Share

Dua

MIASTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (2)

****

"Bu, tolong pijet punggung Tika, dong. Rasanya pegal sekali."

Antika yang baru saja menunaikan salat Isya itu mendatangi Darsinah yang tengah menonton tv di ruang tengah. Perempuan itu bahkan belum sempat melepaskan mukena yang ia gunakan.

"Sakit lagi? Besok Ibu panggilin Mak paraji saja, ya, Nduk," ucap Darsinah, ia mematikan tv dan bangkit dari duduknya.

Kedua perempuan itu masuk ke dalam kamar, Antika melepaskan mukena lalu menaruhnya sembarangan di atas kasur. Darsinah mengambil sebuah botol kecil berisi minyak urut dengan aroma sereh yang menenangkan. Perlahan, ia duduk di sebelah sang putri yang tidur tertelungkup. Rumah masih sepi, sebab Bapak Antika belum pulang dari acara tahlilan di desa tetangga. Sedangkan dua adiknya, keluar sejak tadi sore dan belum kembali.

"Punggungmu terasa panas, Tika." gumam Darsinah sambil mengoleskan minyak urut.

Antika hanya mengangguk, sentuhan tangan Ibunya membuat rasa pegal yang ia rasakan perlahan mereda. Hampir dua minggu Antika berada di rumah, dan sudah seminggu belakangan ini ia merasakan sakit pada punggung serta bagian perut bawahnya.

"Aku masih mau di rumah, Bu, kira-kira Mas Ndaru marah nggak, ya?" tanya Antika dengan suara pelan.

Darsinah tersenyum mendengar pertanyaan putri sulungnya. Tiga bulan lalu Antika telah dipersunting oleh seorang lelaki bernama Andaru. Ia diizinkan pulang ke rumah sebab tak mau ditinggal sendiri ketika sang suami pergi mengirim barang ke luar pulau. Seharusnya, dua hari lagi lelaki itu akan pulang.

"Ya, boleh sebenarnya, Nduk. Tapi sebagai pengantin baru, Ibu sarankan supaya kamu ikut suamimu. Nggak enak dilihat tetangga." jawab Darsinah.

Ia menggerakkan ibu jarinya dengan lincah di atas punggung Antika yang sudah licin karena minyak urut. Sesekali, perempuan berusia 22 tahun itu akan meringis karena merasa sakit. Setelah selesai dengan punggung, Darsinah meminta agar Antika berbaring terlentang. Ia mulai mengusap perut putrinya dengan lembut.

"Bu, coba deh, cium tangan Tika. Baunya busuk."

Antika mengulurkan tangannya pada Darsinah, membuat perempuan itu mengerutkan alis. Ia menuruti permintaan sang putri, dan mulai mengendus lengannya.

"Busuk gimana, Nduk? Nggak ada bau apa-apa, kok." jawab Darsinah jujur. Ia memang tak membaui apapun.

Sang anak menghela napas, "Aku rasanya seperti mencium bau bangkai dari badanku, Bu. Aneh memang, tapi baunya muncul setiap aku mau tidur. Mimpiku juga nggak enak terus, selalu sama setiap malam." keluhnya.

Darsinah memperhatikan jika beberapa hari ini, wajah Antika memang terlihat kuyu, serta sedikit pucat.

"Aku selalu mimpi ada cicak hitam masuk ke dalam mulutku, Bu. Saat terbangun pasti selalu di jam setengah 3 pagi." lanjut Antika.

Darsinah menatap Antika lekat, "Sudah, jangan dipikirkan. Itu hanya bunga tidur, bangun dan meludah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu minta perlindungan pada Allah, Nak."

Antika mengangguk lemah, ia lalu merubah posisinya. Sekarang, dirinya duduk berhadapan dengan sang Ibu.

"Bu, Antika itu sayang sekali sama Ibu, sama Bapak, sama Denok, juga sama Alfi."

Antika menghambur dan memeluk Darsinah erat. Membuat perempuan berusia 49 tahun itu tertawa. Ia tak pernah menduga, jika itu akan menjadi pembicaraan serta pelukan terakhir dari Antika.

****

Wajah Darsinah benar-benar pucat, ia tidak mau makan atau minum sama sekali. Entah beruntung atau tidak, namun kedatangan suaminya yang berniat menjemput mereka di rumah bidan, membuat kabar tentang kematian Antika yang tak wajar bisa ditutup rapat-rapat. Bidan itu bersedia tutup mulut, saat Rahman--Ayah Antika--berjanji akan membersihkan dan mengganti kerusakan di dalam kamar praktek tempat putri sulungnya meregang nyawa.

"Bu, Mak Harti sudah datang. Kita harus memandikan jenazah, Tika." bisik Rahman pada sang istri.

Darsinah tak menoleh, ia langsung bangkit dari duduknya. Dengan langkah gontai, perempuan itu berjalan menuju ke tempat yang sudah disediakan untuk memandikan jenazah Antika. Tak ada air mata yang menetes dari matanya, ia hanya menatap lurus ke depan. Di luar Mak Harti sudah menunggu.

"Sabar Darsinah, ikhlaskan putrimu. Insya Allah Tika Husnul Khatimah." ucap Mak Harti, iba.

"Siapa saja yang akan memandikan Tika?" tanya Darsinah.

Mak Harti menyebut dua nama anak perempuannya. Darsinah mengenal keduanya sebab mereka memang selalu membantu Mak Harti saat memandikan jenazah.

"Tidak usah, Mak. Aku mau hanya kita berdua saja yang memandikan Tika." larang Darsinah.

Mak Harti menautkan alis, "Denok juga bisa, Nah, dia boleh membantu--"

"Kalau keberatan, biar aku sendiri yang memandikan jenazah putriku." potongnya tegas.

Rahman yang berdiri di belakangnya menatap iba, air matanya kembali mengalir. Di antara ketiga buah hatinya, Darsinah memang sangat dekat dengan Antika. Ia memberi kode agar Mak Harti bisa mengerti.

"Maafkan Darsinah, Mak," ucapnya penuh sesal.

Mak Harti mengangguk, ia lantas meminta agar Rahman berjaga-jaga supaya tidak ada orang lain yang mengintip. Setelah itu ia ikut masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan. Di dalam, Darsinah berdiri di sebelah jenazah kaku Antika. Tubuh perempuan muda itu begitu pucat, seolah darahnya telah habis dan tak bersisa sama sekali. Mata tua Mak Harti lantas berpindah ke dalam gentong-gentong berisi air.

Ia mengajak Darsinah untuk berdoa sebelum memandikan Antika. Perlahan, ia mulai mengerjakan tugasnya, menyentuh setiap jengkal tubuh Antika dengan sangat berhati-hati lalu menyiraminya dengan air. Ia membersihkan seluruh bagian tubuh si mayit tanpa melewatkan apapun.

Sebagai orang yang sudah biasa memandikan jenazah, Mak Harti berusaha mengabaikan luka di bagian perut Antika. Ia memegang teguh janji untuk tidak mengorek infirmasi apapun sebagai bentuk penghormatan pada pihak keluarga Almarhumah. Meski begitu, Mak Harti bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kematian Antika.

"Mak Harti, apa Mak bisa menjaga rahasia ini?"

Ia baru selesai dengan tugasnya saat Darsinah tiba-tiba bertanya dengan nada sangat pelan.

Mak Harti berbalik, ia mendapati Darsinah menatapnya tajam. Matanya memerah, mungkin menahan tangis.

"Insya Allah, Na. Jangan risaukan tentang hal itu. Tidak akan ada manfaatnya juga jika aku mengumbar aib orang yang sudah meninggal." jawabnya membesarkan hati Darsinah.

Darsinah mengelus puncak kepala Antika. Ia menggigit bibir bawahnya. "Anakku ini dibunuh dengan kejam. Ia pasti tidak akan tenang."

"Astaghfirullah, istighfar, Na. Antika sudah tenang. Mari kita selesaikan semuanya agar ia bisa segera dikebumikan. Jangan berpikir aneh-aneh, aku tau pasti sangat berat, ditinggal selamanya oleh anak terkasih. Tapi kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu." sergahnya cepat.

Ia merasa kasihan jika membiarkan Antika terlalu lama sebab tak ada lagi keluarga yang ditunggu. Darsinah sendiri juga meminta agar putrinya segera dimakamkan, dengan ada atau tak ada keluarga Andaru. Toh, menantunya itu juga masih dalam perjalanan pulang.

****

Antika kini terbujur kaku di ruang tamu, tubuhnya telah terbungkus kain kafan. Suara tangis keluarga yang ditinggal terdengar memilukan. Beberapa orang saling berbisik, bertanya apa gerangan yang menyebabkan perempuan cantik itu meninggal dunia secara tiba-tiba. Darsinah sendiri memilih bungkam. Setelah disalatkan, jenazah Antika dimakamkan hari itu juga.

Awalnya Rahman menolak sebab ingin menunggu Andaru yang katanya sudah hampir sampai. Menantunya itu pulang tak lama setelah mendapat kabar tentang kematian istrinya. Namun hal itu urung, sebab Darsinah bersikeras untuk segera mengebumikan putrinya.

Proses pemakaman Antika sendiri berjalan dengan lancar. Darsinah hanya menatap nanar ketika tubuh putrinya perlahan ditimbun oleh tanah, lagi-lagi ia tak bisa menangis. Denok, adik kedua Antika memeluk Ibunya. Gadis itu merasa bersalah sebab tak ada disisi sang kakak ketika ia meregang nyawa.

Kepada anak-anaknya yang lain, Darsinah mengatakan jika Antika meninggal karena sakit. Beruntung dua perawat laki-laki yang ada di tempat kejadian juga bisa diajak bekerja sama. Dengan alasan kemanusiaan, mereka mau membantu mengantar pulang jenazah Antika.

"Lho, Bu, mau kemana?" tanya Denok saat melihat Darsinah berbalik dan berjalan menjauhi makam Antika.

Para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman. Hanya tersisa Darsinah, Rahman, dan dua anaknya.

"Ibu mau pulang." jawabnya dingin.

Darsinah melirik ke arah makam Antika, tangannya terkepal kuat. Tak ada rasa sedih, yang tertinggal dalam hati hanyalah perasaan marah, dan juga dendam. Sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarkan Antika, ia bersumpah akan mencaritahu siapa manusia keji yang telah membunuh putrinya dengan cara yang sangat kejam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status