MELETUSNYA PERUT ANTIKA RANDU
****"Aduh, Bu! Perutku sakit sekali." Seorang perempuan muda datang bersama Ibunya ke rumah seorang Bidan Desa. Ia terus merintih sambil memegang perut buncitnya yang bergerak tak beraturan.Bidan itu menautkan alis, ia heran sebab gerakan perut perempuan tersebut sangatlah tidak normal. Ia bahkan sudah memasang infus untuk berjaga-jaga jika pasien mengalami keadaan gawat darurat."Tu-tunggu sebentar, saya teleponkan Dokter kandungan yang saya kenal." ia gelagapan mencari telepon genggam yang entah terselip dimana.Perempuan itu mulai meracau tidak jelas, keringat sebesar biji jagung meleleh dari dahinya."Oh, ya Allah. Ya Rabbi, sakit sekali!" pekik perempuan itu. Wajahnya memerah sebab menahan sakit.Bidan itu akhirnya menemukan teleponnya, tak mau membuang waktu ia segera menelepon seseorang. Darsinah, melihat sang Bidan berjalan menjauhi mereka."Bu, apa Bidannya nggak bisa keluarin ini dari perutku? Minimal, dilihat dulu ini isinya apa. Antika nggak hamil." rintihnya sambil menahan perut yang bergerak ke kiri-kanan secara terus menerus."Sabar, Nduk. Mungkin Bidan mau kasih yang terbaik buat kamu. Tunggu, ya, Istighfar." ia berusaha menenangkan putrinya.Antika kembali mengaduh, baju yang ia gunakan tersingkap hingga Darsinah bisa melihat permukaan kulit perut anaknya memar dan juga lebam di beberapa bagian. Ia mengelus perut Antika, dan bisa merasakan sesuatu bergerak di dalam sana."Ambulans akan segera datang, maaf, saya nggak bisa menangani anak Ibu. Ini keadaan darurat, Bu, Mbak, saya takut sesuatu terjadi pada Ibu dan bayi-""Saya tidak hamil, Bu, Demi Allah." potong Antika dengan napas tersengal."Apa?" Bidan itu terkejut.Darsinah mengangguk, malam tadi perut anaknya baik-baik saja. Ia bahkan masih sempat membantu Antika memijat punggungnya yang katanya terasa sangat pegal."Anak saya benar, Bu. Tadi malam, perutnya rata. Tidak begini." ia berusaha meyakinkan.Bidan itu menelan ludah, "Banyak kemungkinan, Bu, mungkin anak Ibu tidak merasa hamil. Sudah tepat jika kita memeriksakannya langsung ke rumah sakit. Disana peralatannya lebih lengkap. Nanti, kita akan tau keadaan yang sebenarnya."Antika memalingkan kepalanya, ia menangis tersedu-sedan. Rasa sakit yang menyiksa berpusat pada perut dan punggungnya. Ia bahkan kesulitan bernapas. Saat bertarung melawan rasa sakit, ia melihat alat ultrasonografi."Bidan, tolong USG saya. Saya benar-benar tidak hamil. Setidaknya, lihat sekali saja." Antika memohon.Bidan itu tampak ragu, namun melihat Antika yang sangat kesakitan membuatnya merasa kasihan. Ia sejujurnya yakin jika Antika itu tengah berbadan dua, namun dirinya tidak menyadarinya.Ia segera mendekat, membantu Antika melepaskan celana agar bisa bergerak leluasa. Ia mengecek bagian bawah perempuan itu, berusaha mencari tau apa sudah terjadi pembukaan. Nihil, tak ada tanda-tanda pada orang yang akan melahirkan. Ia lantas mengambil sebuah benda berbentuk kecil dengan ujung lebar. Setelah mengoleskan gel pada permukaan perut Antika, ia lalu mulai memeriksa.Gerakan di dalam perut semakin menggila, Antika berteriak karena rasa sakit yang teramat sangat. Bidan itu kembali menautkan alis saat melihat layar monitor, ia benar-benar tidak menemukan janin. Ia menatap perut Antika dan layar monitor secara bergantian."Tidak ada bayi, kan, Bu. Saya tidak hamil." Antika kembali berucap.Bidan itu meletakkan alat USG, ia kemudian menekan bagian perut yang bergerak dan menonjol. Ia bisa merasakan jika apapun yang ada di dalam sana, memanglah bukan bayi. Gerakannya terasa kuat, ia seolah tengah menyentuh lengan manusia dewasa.Suara ambulans terdengar, beberapa menit kemudian dua orang perawat laki-laki sudah berdiri di depan kamar yang biasa ia gunakan untuk praktek."Ada kursi roda? Pasien tidak bisa berjalan sendiri." ucap Bidan itu.Satu lelaki mengangguk, lalu keluar untuk mengambil kursi roda. Antika yang terbaring di atas kasur menjerit, ia bahkan menghentak-hentakan kakinya."Allah, Allaaah!" pekiknya.Perut Antika perlahan bertambah besar, Darsinah menjerit histeris sebab urat-urat kemerahan muncul di permukaan kulit."La ilaaha illallah!" Bidan itu membekap mulutnya.Rasa takut menyelimuti siapapun yang melihat keadaan Antika, perempuan itu kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan busa kemerahan. Ujung jari tangan dan kakinya membiru. Wajahnya seputih mayat."Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" teriak sang Bidan.Dua lelaki itu berusaha mendekati Antika, dengan keadaan seperti itu mereka memilih akan menggendongnya saja. Perut pasien terus membesar dengan gerakan yang sangat mengerikan.Tonjolan-tonjolan muncul dan berpindah-pindah dari sisi kiri ke kanan, lalu ke atas dan bawah. Mereka melihat selang infus yang berubah menjadi merah, seolah darah pasien naik dan mulai bercampur dengan air infus. Semuanya panik, Darsinah menepuk pipi Antika yang kini tak bergerak lagi."Bangun, Nak, bangun!" pekiknya.Mata Antika terbuka, ia melotot lebar tak lama perempuan muda itu menggeram. Satu di antara perawat pria berusaha mengangkat kepala Antika, namun perempuan itu menyemburkan darah dari mulutnya. Semua orang kembali terkejut."Allahu Akbar!"Suasana semakin genting ketika perut Antika berhenti bergerak. Perempuan itu menatap sang Ibu, tak lama air mata meleleh di pipinya. Darsinah mendekatinya dan berusaha mengangkat kepala putrinya.Tangan Antika terulur, bibirnya bergerak kaku menyunggingkan senyuman yang terasa aneh."I-bu, to-long!" rintih Antika.Terdengar suara dengungan dari perutnya, lalu ....PLASSS!Perut Antika meledak seperti balon yang meletus karena terlalu banyak diisi air. Aroma amis menguar, cairan kental berwarna merah itu mengenai seisi ruangan termasuk semua orang yang ada di dalam sana. Bidan yang berdiri di ambang pintu menjerit histeris, sedang Darsinah jatuh tak sadarkan diri di sebelah ranjang. Dua perawat laki-laki yang juga ikut melihat kejadian itu muntah-muntah, lalu tak lama ikut jatuh pingsan."A-apa ini?"Bidan itu mundur perlahan, ia menelan ludah sedangkan pandangannya tak mampu beralih dari Antika yang terlentang di atas kasur. Perut perempuan itu robek, sedang isinya berhamburan keluar. Aroma anyir memenuhi penciumannya. Ia akan lari namun langkahnya terhenti saat melihat wajah Antika.Dengan tubuh bersimbah darah, perempuan yang perutnya baru saja meletus itu tiba-tiba menyeringai ke arahnya.MIASTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (2) ****"Bu, tolong pijet punggung Tika, dong. Rasanya pegal sekali." Antika yang baru saja menunaikan salat Isya itu mendatangi Darsinah yang tengah menonton tv di ruang tengah. Perempuan itu bahkan belum sempat melepaskan mukena yang ia gunakan. "Sakit lagi? Besok Ibu panggilin Mak paraji saja, ya, Nduk," ucap Darsinah, ia mematikan tv dan bangkit dari duduknya. Kedua perempuan itu masuk ke dalam kamar, Antika melepaskan mukena lalu menaruhnya sembarangan di atas kasur. Darsinah mengambil sebuah botol kecil berisi minyak urut dengan aroma sereh yang menenangkan. Perlahan, ia duduk di sebelah sang putri yang tidur tertelungkup. Rumah masih sepi, sebab Bapak Antika belum pulang dari acara tahlilan di desa tetangga. Sedangkan dua adiknya, keluar sejak tadi sore dan belum kembali. "Punggungmu terasa panas, Tika." gumam Darsinah sambil mengoleskan minyak urut. Antika hanya mengangguk, sentuhan tangan Ibunya membuat rasa pegal yang ia rasakan perlah
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (3) ****Darsinah terduduk di atas kasur. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Lemari, meja rias, baju yang tergantung dibelakang pintu, make-up, dan semua barang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Mukena berwarna putih susu dengan hiasan renda berwarna biru muda kesayangan Antika, bahkan masih ada di atas tempat tidurnya bersama dengan piyama yang ia gunakan sebelum keduanya berangkat menuju ke rumah Bidan. Ia pikir, Antika hanya sakit perut biasa. Putrinya memang sering mengeluh sakit ketika akan kedatangan tamu bulanan. Bukan tidak pernah, Darsinah sudah sering mengajak Antika untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan, demi mencaritahu apa penyebab yang membuatnya selalu kesakitan. Sayang, anak itu selalu menolak, berkata jika dirinya baik-baik saja. Bulir air mata mulai menetes di pipi tua Darsinah, tak menyangka jika dirinyalah yang akan ditinggal pergi terlebih dahulu. Dalam bayangan Darsinah, dirinyalah yang akan meninggal lebih du
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (4) ****Andaru jatuh, tungkai kakinya lemas. Matanya tak dapat berpindah dari sosok yang sekilas mirip Antika. Saat ia mengedipkan mata, sosok itu sudah tidak ada. Dada lelaki itu berdegup kencang, napasnya tak beraturan. "Tanya pada bidan, siapa yang membersihkan darah, Tika, Pak!" Andaru mendengar suara Darsinah dari dalam ruang praktek. Ia memegang dada yang terasa sakit, lalu berusaha bangkit dan berdiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya? Rahman keluar dengan wajah sendu, ia menatap Andaru lekat. "Duduk saja, Le. Nanti kami akan ceritakan semua, Bapak harap kamu bisa menerima meskipun Bapak sendiri masih tidak percaya." ucapnya, lalu meninggalkan Andaru sendirian. Lelaki itu berjalan tertatih, ia menemukan Darsinah duduk di atas lantai sambil memukul dadanya sendiri. "Bu, katakan sebenarnya ada apa? Antika kenapa?"Darsinah menoleh, tampak matanya sembap karena habis menangis. Andaru berlutut, ia kembali menangis saat membayangkan w
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (5)**** Andaru terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya. Jam dinding menunjukkan jika pagi masih lama. Tubuhnya sakit, matanya terasa bengkak. “Tika?” lirihnya.Tak ada sosok Antika, tangan-tangan dengan kuku tajam yang menggelepar di atas lantai kamar, atau genangan darah. Jendela pun masih dalam keadaan tertutup rapat.“Apa tadi aku bermimpi?” tanya Andaru bermonolog.Ia akan berbalik untuk naik ke tempat tidur saat matanya menangkap sosok putih berdiri tegak dihadapannya. Andaru terkejut hingga kembali terduduk.“A-astaga, Bu. Ibu mengagetkanku.” Ucap Andaru merasa lega saat mengetahui jika yang berdiri dihadapannya adalah Darsinah yang tengah menggunakan mukena putih.“Apa yang kamu lihat?” tanya Darsinah dengan wajah datar.Lelaki itu menggeleng, ia meremas piyama istrinya. “Ti-tidak ada, Bu.” jawabnya.Darsinah masih mematung dihadapan anak menantunya, “Katakan saja apa yang kamu k
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6) ****Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai."Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya. Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika. "Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan. Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebu
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (7) ****"Bu! Cukup!"Suara bariton Rahman memecah keheningan. Darsinah sendiri terkejut mendapat bentakan dari suaminya. Seketika wajah Rahman berubah menjadi merah, napasnya memburu. Denok dan Alfi yang mungkin baru akan menunaikan ibadah salat subuh berlarian menghampiri orang tua mereka. "Hentikan semua ini, Bu! Bapak tau sekali, kalau Ibu sangat kehilangan. Bapak juga sama, Bu! Tika itu anak Bapak, darah daging yang Bapak besarkan sepenuh hati. Mana mungkin Ibu bisa menuduh Bapak yang telah melenyapkan anak sendiri?" suara lelaki itu bergetar, ia mengepalkan tinjunya kuat. "Kalau selama ini Ibu berpikir jika Bapak abai pada anak-anak, Ibu salah besar! Ibu tau sendiri, Bapak jarang di rumah karena pekerjaan Bapak. Bapak mati-matian mencari uang demi kalian semua, agar Ibu dan anak-anak hidup sejahtera. Tidak kekurangan sama sekali. Ibu juga tau kalau Bapak tak pandai menunjukkan rasa kasih secara terang-terangan, tapi itu bukan berarti Bapak tida
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a