Ayah pernah bilang jika aku harus tenang dengan ancaman Om Arga. Entah apa yang membuat Ayah bisa sesantai itu, padahal Om Arga sangat mengerikan.
Aku mengirimkan pesan Om Arga itu kepada Ayah. Tak menunggu lama, Ayah membalas pesanku dengan emoji jempol saja. Aneh!Aku juga mengirim pesan itu kepada Bunda agar lebih berhati-hati. Namun, Bunda hanya membalas dengan satu kata, yaitu tenang.“Ibu.” Aku mencekal tangan ibu mertua yang melewatiku.“Iya?”“Om Arga mengirim pesan ini. Aku takut Bunda kenapa-kenapa, Bu. Ancamannya gak main-main, Bu. Aku takut mobil Bunda diapa-apakan.”Ibu mertua membaca pesan itu kemudian geleng-geleng kepala. “Ayah sama Bunda kamu pasti sudah jaga-jaga. Arga itu hanya menggertak kamu saja supaya kamu takut.”“Aku harus apa, Ibu?”“Hubungi Ayah sama Bunda!”“Sudah, kata mereka aku disuruh tenang, tapi gimana bisa tenang kalau keselamatan orangtuaku terancam, Bu?”Kukira siapa, ternyata yang datang adalah Ayah. Cepat-cepat aku menyambutnya. “Anak ayah, apa kabar?”“Baik. Ayo Ayah masuk dulu!”Kami pun duduk berdua di ruang tamu. “Gimana? Arga masih mengganggu?”Aku menggeleng. “Gak ada gangguan sama sekali, Yah.”“Bagus. Ini akibatnya kalau Arga berani main ancam keluarga ayah. Oh, iya, gimana usaha suamimu? Ada perkembangan selama pembenahan dua bulan ini?”“Udah, Yah, dan akan direnovasi secepatnya.”“Kapan itu?”“Mas Yusuf belum memberitahu waktu pastinya, Yah.”“Desain dan lain-lain udah direncanakan?”“Sudah dari beberapa minggu yang lalu, Yah. Tinggal pengerjaan aja.”“Baguslah jika sudah siap semua. Rencananya, ayah akan membantu mempromosikan kedai kopi suamimu, tapi setelah tahu mau direnovasi, lebih baik ayah menunggu setelah direnovasi saja. Nanti ayah akan bilang ke Yusuf, soal tenaga kerja akan ayah kirimkan beberapa orang agar bis
Cepat-cepat aku memberikan pelukan hangat kepada ibu mertua. Tak kusangka, air mata ini menetes juga apalagi saat mendengar kalimat terakhirnya. “Jangan pernah mengatakan itu! Gak ada yang namanya seorang ibu merepotkan anaknya. Gak ada, Ibu. Ibu jangan khawatir! Aku akan selalu menemani masa tua Ibu. Aku akan membersamai Ibu dan aku bersedia penuh merawat Ibu. Semoga Ibu selalu sehat dan panjang umur.”“Anak baik yang selalu menyayangi orangtuanya dengan tulus, hidupnya akan sejahtera. Percayalah! Pintu rezeki akan terbuka sangat lebar. Segala urusan juga akan dipermudah.”“Aamiin. Terima kasih atas doanya, Ibu.”Ibu mendaratkan kecupan di kepalaku. “Almira, ibu mau tanya. Apa ada sesuatu untuk bayimu yang belum kamu beli?”“Aku belum membeli apapun, tetapi semuanya sudah lengkap, Bu.”“Syukurlah. Itu salah satu rezeki kalian.”Soal perlengkapan bayi, memang aku belum membeli apapun. Namun, aku sudah mendapatkan semua
Pagi ini aku sudah siap untuk ikut serta Mas Yusuf. Entah kejutan apa, yang jelas semalam Mas Yusuf tidak memberitahu sama sekali. “Udah siap?” Aku yang tengah bercermin pun berbalik badan. “Udah, Mas.”“Gak boleh pakai sandal hak tinggi.”“Nggak, Mas. Nih, aku pakai sandal ini.” “Sip. Semua kue udah aku masukkan ke mobil. Ayo berangkat sekarang!”**Kondisi jalan raya hari ini cukup longgar sehingga kami tiba di kedai kopi lima belas menit lebih cepat. Entah sudah berapa lama aku tidak kemari. Kulihat kedai kopi Mas Yusuf tampak sangat berbeda. Perpaduan cat warna ungu dan hitam pada bangunan kedai ini sangat memikat mata. Dua karyawan Mas Yusuf keluar, membantu Mas Yusuf membawa beberapa kue buatanku. Sebelum aku melangkahkan kaki untuk masuk ke kedai, aku terlebih dahulu melihat kedai kopi yang ada di seberang. Bangunan itu bercat coklat muda, sama persis dengan warna bangunan kedai kopi Mas Yus
Mas Yusuf turut melihat ke bawah. “Gak tahu. Nanti aja tunggu informasi dari anak-anak!”“Udah, kamu jangan mikirin urusan mereka! Lebih baik baca buku, Sayang!”Mas Yusuf menarik tanganku agar tidak terlalu ingin tahu urusan di luar sana. Aku pun duduk di sofa kemudian mengamati ruangan di sekeliling. Buku-buku di sini tidak diperjualbelikan dan juga tidak boleh dibawa pulang. Khusus ruang membaca, CCTV terpasang lebih banyak dari ruangan lainnya. Di sini juga ada satu orang yang berjaga guna mencegah terjadinya kehilangan. “Mas, kayaknya aku pengin menambah menu baru.”“Apa, Sayang?”“Mille crepes. Di sini belum ada, kan?”“Dari ubi ungu juga?”“Enaknya gimana? Dari ubi ungu atau kopi?”“Memangnya kamu ada waktu? Ngolah tiga menu itu aja kamu harus bangun pagi-pagi, loh, Sayang. Lagian, sebentar lagi kamu lahiran. Mending tunda dulu, deh! Tunggu kalau kamu sudah melahirkan anak kita!”Apa y
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang