Share

5. Pagi Yang Canggung

“Bisa kita bicara sebentar?”

 Ajakan Raya sedikit meresahkan seorang Raihan.

Walau mereka telah menikah tapi tetap saja mereka adalah dua orang asing yang bahkan sebelumnya tak saling mengenal. Raihan mengetahui nama Raya saja, saat dia akan mengucapkan ijab kabul yang dia ikrarkan dengan hati yang dihinggapi kebingungan.

Tapi Raihan yang tipikal pria polos dengan hatinya yang penuh kebaikan itu, menjadi tak bisa menampik ajakan perempuan muda yang sudah berstatus sebagai istrinya itu. Terlebih saat ini Raihan bisa melihat dengan lugas keresahan seorang Raya yang sekarang sedang duduk di sisi ranjang.

Raihan menjadi tak bisa menampik yang membuatnya tetap bertahan di dalam kamar meski dia memilih berdiri di ambang pintu, tetap menjaga jarak di antara mereka.

“Aku mau bicara tentang kita, tentang pernikahan kita.”

Raya sedikit mendesah panjang sembari memandang lugas ke arah pria yang baru saja menikahinya itu.

Gadis itu terlihat menampakkan dominasinya karena memang seorang Raya sejak awal terlalu terbiasa mengatur agar setiap orang terdekatnya bisa selalu melakukan apa yang dia mau.

Raihan memandang kian lekat dengan hati dipenuhi rasa penasaran pada apa yang akan dibicarakan oleh seorang Raya yang sekarang semakin menampakkan garis wajah yang serius.

“Aku sangat yakin kalau kamu pasti keberatan dengan pernikahan kita ini. Apa yang terjadi tadi pasti kamu sesali karena salah paham itu secara langsung sudah menjatuhkan nama baikmu. Dan aku minta maaf untuk itu. Karena menolongku kamu jadi terlibat masalah. Memang saat ini hidupku sedang diliputi kesialan jadi siapapun yang mendekatiku pasti ikut ketiban sial.”

Wanita muda berwajah oval dengan sepasang pipi yang selalu tampak merona itu menjadi semakin terlihat serius.

Sementara Raihan memilih bergeming diam meski terus memberikan perhatian pada gadis muda yang dianggapnya sangat jelita itu.

“Mungkin untuk beberapa saat aku akan merepotkan kamu, karena aku menumpang di rumah ini. Tapi aku janji aku tak akan lama membuat hidupmu susah. Aku janji setelah masalahku terselesaikan, aku akan secepatnya pergi.”

Raya dengan sangat terang mengutarakan segala yang ada di dalam pikirannya.

Raihan yang selalu bisa menganggap setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya sebagai sebuah ketentuan yang harus senantiasa diterima, sedikit tak sependapat dengan wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya itu. Meski pernikahan mereka juga sempat menyeretnya dalam kebingungan juga keresahan yang begitu pelik.

Tapi Raihan enggan untuk memampang ketidaksetujuannya di hadapan seorang Raya yang masih belum dikenalnya itu.

“Kita akan bicarakan semua ini nanti, beristirahatlah saja dulu, ini sudah malam.”

Raihan memilih tak melanjutkan pembicaraan mereka, karena lelaki itu memiliki pendapat sendiri yang akan sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Raya saat ini.

Lelaki itu hanya mengulas senyuman tipis sebelum kemudian membalikkan badan dan menutup pintu triplek kamarnya setelah dia melangkah keluar.

Tak ada yang bisa Raya lakukan selain memandang jengkel pada pria yang masih mempertahankan sarungnya untuk dipakai meski waktu sholat sekarang telah usai, menghilang dari balik pintu.

Sepeninggal Raihan, gadis berparas cantik itu menjadi kian gundah dengan pikirannya sendiri. Sementara keinginannya untuk bisa kembali pada kehidupannya yang semula masih tak pernah ia lepaskan, yang membuat Raya bisa dengan sangat terang-terangan mengungkapkan segala rencananya pada pria yang sudah menikahinya itu, tanpa merasa perlu mempertimbangkan pendapat seorang Raihan yang ia duga pasti merasa terjebak dengan pernikahan mereka ini.

***

Untuk pertama kalinya Raya bisa memejamkan mata dengan sangat nyenyak setelah sekian hari dia selalu merasa resah setiap malam nyaris tak bisa terlelap dengan baik.

Tapi semalam gadis itu bergelung dengan sangat nyaman di atas kasur kapuk yang terasa padat dan agak keras sangat jauh berbeda dengan ranjang king size di rumah mewahnya dulu yang sekarang bahkan telah disita dan harus dia tinggalkan.

Raya baru terbangun saat dirinya merasakan adanya sentuhan pada keningnya, begitu lembab dan dingin yang membuat gadis itu membuka matanya.

Sepasang mata indahnya langsung menangkap sosok sang suami yang sedang berdiri di dekat ranjang dengan pandangan yang diarahkan ke sudut lain tanpa mau menentang sorot matanya.

“Bangunlah ini sudah subuh segera sholat, karena aku akan ke mushola,” ucap Raihan dengan nadanya yang cenderung gelisah.

Raya yang masih mengantuk terpaksa menarik punggungnya tapi tubuhnya yang terasa masih agak penat membuat gadis itu ingin meregangkan otot, dan Raya akhirnya menggeliat sembari melebarkan kedua tangannya.

Namun Raihan segera menjadi heran ketika melihat Raihan malah membelakangi dirinya, terlihat semakin gelisah.

Raya mengernyit keheranan. Tapi tak berselang lama akhirnya dia mulai menyadari keadaan dirinya yang memang hanya mengenakan sehelai minidress dengan tali sphagetti, yang bahkan sudah melorot hingga menampakkan bongkahan padat dadanya yang terlihat sangat membusung.

Malam tadi Raya memang melepaskan jaket denimnya karena terasa sangat tak nyaman jika dikenakan saat tidur. Tapi Raya tetap menyelimuti tubuhnya dengan selimut dari kain jarik yang dipinjamkan oleh ibu mertuanya, yang sekarang telah melorot saat dia tak lagi berbaring seperti sebelumnya.

Raya baru menyadari semuanya, yang membuatnya segera menutup kembali tubuhnya dengan kain jarik batik yang masih ada di dekatnya.

Sementara Raihan sekarang menjadi panas dingin terlalu canggung dengan sepasang pipi yang sudah terlihat memerah karena selama ini pemuda sholeh itu selalu menjaga pandangannya.

Walau Raya telah berstatus sebagai istrinya tapi tetap saja seorang Raihan tak bisa dengan mudah menjalankan pernikahan ini dengan seharusnya karena memang mereka berdua masih merasa asing satu sama lain.

“Aku pergi dulu, assalamualaikum.”

Raihan bergegas pergi dengan segala kecanggungannya yang tak bisa lelaki itu sembunyikan.

Raya menjadi tersenyum simpul meski tadi dia sempat merasa sangat rikuh saat Raihan melihat aset dirinya yang selalu tak pernah diragukan keindahannya itu.

“Wa’alaikumsalam.”          

Setelah menjawab salam suaminya, Raya perlahan bangkit dari tempat tidur dan mulai melakukan apa yang sudah diminta oleh Raihan tadi. Padahal selama ini Raya sering mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan malah menganggap semua itu sama sekali tak bermanfaat. Raya masih terpaksa melakukan semua itu dengan anggapan jika dia bisa menuruti apa yang dikehendaki oleh Raihan maka lelaki yang sudah menikahinya itu bisa dengan mudah untuk ia ajak kerjasama.

Raya terus bermonolog dan menitahkan pada dirinya sendiri untuk bertahan.

‘Ini tidak akan lama, aku yakin, sangat yakin.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status