujaan hatinya. "Yah, tentu saja, Dok. Saya kan masih satu almamater dengan Nina Nose," sah
"Ayu? Juleha?" tanya Laila mendelik ke arah Ayu dan Juleha. Ayu dan Juleha pun tak kalah terkejutnya saat melihat Laila berjalan bersama dengan dokter Marzuki. Bahkan keduanya melongo dengan tatapan mata yang membulat sempurna. "Kamu dan Ayu kenapa melotot sih? Kayak baru saja lihat hantu saja," tegur Laila setelah berhasil menetralkan detak jantung yang berdebar lebih cepat karena ketahuan jalan berdua dengan dokter Marzuki. Di belakang Ayu dan Juleha tampak Rangga dan Soni pacarnya Ayu. "Yah, tentu saja kami kaget. Kamu kok jalan-jalan dengan dokter Marzuki dan anaknya sih?" tanya Ayu. "Iya. Kayak keluarga baru saja," timpal Juleha. "Ah, kalau soal itu ..,""Tadi Yasmin rewel, minta naik odong-odong. Dan mbak La ini berbaik hati untuk mengantar kami ke alun-alun di sini," sahut dokter Marzuki tersenyum, memotong ucapan Laila. "Wah, enak banget ya si Laila, dia pasti senang karena bisa jalan-jalan dengan dokter," kata Ayu penuh rasa iri. Rangga yang berdiri di belakang Ayu beru