Sudah sekitar 3 bulan Reni pulang ke rumah mertuanya, dan apa hubungan mereka membaik? Tentu tidak. Reni sengaja membentuk dinding penghalang antara keduanya. Dia benar-benar bertekad untuk tidak memaafkan Dani. Mungkin bisa dibilang dia bersalah dan berdosa, tapi luka dan perasaan kecewa yang terlanjur ada, tidak bisa dengan mudah dihilangkannya.
Reni juga tidak peduli dengan omelan mertuanya yang dia dengar setiap hari. Dia hanya ingin membuat dirinya nyaman di tempat yang sama sekali tidak nyaman.
"Ren! Nanti Tari mau ke sini." Entah apa yang ada dalam pikiran pria itu, membawa selingkuhannya ke rumah yang juga ditinggali oleh istrinya.
"Buat apa?" Reni sedang berada di kamar, dengan tangan tengah memegang handphone mangontrol kedua usahanya lewat Zaki. Dia benar-benar bangga pada adiknya itu. Dia benar-benar bisa dipercaya dan sangat berbakat. Buktinya usahanya baik-baik saja dan malah semakin maju. Sepertinya dia harus memberikan
"Sudah, Bu! Sudah! Kita keluar saja!" ajak Dani pada ibunya. Dani memegang bahu Halimah dan mendorong pelan ibunya itu ke luar kamar."Kamu kenapa, sih, Dan? Ibu itu mau ngajarin istri kamu biar nggak ngelawan sama orang tua. Malah kamu suruh ibu untuk keluar. Kenapa juga kemarin kamu ajak dia pulang ke rumah? Istri nggak bisa diandelin kayak gitu." Halimah mengeluarkan segala unek-uneknya pada Reni. Posisi mereka kini ada tepat di depan kamar Dani. Dan Reni bisa dengan jelas mendengarnya."Ssst ... Bu. Jangan keras-keras." Dani meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya."Halah! Biar dia denger. Ibu lebih mending kamu nikah sama Tari dari pada ngajak pulang Reni."Reni hanya bisa menahan tangisnya kali ini. Sebenci itukah Halimah terhadapnya? Jika benar seperti itu, kenapa kemarin mengizinkan Dani membawanya pulang? Ini benar-benar membuatnya bertambah sakit. Tapi, ini tidak akan menjadikannya lemah, malah dia ingin semakin gencar membalas denda
"Hebat, ya, selingkuhannya kamu, Mas?" Reni menyeringai, "Apa kalian juga memikirkan perasaanku saat kalian membuat anak itu?"Ditanya seperti itu oleh Reni, baik Dani maupun Tari gelagapan. Tentu saja semua orang pasti tahu jawabannya. Dani dan Tari saling pandang, sedang Halimah lebih memilih untuk diam setelah mendapat sindiran dari Reni.Jangan dikira Reni bersedia pulang untuk menjadi lemah. Dia akan membalaskan segala sakit yang telah dia terima dari orang-orang ini."Berpikirlah sebagai seorang wanita, Mbak. Bagaimana jika Mbak berada dalam posisi saya?" Tari mulai histeris mengetahui Reni tak sedikit pun menunjukkan empati terhadapnya. Perutnya semakin membesar dan dia tidak memiliki status pernikahan."Berpikir sebagai seorang wanita?" Reni melipat kedua tangannya di dada. Dia tidak akan gentar kali ini, "Apa pikiran wanita yang Anda maksud itu menggoda suami orang?" Tatapan mereka bertemu, Reni seakan benar-benar ingin menghabisi wanita it
"Aku mesti gimana, Mas?" Mata Tari berkaca-kaca mengingat saat ini dia tidak akan menyandang status sebagai istri sah. Bagaimana status anaknya kelak?Tak ada jawaban dari Dani, karena dia juga tidak tahu mesti bagaimana. Tangannya terus berusaha menepuk punggung Tari agar wanita itu bisa tenang, meski tidak banyak membantu. Tari malah menangis semakin kencang.Dani merasa geram dengan sikap Reni yang dinilainya sangat keras kepala dan tidak memiliki hati nurani. Seharusnya sebegai sesama wanita, Reni bisa memikirkan jika dia dalam posisi Tari, bukan malah semakin memperburuk keadaan.'Apa susahnya tinggal memberi ijin untukku menikah lagi?' gerutu Dani dalam hati. Entah siapa yang mereka nilai tidak memiliki nurani? Para pengkhianat itu atau seorang istri yang sudah dikhianati?"Bu ... saya mesti gimana?" Kini Tari menatap ke arah Halimah. Wanita paruh baya itu juga tidak menjawab. Hanya menghela napas panjang dan setelahnya dia beranjak dari duduk
Hari-hari berat Reni lalui di rumah itu. Dia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri tentunya, selain melayani masalah hubungan badan. Dia benar-benar trauma disentuh oleh Dani. Ada rasa jijik dan juga enggan saat Dani menyentuhnya.Masalah bisnisnya dia serahkan ke Zaki dan ibunya. Ada sedikit penurunan meski tak sampai membuat rugi. Tapi, meski begitu Reni sangat bersyukur memiliki keluarga yang bisa membantunya kala seperti ini.Hubungannya dengan Yudha pun seperti biasa. Hanya berputar masalah bisnis, tidak lebih. Reni selalu menghindar saat Yudha terang-terangan mengungkapkan perasaannya.[Ren! Nggak bisakah kamu mempertimbangkan keputusanmu?] Setelah sebelumnya berbalasan pesan membahas tentang pekerjaan, tiba-tiba saja Yudha membahas tentang hubungan pribadinya.Reni tak langsung membalas pesan lelaki itu. Dia bingung harus bagaimana. Yudha lelaki baik dan Reni sangat tahu dia tulus banget sama dia, tatepi ini waktu yang salah. Dia masih mem
Pagi ini Reni bangun seperti biasanya. Dalam hati dia telah bertekad untuk menemui Dani, di mana pun dia berada. Sudah beberapa hari ini Dani tidak pulang dan juga tidak memberi kabar.Reni sudah cukup geram selama ini. Dia diam, namun Dani malah semakin menjadi. Dipikirannya, Reni hanyalah wanita bodoh yang tidak bisa melakukan apa pun. Padahal hal mudah bagi Reni untuk mengetahui di mana sebenarnya mereka tinggal. Sampai saat ini, Dani belum tahu jika Reni bisa melacak keberadaannya menggunakan alamat email yang terdaftar di ponselnya. Dan Reni memang tidak berniat memberitahukan hal itu."Mau ke mana kamu, Ren?" tanya Halimah saat Reni ke luar rumah sudah menyelempangkan tas di bahunya. Halimah heran karena selama pulang kembali ke rumah ini, Reni tak pernah sekali pun pergi. Terlebih kini perutnya mulai membesar dan hanya tinggal menghitung hari."Mencari Mas Dani. Ibunya sendiri tak peduli anaknya itu yang tidak pulang meninggalkan istrinya yang tengah hami
Akhirnya Reni tiba juga di sebuah terminal. Dari lokasi yang dia tahu lewat maps, tempat Dani tinggal selama ini ada di sekitar sini. Reni bertanya pada orang yang ada di sana tentang tempat yang ditunjukkan oleh maps itu. Dia harus naik angkot sekali lagi untuk sampai di sana. Untung saja perutnya hanya begah, bukan karena bayinya akan keluar. Buktinya, Reni baik-baik saja ketika keluar dari angkot tadi. Kini Reni memilih untuk berdiri saja. Mengambil gawai di dalam tasnya. [Mas aku tunggu di terminal XX. Kalau nggak datang juga, aku bakalan ke kos kamu untuk bilang sama Pak RT-nya, biar kalian di arak sekalian.] Send to Suami Brengsek. Sengaja Reni menamai nomor Dani dengan nama itu. Nyatanya suaminya itu memang benar-benar brengsek. Memaksa Reni ikut pulang tetapi malah lebih sering tidur bersama Tari. Reni sendiri tak yakin, apakah kedua manusia itu telah menikah atau belum. Merasa capek, Reni duduk di bangku pinggir terminal. Menung
"Tar. Aku nanti pulang ke rumah, ya?" Merasa sudah lama tidak pulang, tiba-tiba Dani teringat Reni. Bagaimana kondisi kandungannya? Apa baik-baik saja? Tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.Tari cemberut. Tak ingin berpisah dari Dani di kala kehamilannya telah menyentuh usia 9 bulan. Dia takut jika sewaktu-waktu akan melahirkan."Aku udah mau lahiran, lho, Mas," rengek wanita itu. Dia sangat tidak ikhlas jika Dani menemui Reni, istrinya."Perasaan Mas nggak enak, Tar." Keduanya tengah berbaring di kasur lantai kamar kos yang sempit. Beberapa bulan yang lalu, Tari diberhentikan dari pekerjaannya karena sering ijin tidak masuk kerja. Kehamilannya sering kali membuatnya merasa tidak enak badan, sehingga menjadikannya tak kuat untuk bekerja.Tari berdecak, "Gimana kalau aku lahiran, Mas? Aku di sini sendirian lho." Dani menghela napas. Benar yang disebut Tari. Jika Reni, dia di rumah masih ada Halimah dan juga Karin. Dani pun memutuskan untuk tidak pulang lagi
Dani melajukan motornya secepat yang dia bisa. Di satu sisi, takut Reni kenapa-kenapa. Tapi di sini lain, dia takut Reni membuktikan ucapannya. Dani yakin Reni bisa sangat nekat jika sedang marah.Reni duduk dengan tenang di kursi panjang itu. Si ibu-ibu masih berada di sana, mungkin juga sedang menunggu jemputan."Suaminya sudah mau datang, Nak?" tanya ibu itu.Reni mengangguk, "Iya, Bu." Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan antara mereka. Pandangan Reni tertuju pada handphone yang ada di tangannya. Hatinya sebenarnya sangat cemas kali ini. Rasa begah terus terasa saat dia duduk terlalu lama seperti ini.Sedikit menunggu lebih lama, akhirnya motor Dani berhenti tepat di depan Reni duduk. Dia mencoba tersenyum pada Reni, yang dibalas wanita itu dengan senyum kecut. Sungguh jika tidak sedang ada orang lain, dia tidak akan membalas senyum Dani."Naik!" titah Dani pada istrinya."Permisi, Bu." Reni tersenyum pada ibu yang duduk di