Sembari menunggu Sandra, iseng aku menelpon Mas Bagas melalui panggilan video call, tapi gak diangkat olehnya. Saat panggilan ketiga dia malah mereject. Mungkin saat ini dia sedang bersama istri mudanya, hingga teleponku diabaikan.
Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya sandra tiba juga. Ia tak turun dari mobil, hanya membunyikan klakson sebagai kode supaya aku yang datang menghampirinya. Setelah mengunci pintu aku berjalan ke arah mobil Sandra dengan memeluk tas ransel yang isinya pindahan dari isi brankas. Masuk ke dalam mobil dan duduk manis di sebelah Sandra. Tanpa kupinta air mata ini turun lagi. Satu hal yang paling kubenci dalam diri ini, adalah terlalu mudah untuk mengeluarkan air mata alias cengeng. Air mata ini akan turun dengan begitu mudahnya, bahkan hanya dengan menonton drama sedih, mata ini akan menangis pilu. "Sudahlah ... hapus air matamu. Jangan pernah kau tangisi laki-laki sebrengsek Bagas. Air matamu terlalu berharga untuknya," ucap Sandra mengelus pundak ku. Aku hanya tersenyum getir mendengar omongan sahabatku itu. Tak bisa kupungkiri, saat ini aku masih sangat mencintai Mas Bagas suamiku, tapi perbuatannya menikah lagi diam-diam tidak bisa kuterima. "Kita mau kemana, Ra?" tanyaku masih dengan suara bergetar. "Mengamankan semua milikmu. Jangan sampai jatuh ke tangan pelakor itu." Aku diam tak menjawab ucapan Sandra. Ingatanku melayang ke masa pacaran sampai akhirnya kami membina rumah tangga. Selama ini Mas Bagas tak pernah berperilaku kasar terhadapku, ia juga selalu romantis. Makanya jika bukan Sandra sahabatku yang memberitahuku dengan bukti, rasanya sulit untuk percaya. Hatiku sakit sekali menerima kenyataan bahwa aku telah di duakan. Suamiku telah diambil pelakor. "Apa salahku, Mas? Kenapa kamu tega sama aku." Hatiku menjerit, perih. Luka tapi tidak berdarah. Mobil Sandra memasuki parkiran sebuah bank. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna wanita itu lalu mengajakku turun. "Ayo turun," ajaknya, lalu membuka pintu mobil dan segera turun. "Mau ngapain?" Dengan wajah terlihat bodoh aku bertanya, karena terlalu banyak menangis hingga otakku ikutan lelet. Sontak Sandara menepuk jidat. Mungkin heran denganku, karena dulu aku adalah wanita pintar, gesit dan mandiri. "Ya Tuhan, Dewi. Ya mau mengamankan tuh semua hartamu. Masa mau pijat." Sandra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulahku. Yang kutanggapi hanya dengan senyuman paksa. Hampir satu jam kami berada di bank, jika bukan karena ingin melindungi hakku. Rasanya malas jika harus berurusan begini, capek dan ribet banget. Setelah semua urusan selesai kami berdua keluar dari bank dan langsung menuju parkiran. Baru saja menutup pintu mobil, ponselku berdering, segera ku rogoh tas mencari benda persegi panjang milikku. "Mas Bagas, Ra," ucapku setelah melihat layar HP. "Angkat aja Wi, loudspeaker." Hem! Aku berdehem untuk menetralkan rasa gugup. "Assalamualaikum. Halo, mas," salamku. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. "Waalaikumsalam ... Iya Sayang, tadi kenapa kamu VC? Mas nggak sempat angkat, tadi ada urusan dikit. Kenapa sayang?" ucapnya, menanyakan perihal VCku tadi. "Nggak kok Mas, gak ada masalah. Tadi aku cuma mau nanya, Mas lagi apa. Soalnya tiba-tiba perasaanku nggak enak. Aku mau pastiin kamu baik-baik saja," kataku berbohong. "Gak ada masalah kok Sayang. Hanya di kantor lagi banyak pekerjaan aja. Mungkin nanti aku pulangnya telat ya, Sayang. Nggak enak sama yang lain," ucapnya memberi alasan. Pintar sekali kamu mencari alasan, Mas. Aku tau kamu lagi berbohong. Mana mungkin kamu pulang, sementara ini hari pernikahanmu. "Oh ya udah Mas, lanjutin aja kerjaan Mas. Assalamu'alaikum." Setelah mengucap salam, aku langsung mematikan telepon tanpa menunggu balasan salam Mas Bagas. Sandra menggenggam tanganku erat, menyalurkan kekuatan. "Kamu harus kuat, Wi. Balas mereka yang telah menyakitimu." "Iya, Ra. Makasih ya," ucapku singkat. Perlahan mobil bergerak meninggalkan parkiran bank. Lama aku dan Sandra terdiam hingga akhirnya sahabatku itu membuka suaranya. "Semua sudah aman. Sekarang tinggal kamu beri pelajaran buat tuh pelakor dan suami brengsek mu," ucap Sandra menekankan pada kata pelakor dan brengsek. Benar apa yang dibilang Sandra, aku tidaak boleh tinggal diam. Menerima saja apa yang mereka lakukan. "Liat saja Mas. Kau berani bermain api di belakangku. Biar sekalian kubakar kau dengan gundikmu itu."**********PoV Author Sementara, setelah menjalani prosesi akad nikah, dan sebagian tamu sudah berangsur pulang ke rumah masing masing. Bagas izin masuk ke kamar ingin beristirahat. Pelan ia berjalan menuju kamar pengantin. Duduk di tepi ranjang, ingatannya kembali ke dua tahun silam. Saat dimana dia melakukan akad yang sama, tapi pada wanita yang berbeda. Meski pelaksanaannya sama, ritualnya sama hanya berbeda di nama wanitanya saja. Rasa yang dirasakannya pun begitu berbeda. Saat bersama Dewi istri pertamanya, ia merasa begitu bahagia dan sangat bergetar hatinya, tapi saat ini yang ia rasakan seperti hambar. Meski pernikahan ini terjadi atas inginnya sendiri, tapi sedikit pun ia tidak merasakan seperti saat bersama Dewi. "Dewi ... maaf telah mencurangi mu." Bagas bermonolog sendiri. 'Jangan coba-coba bermain api, kalau tidak mau terbakar.' Begitulah kata pepatah yang sering ia dengar, dan itu terjadi pada dirinya sekaran. Pertemuannya kembali dengan Alika, sang mantan pacar membawanya pada hubungan terlarang malam itu. Sekarang ia harus bertanggung jawab. Meski hanya pernikahan siri, tapi ini tetap menyakitkan bagi Dewi istri sah. Ditengah lamunannya, ia dikejutkan oleh Alika istri sirinya. Wanita yang baru beberapa saat lalu ia mengucapkan ijab qobul atas namanya. Dengan senyum mengembang di bibir yang di polesi lipstik itu, Alika bejalan menghampiri Bagas. "Mas ... aku bahagia banget, akhirnya kita menikah juga," ucap Alika. Wanita itu duduk di sebelah dan menyandarkan kepala di pundak Bagas. Bagas hanya diam seribu bahasa. Memikirkan bagaimana langkah yang akan diambil selanjutnya. "Mas, aku juga mau tinggal di rumah itu. Aku juga punya hak yang sama dengan Dewi," sambung Alika lagi. Spontan Bagas membalikan badan, hingga kepala sang istri siri lepas dari pundaknya. "Ih mas ...." Alika merajuk saat kepalanya terasa melayang. "Aku gak mungkin membawamu ke rumah itu sebagai istriku. Dewi nggak akan terima." Bagas menolak permintaan Alika. "Tapi aku juga punya hak yang sama seperti Dewi, Mas! Aku ini juga istrimu sekarang," balas Alika Tak mau kalah. "Tapi rumah itu atas nama Dewi. kalau kamu datang sebagai istriku, maka Dewi nggak akan terima. Dia akan langsung mengusirmu." Bagas tidak setuju dengan keinginan istri sirinya. "Terserah kamu mau gimana, Mas. Aku nggak mau tau! Pokoknya aku harus tinggal di rumah itu sama seperti Dewi. Kami punya hak yang sama sekarang." Dengan egoisnya Alika menuntut. "Baiklah, jika memang kamu bersikeras ingin tinggal di rumah itu. Maka kamu akan masuk sebagai pembantu. Kebetulan, Dewi sedang mencari pembantu," ujar Bagas, memberi jalan keluar. "Apa Mas?Pembantu? Kamu gila ya, Mas. Aku ini Istrimu loh. Masa aku jadi pembantu di rumah suamiku sendiri. Nggak … aku nggak mau," ucap Alika menolak. Wanita itu kaget, Tidak habis pikir dengan saran sang suami. "Ya, terserah kamu. Yang ngotot mau tinggal disana 'kan kamu," jawab Bagas cuek. Menurutnya permintaan istri sirinya itu, sangat mengada-ngada. "Baiklah Mas, tapi hanya pura-pura saat di depan Dewi saja. Jadi aku minta kamu cari pembantu beneran yang akan menemaniku, dan menggantikan posisiku saat nggak ada Dewi. Nanti kamu kenalkan aja sebagai ibuku." Alika menyetujui saran sang suami. Baginya tidak mengapa, jika harus menjadi pembantu bohongan, saat di depan Dewi, sang madu. Asalkan bisa masuk dan tinggal di rumah itu, karena itu memang bagian dari rencananya. Masuk ke istana Dewi, dan memporak porandakan isinya. "Terserah kamu aja." Bagas mengiyakan kemahuan istri sirinya. Ia berpikir, selagi Dewi tidak tau siapa Alika, maka semua akan aman. Pria itu tidak berpikir, serapat apapun menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga.Sampai jam sembilan malam, belum ada tanda-tanda Mas Bagas akan pulang. Ditelpon HPnya malah mati. Mondar mandir sudah kayak setrikaan, tapi lelaki yang bergelar suamiku itu belum juga ada tanda-tanda menampakkan batang hidungnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan, kuputuskan berbaring di sofa. Karena badan terasa capek, kaki pegal akibat bolak balik dari pintu ke arah sofa. Jika dihitung mungkin sudah berjalan berapa kilometer. Lama menunggu, hingga akhirnya aku terlelap. Sayup-sayup terdengar deru mobil dari arah luar. Kupandangi jam yang tergantung di dinding, menunjukkan pukul 23:00. Sudah selarut ini akhirnya orang yang ditunggupun menunjukkan wujudnya. Saat pintu terbuka sempurna, badan Mas Bagas seketika menegang saat mendapatiku yang sedang duduk di sofa menatap ke arahnya. Lelaki pengkhianat itu terlihat menarik nafas panjang, terlihat sekali jika dia sedang gugup, tapi dalam sekejap pria itu bisa menguasai diri. "Loh, kamu belum tidur, sayang?" tanyanya s
Ha ha ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika. "Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan. Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?" "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya. "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran. Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu. "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit.
Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor. Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika. Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas menyusul di belakangku. "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah ka
Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar. Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata,
Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la