Moana berjalan menatap rumah keluarga yang kini sudah tidak ditempati lagi itu. Banyak kenangan yang dia miliki di rumah tersebut. Sepuluh tahun dia menjadi menantu keluarga Dinata dan tingal bersama-sama. Hatinya kemudian menjadi sedih mengingat ibu mertua dan sudara iparnya ternyata sudah pergi meninggalkan dunia ini.“Ada proyek besar-besaran di sebelah sana tanpa memperhitungkan untung ruginya bagi lingkungan. Karena itu kawasan ini menjadi langganan banjir. Setelah ibu meninggal, rumah ini seperti kehilangan kharismanya. Banjir membuat banyak barang kenangan kami rusak, termasuk foto-foto kita”Purwa menjelaskan pada Moana saat mereka melangkah ke dalam rumah keluarga Dinata yang lama.“Oh, sayang sekali. Dulunya di sekitar sini sangat asri dan jauh dari polusi kendaraan. Baru juga 24 tahun ya?”“Jangankan 24 tahun, 24 jam saja kalau kita tidak mengikuti perkembangan dunia, kita sudah jadi manusia purba.”Purwa terkekeh sambil menggandeng lengan Moana masuk ke dalam. Terlihat Ama
Moana mengutarakan keinginanya untuk bisa bermalam di rumah lama Dinata. Rumah ini membuatnya rindu pada banyak kenangan yang dia habiskan dulu ketika menjadi istri Purwa. Dan dengan tanpa penolakan Purwa mengiyakan.“Aku akan minta Ujang mengirim makanan, anak-anak juga harus diberitahu ini,” tukas Purwa hendak beranjak. Namun Amanda dan Wisnu sudah terlihat datang.“Sudah hampir maghrib, tidak balik, Ma?” tanya Amanda pada Moana.“Mamamu mau menginap di sini, kau tidak keberatan kan?” tanya Purwa.“Oh, bagaimana Mas?” Amanda menatap suaminya, biasanya Wisnu masih ada yang di kerjakan di ruang kerjanya meski itu di rumah. Karena itu Amanda meminta pendapatnya dulu.“Kalau kau juga mau menemani Mama, tidak apa kok!” tukas Wisnu mengundang senyum manis istrinya. Amanda memang selalu manis, kecuali jika menyangkut cemburunya itu.“Terima kasih, Mas!”“Ya udah, kita siap-siap Maghrib dulu,” tukas Moana pada yang lain.“Tapi aku enggak ikut, baru tadi pagi dapet!” bisik Amanda pada Wisnu.
Untuk sesaat Annisa tidak bisa berkata apa-apa. Apalagi Wisnu menatapnya tanpa ekspresi seolah membicarakan tentang sebuah pekerjaan, bukannya tentang perasaan.Apakah pria ini juga bersikap begitu pada Amanda? Sedingin inikah sikapnya pada semua wanita?Tidak! Seingat Annisa, Wisnu selalu lembut dan hangat pada istrinya.“Anda mau memutasi saya?” Annisa tergagap, nyalinya yang ciut jadi semakin menciut. Dia menyesal sudah memberanikan diri mengungkapkan perasaannya itu. Biasanya Wisnu sangat mengistimewakannya dan akan mendengar apapun yang disampaikannya.“Aku bertanya padamu, apa kau mau pindah?” ucap Wisnu masih dengan nada santainya. Menampakan sikap bossy yang sesungguhnya. Gaya bahasanya lugas dan tidak bertele-tele.“Ke-kenapa harus pindah, Pak?” Annisa masih tergagap.“Barangkali kau kurang nyaman.” –bekerja bersama orang yang membuatmu jatuh cinta. Kalimat yang terakhir itu hanya ada di kepala Wisnu. Annisa wanita yang cerdas, pastilah dia tahu apa maksud ucapan Wisnu yang
Amanda selesai dengan cepat karena tidak ada kesulitan yang berarti. Dia teringat tantenya yang berencana akan membuka butik di Jakarta lalu merasa tidak ada salahnya jika membantunya. Sekarang dia pergi ke tempat di mana Nola memarkir mobilnya. Tapi dia tidak menadapati mobilnya di sana.‘Ke mana Nola?’ batinnya bertanya dan hendak menghubunginya.Dari arah samping seseorang menghampiri.“Amanda?” sapa seorang pria.“Oh, Edwin?” Amanda terkejut.Edwin adalah teman seangkatannya tapi di semester ke lima Edwin mengajukan cuti karena dia lebih fokus pada kontrak sebuah stasiun televisi terkait program kesehatan. Edwin menjadi salah satu host-nya.“Kau belum selesai juga skripsi?”Edwin menatap map yang dipegang Amanda dan menyimpulkan bahwa Amanda masih ribet dengan tugas akhir.“Haha, iya. Apa kau akan melanjutkan kuliahmu?”“Sepertinya, tapi mungkin aku ambil yang daring saja. Biar bisa tetap lanjut program TV-nya.”“Wah, hebat kamu, Ed! Aku juga sesekali nonton acaramu kok!”“Bagaima
Di area parkir khusus para direksi itu sebenarnya tidak sepi. Banyak mobil hilir mudik dan juga beberapa orang keluar dan masuk mobil. Tapi mereka tidak menyadari, bahwa di dalam mobil sang big bos perusahaan Dianta itu sedang ada sedikit pertikaian yang lumayan membuat tegang. Bagaimana tidak tegang, Amanda duduk di atas paha Wisnu dengan menghadap ke arahnya. Sementara sejak tadi dia tidak mau diam dan terus merangseknya. Wisnu jadi gemas saja pada bocah nakal ini. Dia kira hanya akan menghadapi bocah tua nakal dalam hidupnya, ternyata dia juga harus menghadapi bocah nakal satu ini. Oh, mereka seperti ditakdirkan untuk selalu menguji kesabarannya. “Kita sedang di mobil, Sayangku!” Wisnu berkata dengan nada tidak berdaya. “Kan tadi Mas Wisnu yang bilang mau memperkosaku?” “Mana ada gadis mau diperkosa malah senang begini?” “Aku udah enggak gadis, ada pria bengis yang sudah menodaiku!” Amanda masih bandel saja, dia malah menciumi bibir Wisnu. “Kamu mau?” Akhirnya runtuh juga im
Selesai menikmati keintiman itu, seperti biasa mereka mandi bersama lalu memesan makanan karena merasa sangat lapar. Sambil menunggu pesanan makanan mereka, Amanda menceritakan progres pengerjaan skripsinya. Dia membanggakan dirinya karena tidak terlalu ada kesulitan yang berarti. Dosen pembimbingnya sangat ramah dan langsung memberinya arahan langsung dalam merevisi kesalahannya.“Baguslah kalau tidak ada kendala,” ucap Wisnu membelai rambut kepala istrinya yang sedang rebahan di pangkuannya. Dia senang melihatnya bangga akan pencapaiannya. Meski sejujurnya Wisnu ada dibelakang semua itu.“Besok aku masih butuh beberapa data tambahan dari rumah sakit.”“Ke rumah sakit kita saja, besok aku antar.”“Tidak perlu, Mas. Aku sama Nola saja, Mas Wisnu belakangan ini kan sibuk!”Wisnu jadi teringat tentang Nola. Sampai saat ini Tito belum melaporkan sesuatu padanya. Dia jadi merasa cemas lagi dan geram pada pelaku penganiaayaan Nola. Jika sampai dia tahu sang pelaku dan motifnya ternyata ing
Purwa mengajak Moana berjalan-jalan sejenak di rumah sakit keluarga Dinata sebelum memulai pemeriksaan rutinnya. Dia juga memperkenalkan istrinya itu kepada beberapa jajaran pejabat di rumah sakit. Semua orang yang mengenal Purwa sangat kagum dengan kesetiaan pria itu pada mantan istrinya dulu hingga memutuskan tidak menikah lagi. Setelah mendengar Purwa akhirnya melepas kesendirian selama puluhan tahun dengan menikah lagi, mereka semua ikut bahagia. Mereka tidak tahu saja, bahwa Purwa menikahi wanita yang sama. “Kau ingat? Dulunya ini adalah balai pengobatan biasa yang sering kau datangi bersama Ibu untuk memberikan santunan pada para pasien tidak mampu.” Purwa mengingatkan. “Iya, aku ingat. Kami sering datang ke tempat ini karena Ibu prihatin dengan kondisi masyarakat sekitar kala itu yang tidak menjaga kesehatan dengan baik di tengah wabah muntaber” Kenang Moana. Mertuanya dulu adalah seorang dokter, tapi karena dinikahi Ayah mertuanya yang merupakan seorang pengusaha kaya raya
Gadis itu terisak mencoba melepaskan tali yang mengikat kuat di kaki dan tangannya. Gerakannya terlihat begitu frustasi karena sejak semalaman dia tidak bisa melepaskan diri. Berharap para penculik itu sedikit lengah hingga dia bisa diam-diam berusaha melepaskan diri. Dia mencoba menggeser duduknya menghampiri meja kaca di sampingnya. Menggesek-gesekan tali itu, meski sangat lama tapi dengan penuh kesabaran akhirnya simpul tali di tangannya pun terlepas. Sekarang tinggal kakinya. Dengan penuh hati-hati dia mencoba menguraikan tali yang terlilit kuat. Sembari melakukan itu, pandangannya tetap awas ke arah pintu. Jangan-jangan penculik itu tiba-tiba masuk dan justru mengikatnya lebih kencang lagi jika mengetahuinya mencoba melarikan diri. Prang! Bunyi sesuatu terjatuh. Membuat jantungnya berdegup kencang dan berharap tidak ada pergerakan dari luar pintu itu. Namun salah! Pintu itu langsung terbuka dan seorang pria tinggi besar menatapnya dengan penuh murka. “Kau masih mencoba melari