Bangunan sederhana akhirnya dilepas. Setelah berkelana cukup jauh meninggalkan desa lamanya, keluarga Angga berhasil juga memeroleh rumah yang lebih dari kata layak. Itu pun tak sekali cari, butuh waktu beberapa jam sampai mereka gosong berjamaah terpapar mentari demi menuruti kemauan Aina. Ia selalu mengancam akan pergi dan memilih hidupnya sendiri, kalau perkataannya tak dituruti. Sejauh ini Bu Dila beserta anak perempuannya lumayan mengalah untuk Aina. Karena rumah itu lumayan cantik, Aina juga memerintahkan suaminya untuk mengontrak langsung 1 tahun saja. Sekali lagi Angga manut, mengingat keutamaan kebahagiaan istrinya tersebut. Mereka menghabiskan uang 10 juta untuk menyewa tempat tersebut. "Nah, beginikan bagus! Rumah ini bahkan lebih cantik daripada rumah kita bertiga yang lama," puji Aina sambil memutar tubuhnya ke hamparan ruangan kosong melompong tersebut."Oh, ya. Kita harus membeli barang-barang lain. Lebih baik kita pergi sekarang aja, sebelum malam," saran Angga."Ya,
Angga baru saja memasuki rumah dalam keadaan acak adul. Seragam mengajarnya keluar dari celana. Kera lehernya terangkat, persis seperti pakaian ala-ala drakula. Matanya memerah disertai dengus napas banter. Angga terseok-seok, lalu membanting tasnya ke lantai, sampai mendarat di bawah kaki seseorang."Mas, kenapa sudah pulang? Aku bahkan belum pergi ke kampus." Ruby mendapati Angga menyandarkan badan pada tembok rumah. Sejenak memejamkan netra. Angga menoleh ke arah adik bungsu, lalu bertanya, "Ke mana Ibu dan Aina?" "Di kamar masing-masing." "Panggil!" titahnya.Mungkin saat ini Ruby merasa aneh dengan seruan tersebut, kemudian tentang abangnya yang pulang sebelum jam kerja usai. Bahkan, ini masih pukul sepuluh."Kok cepet banget, Angga?" Kali ini vokal Bu Dila yang terdengar.Aina menyusul dari belakang. Pelan-pelan menepis jarak dengan keluarga suaminya."Kenapa, Mas? Kamu kenapa?" Feeling seorang istri jarang meleset."Duduk dulu!" perintahnya.Bulu kuduknya meremang. Secara b
"Mana uangnya, Mas?""Mas. Mana uangnya?"Sibuk bukan main. Kalimat itu sudah seribu kali diulang. Tak ubah seperti kaset rusak. Sebuah permintaan yang mengandung paksaan.Aina takut sisa uang dipegang oleh Angga, lalu dibagikan kepada Ibu serta adik kandungnya. Itu adalah sebuah kebenaran, karena Aina sendiri yang mengungkap kecemasannya beberapa hari lalu. Jadilah ia mengekori Angga ke manapun pergi. Bahkan, saat suaminya buang hajat di kamar mandi sekalipun, ia berusaha untuk mengetuk pintu sambil meneruskan permintaannya tersebut.Ini adalah puncak permohonan itu terjadi. Mumpung tak ada siapapun di rumah, tentu Aina lebih bebas mengekspresikan diri.Ia meringkuk di sudut ranjang Jepara seharga 18 juta tersebut. Tak bergerak sedari tadi. Pekerjaan rumah belum ada yang beres, termasuk sarapan pagi sekalipun. Angga berulang kali bertanya di mana kemeja hitamnya juga gagal memeroleh sahutan. Aina menjelma patung tunduk kepala. "Aina!"Bentakan tersebut keluar enteng dari bibir Angga
"Inara?" Angga bergumam, tatapannya terus tertuju pada perempuan bergamis merah muda, juga pria familiar yang menjadi sopirnya.Sial! Angga bagai jatuh ke dalam lubang yang sama. Ia tak habis pikir dengan sosok yang kini malah menyunggingkan senyum licik kepadanya.serta-merta Angga berjalan untuk menemui Inara dan lelaki yang selama ini dipanggil dengan sebutan Pak Sentot. Entah mendapat dorongan apa, sampai-sampai ia mau berbicara dengan Inara lagi."Kamu pindah ke sini? Kenapa bisa bertepatan di sini?" Tentu membuat Angga bertanya-tanya. Simpul tipis, tetapi tak lagi seindah dulu. Tidak ada ketulusan di dalamnya. Lebih tepatnya itu adalah sunggingan ejekan. "Selamat bertemu kembali, Angga!"Angga. Inara menyebut nama laki-laki itu tak lagi sama seperti yang dulu. Dia enteng manahlilnya. Angga yakin, semua ini dikarenakan mereka tak lagi berstatus suami istri.Seharusnya Angga marah, bahkan kalau bisa ia merebut paksa mobil yang tadinya Inara tumpangi. Namun, seakan-akan hatinya
Hidup yang diselimuti kesialan, setelah perselingkuhannya dengan Aina terbongkar. Tak ada lagi tawa, apalagi keharmonisan yang tercipta dalam satu keluarga itu. Barangkali Tuhan memang sudah jenuh melihat kemudharatan yang mereka ciptakan dahulu. Sudah bolak-balik ditegur dengan cara halus, tetapi sulit pekanya. Alhasil, Sang Maha Kuasa menamparnya dengan satu peristiwa besar yang sampai memporak-porandakan kehidupan mereka semua. Kendatipun, maksud Allah itu baik, dia hanya ingin hamba-Nya kembali ke jalan yang benar.Semenjak kejadian Aina diserbu oleh empat ibu-ibu beberapa waktu lalu, sekarang grosir mereka semakin terkenal dengan 'grosir pelakor.' Jangankan untuk membeli, ketika melintasi tempat itu saja orang-orang pada meludah. Sengaja betul melakukannya di hadapan pemilik usaha, tanpa terkecuali. Rupanya tinggal di kampung itu tak juga dapat memberi ketenangan. Serasa ingin angkat kaki dan terbang sejauh mungkin, tetapi itu semua hanyalah fiktif belaka. Nyatanya, Angga dan kel
"Betul!" Ruby pun ikut berdiri. "Lama sudah kami pendam kekesalan terhadap Mbak Aina yang selalu saja mengedepankan ego. Padahal aku dan ibu itu juga saudara kandung Mas Angga, yang memang sudah seharusnya diperhatikan. Asal Mbak tahu saja, ya, istri itu derajatnya ada di bawah ibu kandung!""Apa-apa maumu saja yang dituruti! Lambat laun kami muak juga. Lagian kamu jadi istri juga nggak bisa berbuat banyak. Tahunya ngomel terus. Beda banget sama Inara yang waktu itu bisa membantu berjuang sampai perekonomian Angga membaik," bentak Bu Dila dengan hasrat membara."Apa? Jadi, kalian nyesel karena sudah membuang Inara dan mengambil aku? Bukannya kalian sendiri yang memintanya dulu? Ya, itu resikolah, mau bagaimanapun keadaanku. Masak sekarang kalian malah nyalah-nyalahin aku. Nggak fair banget!"Aina tak terima mendengar kebenaran yang mertua dan iparnya sampaikan. Ia jelas kaget, karena selama ini tak pernah mengetahui, kalau ada dua perempuan yang tak menyukainya diam-diam. Perubahan mi
Angga tidak terpuaskan dengan Aina. Tahunya cuma kikuk dan menatapnya nanar saja. Berbicara sepatah kata pun tidak. Jelas itu membuatnya semakin marah."Aku nggak peduli dari mana kamu kenal penadah beras itu, tetapi mana uang hasil penjualannya selama ini?" Angga semakin menekan. Permukaan tubuh keduanya saling menubruk.Angga sudah malas untuk bersikap manis dengan istri yang ternyata cuma mau enaknya saja. Dia bahkan sulit sekali menggerakkan bibir untuk memanggil Aina dengan sebutan 'Sayang' lagi. Baginya, Aina cuma sosok yang sudah salah diambil untuk menjadi pasangan hidup. Mau dibuang, tak mungkin juga. Sejauh ini kesalahan Aina belumlah fatal.Aina mengangkat sepasang bola matanya takut-takut. Bibirnya bergetar. "Sudah a- ku trans-fer b- buat Ibu dan Bapak di kam- pung, Mas," balasnya."Hah?" Tak habis pikir. Aina benar-benar culas dan licik. Mementingkan kebutuhan sendiri, sementara orang yang memberi modal sudah engap. Lelaki berperasaan kalut itu menarik surai hitamnya, h
Semua orang yang berada di ruangan terkejut.Bu Dila dan Ruby tugas menarik Inara yang sudah terpelanting di belakang, sementara barang bawaannya menggelinding semua.Dada Aina naik turun. Bibirnya mengerucut disertai gigi yang merapat. "Mbak Aina apa-apaan, sih?" Inara yang berhasil dibangunkan, membuat Ruby tak perlu lagi menyentuh wanita itu. Kini, giliran saatnya menghakimi si penjahat.Aina menengok ke arah Inara yang sibuk mengusap-usap bokong serta sikunya yang barangkali terasa sakit. Kemudian, netranya menatap tajam ke arah Ruby. Angga belum sempat berbicara, tetapi istrinya itu tiba-tiba saja menjauh. Aina malah keluar ruangan dan entah mau ke mana. Angga taksir dirinya tengah menghindari masalah. Ia tentu tak mau dimarah.Mereka semua dengan ketulusan hati meminta maaf kepada Inara atas perlakuan jahat Aina, kemudian, Angga juga membuka suara tentang Aina yang ternyata jauh dari ekspektasi. Menceritakan perjalanan hidupnya pasca berpisah dengan mantan istri pertama. Seja