Pagi-pagi sekali Dani sudah sampai di rumah mertuanya. Secangkir kopi kini sudah ada di hadapannya.
"Dari rumah jam berapa, Dan?" tanya Bambang, ayah Reni. Pria berusia 55 tahun itu duduk di kursi ruang tamu untuk menemani menantunya.
Karena ayahnya menderita asam lambung, Reni hanya menyuguhkan segelas teh hangat untuk ayahnya itu.
"Sekitar jam 6 tadi, Yah." Bambang hanya manggut-manggut mendengar jawaban Dani.
Setelah basa-basi dengan mertuanya itu, Dani pun segera pamit untuk pulang ke rumah. Orang tua Reni masih menyambut hangat menantu kesayangannya itu. Reni sendiri belum bisa bercerita pada keluarganya.
Dengan motor matic keluaran 2016, Dani membonceng Reni meninggalkan halaman rumah orang tuanya.
Meski Reni sudah bisa memprediksi sebelumnya, tapi tetap saja rasanya sakit. Di perjalanan, tidak banyak interaksi antara mereka. Dani yang biasanya sering melontarkan rayuan untuk istrinya itupun, hanya diam seribu bahasa. Mungkin dirinya masih terbayang malam-malam panas yang dilaluinya dengan Tari.
Terbukti dengan dirinya yang kadang senyum-senyum sendiri, tapi tentu Reni tak bisa melihatnya.
Setelah sampai di rumah, Dani segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Raut kelelahan tercetak jelas di wajahnya.
Bahkan tidak ada pelukan ataupun ciuman penuh kerinduan untuk istrinya itu. Reni menatap nelangsa pada sosok suaminya yang kini telah tertidur lelap.
Jangan tanyakan bagiamana rasanya, yang pasti sangat sakit sekali. Seperti mendapat sayatan dari seribu pedang, ditambah siraman air garam di atasnya.
Sepertinya, untuk sementara Reni akan merahasiakan tentang kehamilannya itu.
Reni segera keluar kamar, dilihatnya Halimah, mertuanya, dan Karin, adik iparnya sedang asyik di depan televisi.
Mertuanya itu tidak terlalu menganggap Reni, alasannya mungkin karena sampai saat ini dirinya belum bisa hamil dan juga karena dia sudah tidak bekerja lagi.
Sedangkan Karin, masih anak SMA yang malesnya kelewatan. Dia juga sering tidak menghiraukan Reni sebagai kakak iparnya.
"Ren, di belakang cucian piring udah numpuk, ya ...." Reni hanya tertegun mendengarnya. Setelah perjalanan jauh, bukannya makan yang ditawarkannya, melainkan cucian piring yang pastinya sudah menggungung.
Mengingat mertua dan adiknya itu tidak suka melakukan pekerjaan rumah.
Selama ini Reni bertahan karena sikap Dani yang manis, tapi sekarang ... masihkah harus dia bertahan.
Buru-buru wanita itu mengelus perutnya, dia tidak ingin anaknya kelak kelakuannya seperti mereka.Tanpa menjawab, Reni berjalan ke arah dapur dan memunguti piring-piring kotor yang masih berserakan di meja makan dan membawanya ke belakang untuk dicuci.
Reni heran kenapa dia bisa bertahan selama ini hidup dengan mereka yang hanya menjadikannya alas untuk diinjak. Mungkin jawabannya hanya satu, rasa cinta dan baktinya pada Dani, suaminya.
Pernah dia mengajukan usul untuk mengontrak, tapi Dani selalu menolaknya. Alasannya karena sebagai anak laki-laki dia ingin berbakti pada orang tuanya.
Selama ini Dani memang ringan tangan membantu pekerjaan istrinya. Hingga Reni benar-benar terbuai dan berfikir bahwa Dani adalah sosok suami yang baik dan tidak akan mengkhianatinya.
Meski menyebalkan, mertua Reni belum termasuk tipe mertua yang jahat. Mungkin hanya sedikit bawel, tapi belum sampai ke taraf memaki-maki.
"Akhirnya selesai ...." Reni mengagumi sendiri pekerjaannya dia mematap puas pada keadaan dapur yang kini telah bersih dan rapi. Kebiasaan jika ditinggal Reni ke rumah orang tuanya, rumah itu akan sangat berantakan dan kotor.
Reni kembali ke kamar untuk beristirahat. Perjalanan yang cukup jauh membuat pinggangnya pegal.
Dia mengambil tempat di sebelah Dani yang masih terlelap dalam tidurnya. Penasaran dia mencoba mencari di mana handphone suaminya berada.'Gagal! Ternyata Mas Dani mengganti polanya.' Hatinya benar-benar bergemuruh saat ini. Pertama kali tujuh tahun ini, suaminya mengganti pola tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Menyerah! Reni segera meletakkan handphone itu ke tempatnya semula. Buru-buru dai berbaring membelakangi Dani dengan perasaan yang tercabik-cabik.
'Aku harus tahu dulu siapa wanita itu?'
Lamunannya dikagetkan oleh tangan suaminya yang kini telah melingkar di perutnya. Tubuh suaminya itu semakin mendekat padanya. Bahkan kakinya sudah menumpang di atasnya.Pelukan suaminya semakin erat sehingga membuatnya susah bergerak.
"Ehm ... Tari ...." Matanya membola mendengar sebuah nama keluar dari mulut suaminya.
Reni berusaha menoleh ke arah Dani. Suaminya itu masih tidur. Jantung Reni semakin berdetak kencang, bukan karena rasa cinta yang menggebu, tapi karena dadanya menahan gejolak yang ingin segeta ditumpahkan.
'
Apa tadi Mas Dani menyebut nama Tari? Apa mungkin itu dia? Aku harus cari tahu.'
Segera Reni bangkit dari posisinya saat ini. Percuma, di saat ini rasanya dia tidak akan bisa tidur.
Dia mengambil gawai miliknya, kemudian menulis pesan kepada seseorang.
[ Sya, gimana kabarmu? ]
Tasya salah satu teman kerjanya dulu, yang sekarang satu pabrik dengan Dani. Reni menggigiti kuku tangannya sembari menunggu pesannya dijawab."Mungkin dia sedang istirahat," lirihnya. Pandangannya beralih ke arah Dani, geram. Hanya satu kata itu yang dia rasakan pada pria di sebelahnya.
Reni hanya bisa gelisah dengan pikirannya. Ingin menanyakan langsung, tapi pasti akan menyangkal. Jika dipendam, dia takut berpengaruh pada janinnya.
Wanita itu kembali mengelus perutnya, "Sayang, kamu harus bahagia apapun yang terjadi."
"Jam berapa ini, Yank?" Rupanya Dani sudah bangun dari tidurnya.
"Capek banget, ya, Mas?" Meski berat, Reni berusaha melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Ah ... e ... iya, Yank. Mas lembur-lembur terus." Mungkin ada sedikit rasa bersalah di hati Dani, hanya sedikit.
Netranya tak mampu menatap netra istrinya itu, dan Reni tahu itu tanda suaminya berbohong. Hidup tujuh tahun dengannya tak mungkin dia tak hafal gelagat suaminya.
"Oh, iya, Mas. Pola hapenya diganti, ya. Aku tadi mau minta kontaknya bu RT." Reni mencari sebuah alasan agar tidak terlalu dicurigai.
"Ah ... iya, Yank. Soalnya temen-temen pabrik suka rese. Ngerjain gitu ...." Kali ini Dani menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Netranya masih tak mau menetap netra Reni.
"Ow ..., " jawab Reni singkat.
"Terus gimana?"
"Gimana apanya, Yank?" Kali ini lelaki itu baru berani mengangkat wajahnya. Dia tak mengerti apa yang dimaksud Reni.
"Polanya, dong, Sayank." Suaranya dibuat selembut mungkin, dia tidak mau suaminya curiga kalau dirinya memang sudah curiga.
"Ah ...!" Dani segera meraih ponselnya. Jarinya membuat gerakan membentuk sebuah pola.
Dengan tangan sedikit gemetar Dani menyerahkan ponselnya pada Reni. Hatinya harap-harap cemas, semoga saja tidak ada sms dari Tari. Dan semoga saja tidak ada pesan yang lupa dia hapus.
"Nih ...!" Reni menyodorkan kembali ponsel suaminya. Dani menghela nafas lega. Tapi, Dani tak tahu saja apa yang sudah Reni tanam di handphonenya.
'Kamu bisa membohongiku, Mas. Tapi, aku belum terlalu bodoh untuk tidak tahu apa-apa.' Salah satu sudut bibir Reni terangkat. Untung dia tidak gaptek-gaptek amat.
[ Alhamduillah baik, Ren. Ada apa?]Sebuah pesan masuk . Reni segera melihat ke arah pesan itu. Dengan buru-buru dibalasnya dan mengirimkannya.[ Aku pengen ketemu, kangen nich. Aku main tempat kos kamu, ya.] Reni pikir lebih sopan jika meminta tolong dengan bertatap muka.Reni dan Tasya memang dulu sangat akrab ketika keduanya sama-sama bekerja di pabrik yang sama. Jadi, sudah tak segan lagi bagi Reni untuk bertemu.[ Boleh-boleh aja. Kapan kamu mau main?] [ Besok gimana?] Reni benar-benar tidak sabar ingin tahu tentang Tari. Sebenarnya dia ingin hari ini juga, tapi mengingat hari sudah sore, diurungkannya niat awalnya.[ Oke, deh. Besok aku pulang jam 4.][ Oke]Ren
"Eh itu si Dani, Ren !" Tasya menyenggol lengan Reni. Wanita itu segera mengikuti arah pandang sahabatnya itu.Tentu saja Reni sangat hafal dengan sosok dan perawakan Dani, dan dia yakin bahwa itu adalah dia.Dani berjalan melewati gerbang sendirian. Reni tidak menemukan tanda-tanda suaminya itu tengah berbicara dengan wanita lain."Itu ... yang namanya Tari." Tasya menunjuk ke arah seorang wanita yang berjalan di belakang Dani. Cukup lama Reni mengamatinya, wanita berambut panjang dengan tubuh sedikit berisi. Terlihat begitu segar, tak seperti dirinya yang terlihat seperti bunga yang layu.Reni membuang nafas, 'Apa Mas Dani udah bosen ama yang kerempeng kayak aku?' Hatinya terus menduga-duga kenapa suaminya itu bisa sam
Dani memasuki kamarnya, hatinya dipenuhi amarah ketika mendengar aduan dari ibunya tadi. Ditambah nafsu yang tidak tersalurkan saat bersama Tari tadi membuat amarahnya semakin memuncak.Dilihatnya Reni yang sudah tidur berbaring memunggunginya."Yank ... yank ...!" panggil Dani kasar. Reni bergeming, dia pura-pura tertidur. Dia tahu apa yang akan dikatakan suaminya itu.Kini Dani mendekatkan tubuhnya pada Reni, dan mengguncang-guncang bahu istrinya agar terbangun."Yank ....""Eugh ...." Reni menggeliat, dia membalik tubuhnya dan menatap wajah suaminya yang penuh dengan amarah.Reni terduduk dan berusaha bersikap biasa, "Kenapa, Mas?" Wanita itu mengernyitkan dahinya, seolah penasaran dengan apa yang akan dikatakan suaminya. Padahal dia sudah menduganya.
Perasaan Dani begitu bahagia pagi ini. Mengetahui bahwa Reni hamil adalah hal paling membahagiakan untuknya. Setelah 7 tahun menanti, akhirnya hari ini datang juga. Hari di mana ada kehidupan di rahim Reni.Sikapnya juga sudah kembali manis pada istrinya itu, seakan kemarahan semalam tidak pernah ada. Reni cukup melambung dengan kehangatan Dani.'Tapi, bagaimana dengan Tari? Apakah harus kulanjutkan hubungan ini atau tidak?' Dani merasa dilema dengan kehidupannya. Jika dia tahu Reni sedang hamil, tak mungkin dia meniduri Tari. "Argh ...! Entahlah. Jalanin saja."Dani men-starter motornya dan melajukan ke jalanan. Pikirannya semrawut antara Reni dan Tari. Tak mungkin dia meninggalkan Reni yang sedang mengandung anaknya. "Mungkin aku harus mengakhiri semuanya dengan Tari. Aku tak mau Reni
*PoV Tari*Seneng rasanya pagi ini bakal ketemu Mas Dani. Entah kenapa perasaan cinta ini tak bisa hilang begitu saja. Mas Dani adalah cinta pertamaku dulu. Mungkin Mas Dani tak mengingatku, dia ada di kelas 3 sedang aku masih kelas 1.Seperti gadis remaja lainnya yang mengidolakan kakak kelasnya, akupun begitu. Dia memang bukan yang paling populer di angkatannya, tapi dialah yang menjadi idolaku saat itu.Rasanya seperti takdir, saat tahu dia menjadi rekan kerjaku di tempat kerjaku yang baru ini. Mungkin ini yang namanya jodoh. Setelah lama tidak bertemu, akhirnya dipertemukan lagi.Apalagi statusku sekarang yang sudah menjanda, akan mudah untuk bersama-sama lagi dengan cinta pertamaku itu.Sayangnya, Mas Dani masih memiliki istri. Huft! Andai dia mau menceraikan istriny
[Apa perlu aku datang ke rumahmu, Mas dan bilang tentang kita?] "Tidak! Tari nggak boleh ke sini." Dani begitu gelisah setelah membaca pesan terakhir dari Tari.[Jangan macam-macam kamu, Tar! Sekarang maumu apa?] [Kita ketemu, Mas.][Baik besok kita bisa ketemu. Tapi nggak bisa lama.][Terima kasih sayangku. Emmuach ....]Dani tak membalas pesan terakhir dari Tari. Segera dia menghapus sms-nya dengan Tari tadi. Pria itu kini sangat bingung dengan perasaannya.Dani menghirup napas panjang dan menetralkan wajahnya. Agar Reni tak melihat raut kecemasan di wajahnya. Dia lantas kembali ke kamar dan berbaring tidur di sebelah Reni yang telah terlelap.***
"Aku hamil, Mas." Dengan penuh keberanian, Tari memberi tahu Dani tentang kehamilannya.Seketika Dani tampak shock. Dia tidak langsung menyahut, seolah kesadarannya telah ikut melanglang bersama pikirannya tentang kehamilan Tari. Dani mencubit lengannya, sedikit keras, "Aw ...!" Sakit ternyata. Berarti ini benar-benar nyata. "Bagaimana kamu bisa hamil, Tar?" Suara Dani sedikit bergetar. Hamil? Mengapa kata itu sekarang menjadi m*mok bagi Dani.Dani sepertinya lupa jika dia tidak pernah pakai pengaman saat berhubungan dengan Tari. "Gimana sih kamu, Mas. Apa kamu lupa tentang perc*ntaan panas kita waktu itu!" Setengah berteriak Tari membuat Dani celingukan. Tari sangat marah karena Dani seolah meragukan perkataannya."Sss
"Menikahi janda 'kan dapat pahala. Seperti Rasulullah. Aku ingin dapat pahala dengan menikah dengan janda." Entah dapat kepercayaan diri dari mana, Dani mengucapkan sebuah sunnah tanpa berkaca pada diri sendiri.Poligami itu sunah, menikahi janda juga sunah. Tapi, tak hanya memperturuti nafsu.Dalam agama islam pun tidak melarang poligami asal bisa berlaku adil. Tapi, dengan kondisi Dani sepertinya untuk menafkahi keduanya pun dia akan kesulitan. Ditambah pemahaman agamanya yang salah kaprah.Reni menarik kasar tangannya dari genggaman Dani, "Inti kalimatmu di mana, Mas?" Reni kesal, benar-benar kesal. Meski tak kaget jika Dani berselingkuh, tapi meminta ijim menikah lagi?"Ijinkan aku menikah lagi, Ren?" Dengan berkaca-kaca, Dani memamdang Reni.