MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (16) ****Tini tiba-tiba mengendurkan tangannya dan jatuh tak sadarkan diri, sedangkan Denok masih dalam posisi terlentang sambil menangis tersedu. Nur yang masuk sambil membawa setumpuk selimut terkejut bukan main. Ia berteriak sehingga seluruh isi rumah heboh karenanya. Rahman lebih dulu masuk, dan segera membopong Denok untuk dibaringkan ke atas kasur. "Ada apa lagi ini, Ya Allah?" tanya lelaki itu. Darsinah masuk dan menatap Tini yang masih tidak sadar, ia segera mendekati Denok yang menutup wajahnya sendiri. Cepat Darsinah mendekati anak keduanya. "Ada apa, Nak? Katakan pada Ibu." Denok terus menangis, Darsinah menarik tangan Denok dan melihat bekas kemerahan pada leher putrinya. Matanya melotot. Amarahnya memuncak. Dengan satu tarikan ia memeluk Denok begitu erat. "Tidak apa-apa, Ibu akan berada disini, Nduk. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu." lirih Darsinah. Orang-orang mulai kelelahan menangani kejadian aneh yang terjadi di rumah Ant
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (17) ****Waktu terasa lamban bagi Andaru, lelaki itu sejak tadi gelisah. Sedikit-sedikit ia mengubah posisi tidurnya hingga membuat Muliani penasaran karena melihat sikap putranya. "Aku mau pulang ke rumah Tika," ucapnya saat Muliani menatapnya. Muliani menghela napas panjang, "Tapi kondisi kamu masih belum stabil, Le."Andaru menggigit bibir bawahnya, ia yakin pasti hal ini sengaja dilakukan supaya siapapun yang ingin menghabisi keluarga Antika bisa melancarkan aksinya tanpa gangguan apapun. "Ndaru sudah baik-baik saja, Bu. Biarkan Ndaru pulang hari ini." mohonnya sekali lagi. Widara hanya diam sambil memainkan jari, ia duduk di pojok dan malas menanggapi adiknya. Setelah perdebatan mereka, Widara bisa merasakan jika adiknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Lehermu--""Selain leher ini, tubuh Ndaru benar-benar sehat, Bu. Andaru janji tidak akan melakukan hal gil4 lagi. Percayalah," ujarnya berusaha membuat Muliani memberikan satu kepercayaa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (18) ****Alfi melajukan motornya dengan tatapan kosong. Aroma amis seolah melekat di indra penciumannya. Beruntung meski dalam keadaan syok berat, ia sampai dengan selamat ke rumahnya. Hendro adalah orang pertama yang bertemu dengan Alfi, ia sedikit heran melihat wajah keponakannya tampak begitu pucat. "Lho, cepat amat kamu baliknya, Fi? Lik Ningsih sudah sampai rumah?" tanyanya sambil meletakkan piring yang isinya telah dimakan habis. Mendengar nama Ningsih, membuat pemuda itu kembali lemas. Ia jatuh terduduk hingga membuat Hendro panik. Dengan cepat, lelaki itu membantu Alfi sambil memanggil nama Rahman berulang kali. Alfi yang akan dipapah masuk ke dalam rumah berhenti dsn ternyata muntah-muntah di teras. Apa yang terjadi segera membuat Rahman khawatir. Perasaannya kembali gelisah. "Ada apa, Le? Kamu kenapa?" tanya lelaki itu tak sabar. Alfi menutup mulutnya, matanya terasa berkunang-kunang. "Lik Ningsih ...," belum sempat menyelesaikan ucapa
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (19) ****Alfi menyeka air mata dengan lengan bajunya, saat menengadahkan kepala ia bisa melihat sosok Denok yang berdiri mematung di ambang pintu. Kakak keduanya itu tampak ketakutan, sedang bibirnya terbuka sedikit. Ia beringsut dan mengubah posisinya. Tampaknya tak ada yang memperhatikan Denok, semua sibuk dengan perasaan masing-masing. Awan kelabu masih betah menaungi rumah keluarga Darsinah. Denok sendiri tak bisa bergerak ketika saling menatap dengan sosok Tini dan juga sosok ‘lain’ yang muncul di belakangnya. Perasaan takut yang tadi hanya ada dalam benaknya, seolah menjadi nyata sebab kejadian-kejadian yang telah terjadi di sekitarnya. Danu. Ya, dia harus menghubungi Danu. Satu-satunya orang yang membantu Denok menjalankan aksi bej4t terhadap Antika. "Kamu kenapa, Nok?" Gadis itu akhirnya bisa menggerakkan anggota tubuhnya saat salah satu tetangga dekat menepuk bahu Denok. Ia menoleh dan mendapati Bu Diman, tetangga sebelah rumah menatapny
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (20) ****"A--ah, ka-mu ngapain, Fi?" tanya Denok terbata. Ia benar-benar terkejut hingga bingung harus mengatakan apa. Rasanya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah tengah melakukan kejahatan. Alfi sendiri tetap diam, namun Denok bisa menangkap kilat amarah di mata adiknya. "Kamu mau pakai kamar mandi? Maaf, ya, Mbak lama." kali ini Denok segera pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Ia segera menutup pintu, dan duduk ke atas tempat tidurnya. Beruntung Tini telah lebih kuat sehingga ikut pergi ke rumah sakit untuk menjemput jenazah Ningsih. Hanya ada Denok dan Alfi di rumah, karena orang tuanya dan saudara yang lain juga ikut ke rumah sakit. Jenazah Ningsih akan segera dimakamkan hari ini juga, mengingat kondisi tubuhnya yang tak utuh lagi. "Duh, tadi Alfi dengar nggak, ya?" tanyanya bermonolog.Keringat dingin mulai membasahi dahi dan telapak tangan gadis itu. Ia menerka-nerka apa sang adik menguping pembicaraannya dengan Danu. "Nok, kamu su
MELETUSNYA PERUT ANTIKA RANDU****"Aduh, Bu! Perutku sakit sekali." Seorang perempuan muda datang bersama Ibunya ke rumah seorang Bidan Desa. Ia terus merintih sambil memegang perut buncitnya yang bergerak tak beraturan. Bidan itu menautkan alis, ia heran sebab gerakan perut perempuan tersebut sangatlah tidak normal. Ia bahkan sudah memasang infus untuk berjaga-jaga jika pasien mengalami keadaan gawat darurat. "Tu-tunggu sebentar, saya teleponkan Dokter kandungan yang saya kenal." ia gelagapan mencari telepon genggam yang entah terselip dimana. Perempuan itu mulai meracau tidak jelas, keringat sebesar biji jagung meleleh dari dahinya. "Oh, ya Allah. Ya Rabbi, sakit sekali!" pekik perempuan itu. Wajahnya memerah sebab menahan sakit. Bidan itu akhirnya menemukan teleponnya, tak mau membuang waktu ia segera menelepon seseorang. Darsinah, melihat sang Bidan berjalan menjauhi mereka. "Bu, apa Bidannya nggak bisa keluarin ini dari perutku? Minimal, dilihat dulu ini isinya apa. Antika
MIASTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (2) ****"Bu, tolong pijet punggung Tika, dong. Rasanya pegal sekali." Antika yang baru saja menunaikan salat Isya itu mendatangi Darsinah yang tengah menonton tv di ruang tengah. Perempuan itu bahkan belum sempat melepaskan mukena yang ia gunakan. "Sakit lagi? Besok Ibu panggilin Mak paraji saja, ya, Nduk," ucap Darsinah, ia mematikan tv dan bangkit dari duduknya. Kedua perempuan itu masuk ke dalam kamar, Antika melepaskan mukena lalu menaruhnya sembarangan di atas kasur. Darsinah mengambil sebuah botol kecil berisi minyak urut dengan aroma sereh yang menenangkan. Perlahan, ia duduk di sebelah sang putri yang tidur tertelungkup. Rumah masih sepi, sebab Bapak Antika belum pulang dari acara tahlilan di desa tetangga. Sedangkan dua adiknya, keluar sejak tadi sore dan belum kembali. "Punggungmu terasa panas, Tika." gumam Darsinah sambil mengoleskan minyak urut. Antika hanya mengangguk, sentuhan tangan Ibunya membuat rasa pegal yang ia rasakan perlah
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (3) ****Darsinah terduduk di atas kasur. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Lemari, meja rias, baju yang tergantung dibelakang pintu, make-up, dan semua barang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Mukena berwarna putih susu dengan hiasan renda berwarna biru muda kesayangan Antika, bahkan masih ada di atas tempat tidurnya bersama dengan piyama yang ia gunakan sebelum keduanya berangkat menuju ke rumah Bidan. Ia pikir, Antika hanya sakit perut biasa. Putrinya memang sering mengeluh sakit ketika akan kedatangan tamu bulanan. Bukan tidak pernah, Darsinah sudah sering mengajak Antika untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan, demi mencaritahu apa penyebab yang membuatnya selalu kesakitan. Sayang, anak itu selalu menolak, berkata jika dirinya baik-baik saja. Bulir air mata mulai menetes di pipi tua Darsinah, tak menyangka jika dirinyalah yang akan ditinggal pergi terlebih dahulu. Dalam bayangan Darsinah, dirinyalah yang akan meninggal lebih du