Hening ....Hanya suara isakan aku dan Reta terdengar. Pelan Mas Gading duduk melantai dekat dinding, sama tempatku bersandar. Dia menatapku dari jarak dua meter. "Semua orang ada masalahnya, Bulan. Tapi menyelesaikan persoalan dengan mengakhiri hidup tidak benar. Apa bedanya kita dengan orang kafir? Hanya siksa abadi di neraka yang kita dapat setelahnya. Sungguh merugilah dengan amal ibadah selama ini." Kalimat lelaki enam tahun di atasku itu, sukses membuat badanku berguncang hebat. "Banyak orang di luaran sana menginginkan anak, sampai operasi dengan mengeluarkan dana ratusan juta. Karena itu harta termahal di dunia. Kenapa kamu menolaknya? Tak sedikit orang yang bisa melahirkan, mendidik, dan menghidupi darah daging mereka dengan status orang tua tunggal. Kenapa kamu malah down begini? Jangan membiarkan sakit hati, membuatmu menyesal seumur hidup. Pikirkan orang tua, saudara-saudara, Reta, bahkan aku yang menyangimu."Mas Gading menatapku kian teduh. Lalu merangkai senyuman da
"Kamu nggak perlu pulang, Ta. Biar aku yang antar Bulan periksa," telepon Mas Gading ke Reta, sosoknya tiba-tiba muncul dengan pakaian dinas, mobilnya sudah diparkir di pinggir jalan, saat aku duduk menunggu di teras sambil melihat perkembangan toko lewat aplikasi di HP. Nampaknya lelaki yang dikagumi banyak wanita itu, tahu jadwal kontrolku. "Tidak usah merepotkan diri, Mas. Apa kata orang nanti pegawai pemerintah, kok, keluyuran di jam kantor?" ujarku memasukkan ponsel di saku."Paling aku jawab, lagi antar istri," Dehgt, jawaban Mas Gading sukses membuatku tersedak dengan liur sendiri, pun wajahku memerah akibat batuk. Apakah ini alasan dia bersikap aneh akhir ini? Ini tidak boleh tejadi, kesalahan besar jika yang kupikirkan itu benar."Ayok! Ntar, aku dapat hadiah kata mutiara dari atasan kalau telat pulang," ujarnya menyadarkanku dari terpakuan. Ah, kenapa lelaki aneh ini semakin aneh, yang semakin membuatku salah kaprah."Bulan nggak bisa, Mas. Fitnah!" tolakku halus. Wajahnya
"Cara gendong bayi bukan gitu, Bang!" Sini, sini, ma tante, Sayang. Jangan mau ke Om Gading, gara-gara dia kamu hampir celaka." Reta mendekat dan mengambil alih bayi di gendongan Mas Gading, yang memang terlihat tegang, nyaris tidak goyang di duduknya. Wajarlah, belum pengalaman. Dia menarik senyum kecut mendengar kalimat terakhir adiknya. Aku terpaksa melahirkan caesar. Stres hampir menyebabkan pendarahan. Untung kejadiaannya tidak jauh dari rumah sakit, jadi cepat ditangani. Tak mampu membayangkan andai .... Ah, sudahlah, tak perlu disesali. Yang penting malaikat kecilku telah lahir dengan selamat. Mas Gading terlihat menunduk, kuyakin ucapan Reta sukses membuat dia bersalah. Aku tak tahu kenapa wanita bergincu merah itu sangat marah. Toh, kami tidak ngapa-ngapain. Tak membuncit lagi ini perut, aku nggak mungkin merampas calon suaminya. Apalagi...? Huft, cinta memang sering membuat orang buta, pun membuat kehilangan simpati, Seperti Mas Rio dan ...? Arght ...! Inilah efek luka d
Kami pulang setelah tiga hari di rumah sakit. Aqiqah dimasukkan ke pondok pesantren sekitar lima puluh kilo dari rumah Reta. Lokasinya berada di kaki bukit yang dapat kami tangkap mata dari sini. Itu kata Mas Gading yang sempat beberapa kali ke sana. Ada dua alternatif melakukan sunnah ini, menghemat tenaga, juga bersedekah makanan pada anak-anak penghapal Kalam Ilahi di pondok tahfidz, semoga semuanya bernilai pahala di hadapan Allah.Ulul Azmi, dipanggil Azmi, itulah nama yang diberi Reta, sementara Mas Gading tidak komplein. Aku setuju menerima saja, selain artinya bagus, Azmi juga adalah nama penyanyi berbasic sholawatan, Gus Azmi. Hatiku senyumi-senyum sendiri membayangkan putraku akan seperti dia. Tumben juga dua saudara itu tidak berdebat dulu atas pemberian nama itu? Malah seperti kompak? Padahal, sejak Azmi lahir, mereka berdua paling heboh, pun pendapatnya harus terjadi. Atau jangan-jangan di balik nama itu ada sesuatu yang istimewah? Entahlah."Adeknya Nailah ..." Gadis ke
Cepat melajukan motor yang kuambil saja tadi. Mudah-mudahan tidak dituduh seperti yang kulakukan pada abinya Nailah. "Maaf, maaf banget, Mas. Aku benar-benat kepepet tadi," ujarku dengan menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf pada lelaki yang memakai helm, yang sementara celingak-celinguk mencari motornya, dari penampilan kemungkinan pegawai koperasi.Dia kemudian berlalu setelah memeriksa roda duanya, lalu berlalu tanpa sepata kata, yang sukse membuatku merasa bersalah. Lengkaplah sudah keteledoranku ini hari.Sore hari, Reta dan Mas Gading belum pulang. Biasanya di waktu-waktu begini mereka berebutan menggendong Azmi, keluar jalan-jalan atau kadang membawanya bercengkrama depan rumah. Kali ini aku memutuskan membawanya sendiri, minimal duduk-duduk di teras.Baru berapa menit meletakkan bokong sambil melantunkan salawat pelan, dadaku berdebar keras melihat mobil putih menuju ke mari. Semakin dekat irama jantung menggila mengetahui siapa pengemudinya. Orang yang kutuduh tadi sia
"Sudah tanya abi dan Simbah?" tanyaku yang diangguki Nailah cepat."Hore ..., kita lets go!" Heboh Azmi dan Nailah ketika motor telah melaju. Sampai di tujuan, toko sudah terbuka. Pak Saleh menjadi orang kepercayaanku mengurus dan menjaga beserta semua isinya, kecuali bagian kasir hanya aku dan Reta yang boleh di area sana. Mungkin kalau darurat, lelaki kepala empat itu akan jadi pengganti. Toko diistirahatkan selama waktu salat. Semua pekerja diminta menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Bukan sok agamais yang dikejar. Menjalankan perintah, itu yang kami mau biasakan."Ada yang nyari di luar, Bu!" ujar Pak Saleh dari luar bersamaan dengan suara ketukan pintu. Ah, bapak itu, sudah kuminta jangan panggil ibu, masih juga tak bisa berubah. Padahal umurku belum terlalu tua, dua puluh empat tahun tujuh bulan, jauh dibawa usia Pak Saleh. Terserah beliau sajalah, yang penting dia bahagia. Atas toko bangunan ini, sengaja direnov. Ada satu kamar pribadiku bersama anak-anak, satu kamar unt
Belum sempat memperbaiki posisi jantung, lelaki pencipta debar itu keluar dengan menggendong Azmi, sementara Nailah mengikutinya. Mata kami sempat bersirobok sejenak sebelum dia meletakkan Azmi di kursi dekatnya, lantas dia pun duduk. Sekarang kami berhadapan, terasa sangat canggung luar biasa, bahkan Reta sempat tersedak. Mungkinkah karena kehadiran lelaki pemilik wajah dan postur tubuh nyaris sempurna itu? Huft ... Sebenarnya tak ingin menerka-nerka, tapi keadaan memaksa melakukannya.Kami memulai makan tanpa bersuara, tepatnya aku pribadi tak ingin mengeluarkan suara, Reta pun ikut-ikutan melakukan hal sama, hanya Nailah dan Azmi yang terdengar heboh. Ah, aku benci suasana kaku begini, Reta terlihat lebih banyak menunduk dan sekali-kali mencuri pandang pada lelaki di seberang meja, padahal aslinya dialah pemimpin barisan kehebohan Nailah dan Azmi yang sebenarnya selama ini."Mbah hari ini ceritanya sukuran, karena Nailah dan abinya akan resmi menemani Simbah di sini." Mbah Halim
"Kok bisa, ya, anak ini mirip banget kamu?""Iyya, jadi heran, kok, persis amat.""Jangan-jangan anak ini hasil dari pembuangan sembaranganmu, Brow!""Cari informasi siapa tahu beneran ini anak lo!"Tubuh makin tak bisa bergerak mendengar berbagai komentar teman-teman Mas Rio. Persendianku seakan hilang fungsi, hanya mata dan pendengaran yang awas ke tempat berjarak sepuluh meter itu. Sementara dalam gendongan sang ayah, Azmi bereaksi gemes ketika orang-orang sekeliling menggoda, memegang pipi, dan bahkan ada yang menciumnya. Andai tahu lelaki pemicu emosi jiwa itu ada di sini, aku tidak bakalan pernah mau ikut sama Reta. Jadi niat awalku yang ingin ikut melihat-lihat, membeli juga satu unit bila tabungan terkumpul, akhirnya jadi ambyar total. "Namanya siapa anak guanteng?" Mas Rio memencet pelan hidung Azmi. "Azmi." Bocah itu menyingkirkan tangan Mas Rio lalu mengusap hidungnya yang mulai kemerahan. Sontak terdengar gelak tawa di sekitarnya. "Papa dan mamanya mana, Sayang?" tany