“Bisa kita bicara sebentar?”
Ajakan Raya sedikit meresahkan seorang Raihan.
Walau mereka telah menikah tapi tetap saja mereka adalah dua orang asing yang bahkan sebelumnya tak saling mengenal. Raihan mengetahui nama Raya saja, saat dia akan mengucapkan ijab kabul yang dia ikrarkan dengan hati yang dihinggapi kebingungan.
Tapi Raihan yang tipikal pria polos dengan hatinya yang penuh kebaikan itu, menjadi tak bisa menampik ajakan perempuan muda yang sudah berstatus sebagai istrinya itu. Terlebih saat ini Raihan bisa melihat dengan lugas keresahan seorang Raya yang sekarang sedang duduk di sisi ranjang.
Raihan menjadi tak bisa menampik yang membuatnya tetap bertahan di dalam kamar meski dia memilih berdiri di ambang pintu, tetap menjaga jarak di antara mereka.
“Aku mau bicara tentang kita, tentang pernikahan kita.”
Raya sedikit mendesah panjang sembari memandang lugas ke arah pria yang baru saja menikahinya itu.
Gadis itu terlihat menampakkan dominasinya karena memang seorang Raya sejak awal terlalu terbiasa mengatur agar setiap orang terdekatnya bisa selalu melakukan apa yang dia mau.
Raihan memandang kian lekat dengan hati dipenuhi rasa penasaran pada apa yang akan dibicarakan oleh seorang Raya yang sekarang semakin menampakkan garis wajah yang serius.
“Aku sangat yakin kalau kamu pasti keberatan dengan pernikahan kita ini. Apa yang terjadi tadi pasti kamu sesali karena salah paham itu secara langsung sudah menjatuhkan nama baikmu. Dan aku minta maaf untuk itu. Karena menolongku kamu jadi terlibat masalah. Memang saat ini hidupku sedang diliputi kesialan jadi siapapun yang mendekatiku pasti ikut ketiban sial.”
Wanita muda berwajah oval dengan sepasang pipi yang selalu tampak merona itu menjadi semakin terlihat serius.
Sementara Raihan memilih bergeming diam meski terus memberikan perhatian pada gadis muda yang dianggapnya sangat jelita itu.
“Mungkin untuk beberapa saat aku akan merepotkan kamu, karena aku menumpang di rumah ini. Tapi aku janji aku tak akan lama membuat hidupmu susah. Aku janji setelah masalahku terselesaikan, aku akan secepatnya pergi.”
Raya dengan sangat terang mengutarakan segala yang ada di dalam pikirannya.
Raihan yang selalu bisa menganggap setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya sebagai sebuah ketentuan yang harus senantiasa diterima, sedikit tak sependapat dengan wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya itu. Meski pernikahan mereka juga sempat menyeretnya dalam kebingungan juga keresahan yang begitu pelik.
Tapi Raihan enggan untuk memampang ketidaksetujuannya di hadapan seorang Raya yang masih belum dikenalnya itu.
“Kita akan bicarakan semua ini nanti, beristirahatlah saja dulu, ini sudah malam.”
Raihan memilih tak melanjutkan pembicaraan mereka, karena lelaki itu memiliki pendapat sendiri yang akan sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Raya saat ini.
Lelaki itu hanya mengulas senyuman tipis sebelum kemudian membalikkan badan dan menutup pintu triplek kamarnya setelah dia melangkah keluar.
Tak ada yang bisa Raya lakukan selain memandang jengkel pada pria yang masih mempertahankan sarungnya untuk dipakai meski waktu sholat sekarang telah usai, menghilang dari balik pintu.
Sepeninggal Raihan, gadis berparas cantik itu menjadi kian gundah dengan pikirannya sendiri. Sementara keinginannya untuk bisa kembali pada kehidupannya yang semula masih tak pernah ia lepaskan, yang membuat Raya bisa dengan sangat terang-terangan mengungkapkan segala rencananya pada pria yang sudah menikahinya itu, tanpa merasa perlu mempertimbangkan pendapat seorang Raihan yang ia duga pasti merasa terjebak dengan pernikahan mereka ini.
***
Untuk pertama kalinya Raya bisa memejamkan mata dengan sangat nyenyak setelah sekian hari dia selalu merasa resah setiap malam nyaris tak bisa terlelap dengan baik.
Tapi semalam gadis itu bergelung dengan sangat nyaman di atas kasur kapuk yang terasa padat dan agak keras sangat jauh berbeda dengan ranjang king size di rumah mewahnya dulu yang sekarang bahkan telah disita dan harus dia tinggalkan.
Raya baru terbangun saat dirinya merasakan adanya sentuhan pada keningnya, begitu lembab dan dingin yang membuat gadis itu membuka matanya.
Sepasang mata indahnya langsung menangkap sosok sang suami yang sedang berdiri di dekat ranjang dengan pandangan yang diarahkan ke sudut lain tanpa mau menentang sorot matanya.
“Bangunlah ini sudah subuh segera sholat, karena aku akan ke mushola,” ucap Raihan dengan nadanya yang cenderung gelisah.
Raya yang masih mengantuk terpaksa menarik punggungnya tapi tubuhnya yang terasa masih agak penat membuat gadis itu ingin meregangkan otot, dan Raya akhirnya menggeliat sembari melebarkan kedua tangannya.
Namun Raihan segera menjadi heran ketika melihat Raihan malah membelakangi dirinya, terlihat semakin gelisah.
Raya mengernyit keheranan. Tapi tak berselang lama akhirnya dia mulai menyadari keadaan dirinya yang memang hanya mengenakan sehelai minidress dengan tali sphagetti, yang bahkan sudah melorot hingga menampakkan bongkahan padat dadanya yang terlihat sangat membusung.
Malam tadi Raya memang melepaskan jaket denimnya karena terasa sangat tak nyaman jika dikenakan saat tidur. Tapi Raya tetap menyelimuti tubuhnya dengan selimut dari kain jarik yang dipinjamkan oleh ibu mertuanya, yang sekarang telah melorot saat dia tak lagi berbaring seperti sebelumnya.
Raya baru menyadari semuanya, yang membuatnya segera menutup kembali tubuhnya dengan kain jarik batik yang masih ada di dekatnya.
Sementara Raihan sekarang menjadi panas dingin terlalu canggung dengan sepasang pipi yang sudah terlihat memerah karena selama ini pemuda sholeh itu selalu menjaga pandangannya.
Walau Raya telah berstatus sebagai istrinya tapi tetap saja seorang Raihan tak bisa dengan mudah menjalankan pernikahan ini dengan seharusnya karena memang mereka berdua masih merasa asing satu sama lain.
“Aku pergi dulu, assalamualaikum.”
Raihan bergegas pergi dengan segala kecanggungannya yang tak bisa lelaki itu sembunyikan.
Raya menjadi tersenyum simpul meski tadi dia sempat merasa sangat rikuh saat Raihan melihat aset dirinya yang selalu tak pernah diragukan keindahannya itu.
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah menjawab salam suaminya, Raya perlahan bangkit dari tempat tidur dan mulai melakukan apa yang sudah diminta oleh Raihan tadi. Padahal selama ini Raya sering mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslim dan malah menganggap semua itu sama sekali tak bermanfaat. Raya masih terpaksa melakukan semua itu dengan anggapan jika dia bisa menuruti apa yang dikehendaki oleh Raihan maka lelaki yang sudah menikahinya itu bisa dengan mudah untuk ia ajak kerjasama.
Raya terus bermonolog dan menitahkan pada dirinya sendiri untuk bertahan.
‘Ini tidak akan lama, aku yakin, sangat yakin.”
***
“Kamu yakin ingin ikut ke sawah?”Raihan merasa perlu untuk bertanya kembali pada istrinya menanggapi permintaan Raya yang di luar dugaan.“Iya, aku ingin tahu tempat sawah yang kamu garap. Lagian aku bakal kebosanan kalau terus tinggal di rumah.”Raya mengutarakan alasannya dengan terang.“Tapi di sana sangat panas, apa kamu nggak takut gosong kulit kamu?”Raihan bertanya dengan sedikit gelisah.“Nggak apa-apa, lagian aku udah pakai suncreen.”Raihan mengernyit ketika Raya menunjukkan sebuah kemasan sunblok yang sudah dioleskan pada kulit mulusnya yang kini bahkan sudah membuat darah kelelakian Raihan berdesir gelisah.Detik berikutnya sebelah mata Raya kemudian malah mengerling sembari mengulas segaris senyum yang membuat dada seorang Raihan bertalu ramai.Lelaki itu tak pernah mendapati pesona seorang wanita sesempurna Raya yang semakin dilihatnya semakin menyeret dirinya dalam pusaran kekaguman.Raihan kian gelisah saat Raya kemudian mulai mendekat.“Kurasa kamu juga harus mengole
“Memangnya kamu mau aku melakukan apa sih?”Raya menjadi kian penasaran.Tapi Raihan tetap diam malah memberikan senyuman yang membuat hati seorang Raya gelisah tak menentu. Senyuman itu terlalu manis semanis gula yang dijadikan sirup.“Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Raihan yang kemudian malah keluar dari dalam kamar yang membuat Raya menjadi kian bertanya-tanya.Tak lama berselang lelaki bertubuh tegap itu kembali masuk dengan membawa sebuah gamis lengkap dengan jilbab lebar yang berwarna senada.Raya sontak mengernyitkan keningnya sembari memandang gelisah pada pria yang baru kemarin menikahinya itu.“Sebelum pergi kamu ganti dulu baju kamu dengan ini.”Raya menguarkan keraguannya sembari memandangi gamis berpotongan sederhana yang sama sekali tak sesuai dengan selera fashionnya.“Aku pakai ini?”“Iya karena aku pikir kamu akan jadi cantik kalau pakai baju itu, biar kamu pantas untuk disebut sebagai istri ustaz?” Raihan kemudian tersenyum penuh arti.Tapi Raya menanggapi dengan eks
“Pria itu!” sergah Raya sebal saat melihat seorang pria berkumis tebal yang kemarin paling getol menuduhnya bersama Raihan melakukan perbuatan mesum memalukan yang nyatanya tak pernah mereka lakukan.Raihan terlihat agak enggan untuk mendekat. Sejak awal hubungannya dengan pria paruh baya bertubuh dempal itu yang merupakan adik dari ayahnya sendiri itu memang kurang harmonis. Bahkan dirinya terlampau sering menjadi sasaran kemarahan pria itu, yang tampak selalu membencinya, semua karena dia terlahir dari rahim seorang wanita sederhana yang dulu memang tak pernah direstui untuk menjadi menantu di dalam keluarga mereka.Bahkan ibunya sampai sekarang masih disalahkan atas kematian sang ayah yang sebenarnya terjadi atas kehendak takdir, sama sekali bukan salah dari sosok yang sudah menghadirkannya ke dunia.“Kalian pasangan mesum, mau ke mana?” sindir lelaki bernama Parman itu sangat sinis.&nb
“Kamu mau minta apalagi?” sergah Raya sedikit kesal.Raihan malah menggaruk tengkuknya dengan rikuh.Raya menjadi berkernyit heran.“Aku pengen dengar kamu manggil aku mas, buat memastikan kalau kamu bisa mengucapkannya dengan luwes.”Saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan sangat polos itu Raya malah tak bisa menahan kekehannya. Gadis itu menjadi tergelak panjang sampai memegangi perutnya yang sekarang menjadi terasa kaku.“Kamu itu lucu juga ya, apa kamu pikir aku nggak bisa manggil kamu Mas, sampai perlu praktek segala?”“Coba ..., kamu coba dulu manggil aku ... mas.”Kali ini Raya langsung menghentikan tawanya saat mendengar Raihan malah tetap mendesaknya.Gadis itu kemudian mengedikkan bahu sesaat, meski kemudian mulai melakukan apa yang diminta oleh suamin
Raya langsung menyergap ekspresi suaminya dengan tatapan heran, karena Raihan tampak terlalu kaget saat ia meminta lelaki itu untuk ikut membeli pakaian.“Iya Mas, kamu harus ikut beli baju juga,” tegas Raya kemudian.Raihan segera menggeleng lugas.“Nggak usah, sayang uangnya, lebih baik uangnya buat keperluan kamu saja.”Raihan kemudian menatap Raya lebih lekat.“Sekarang kamu butuh apalagi?” Raihan malah menawari Raya lagi.Raya tak langsung menjawab. Gadis itu segera menjadi termangu saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan begitu perhatian padanya hingga pria sederhana itu mengabaikan kepentingannya sendiri tapi begitu peduli dengan kebutuhannya.“Aku butuh suamiku bisa tampil lebih fashionable,” sambung Raya kemudian yang langsung membuat Raihan terperangah karena gadis yang tadi bah
“Terus gimana caranya?”Raya mulai mencecar dengan sengit.Raihan malah menanggapi dengan tatapannya yang semakin lekat, yang membuat Raya langsung membuang mukanya karena tak mau menentang tatapan sang suami yang entah mengapa selalu membuat perasaannya menjadi tak menentu.“Kita berdoa saja agar fitnahan yang menimpa kita dapat terlerai dengan sendiri karena Allah selalu memiliki rencana terbaik untuk setiap hambaNya.”Jelas saja ucapan Raihan tak bisa diterima oleh nalar Raya yang selama ini selalu berpikir realistis.“Apa kamu bilang, doa?”Raihan malah menjawabnya dengan sebuah anggukan pasti.Raya menanggapi dengan helaan nafas jengah.“Apa nggak pernah mencobanya? Percayalah itu sangat manjur jika kamu benar-benar percaya.”&ldqu
“Kamu itu emangnya ada masalah apa sama dia?” cecar Raya menjadi sangat ingin tahu saat mereka duduk berdua di teras depan selepas makan malam.Raihan seperti biasa selalu mengukir senyuman tipis saat menghadapi sikap Raya yang selalu seperti menggebu-gebu.“Nggak ada masalah apa-apa,” jawab Raihan santai yang tentu saja tak bisa diterima oleh Raya yang sudah sangat penasaran.“Kalau nggak ada masalah kenapa Si Kumis Kucing itu pengen ngganggu kamu terus?” tukas Raya semakin kesal.“Itu masalah lama, sangat lama sekali.”“Apa itu alasannya terus mengatai ibu sebagai wanita yang nggak benar? Terus kenapa dia mengatakan itu sama ibu?” Raya masih saja memperturutkan rasa ingin tahunya.Kali ini Raihan tak bisa setenang sebelumnya. Pria itu sedikit gelisah dan mulai mendesah panjang.
Listrik yang mendadak padam segera membuat Raya bangkit. Suasana yang gelap membangkitkan kepanikan di dalam dirinya. Raya memang sangat takut dengan gelap. Sialnya gawai miliknya saat ini bahkan sedang mati karena dia lupa mengisi daya.Sebagai seorang selebgram dulu Raya tak pernah lepas dari benda pipih itu. Tapi sekarang setelah dia tinggal di desa terpencil ini yang selalu saja susah sinyal membuat Raya memilih meletakkan gawai miliknya tak terlalu sering memegangnya.Gelap yang kian mencekam membuat Raya tanpa sadar langsung meraba-raba sembari memanggil nama sang suami.“Mas, kamu di mana?” tanya Raya gelisah sampai akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang kemudian malah membuat Raihan terpekik gusar.“Dik, lepaskan dulu tangan kamu,” gumam Raihan menahan desiran gelisah di dalam dirinya, karena memang Raya sedang menyentuh bagian sensitifnya.&nbs