"Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.
Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana."Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan."Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar kamar bukan untuk menikmati hidangan sarapan yang kusiapkan di meja makan."Bu, Bendu pergi dulu ya. Oh iya Bu, soal gaji bulan ini nanti siang semuanya Bendu transfer ke ibu." ucapnya pada ibu. Begitu jelas apa yang dikatakan Mas Bendu pada ibunya.Mas Bendu mau ngasih semua gajinya ke ibu? Tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. Oke lah Mas, jika kamu mau menjadi team ibu dan Nini, aku tak apa. Aku pikir dia lelaki yang beda, ternyata dia tidak lebih dari lelaki yang masih bersembunyi di bawah ketiak ibunya."Iya, Nak. Kamu hati-hati ya. Kabari saja ibu nanti kalau gajimu udah ditransfer semuanya ke ibu." "Iya, Bu. Bendu pamit ya. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Bunyi deru sepeda motor Mas Bendu perlahan hilang dari halaman rumah."Gimana Lio? Kamu terkejut kalau gaji Bendu mulai sekarang ditransfer ke ibu?" ucapnya yang tiba-tiba muncul di depan kamarku, tidak ada wajah bersahabat yang dia perlihatkan padaku, malah wajah sinis yang dia suguhkan."Nggak bu. Ibu pegang saja, aku juga tidak mempermasalahkannya." jawabku tenang, tentu saja aku berusaha mengontrol emosi."Nah iya harus begitu kamu. Ingat ya, bagaimana pun anak laki-laki itu harus utamain ibunya ketimbang kamu. Apalagi kamu kan mantan janda yang kebetulan aja dinikahi anak ibu." gelagatnya mencibirku membuat darahku naik pitam.Dia tak ubahnya memperlakukan aku tanpa ada rasa menghargai di benaknya. "Iya, Bu. Ada yang mau ibu sampaikan lagi?" tanyaku sembari menebar senyum tipis walaupun di dalam dadaku bergejolak membara.Bukan jawaban yang dia berikan, dia malah menyuguhiku dengan raut wajahnya yang masam ditambah dengan ujung bibir yang menyungging."Semoga suatu hari nanti bibirnya benar-benar menyungging permanen Yaa Allah" doaku dalam hati.🌟🌟🌟Di dalam kamar aku sibuk menyiapkan semua berkas lamaran lalu mengirimnya lewat email. Ada sekitar dua puluh lamaran kerja yang ku kirim lewat email. Mereka pikir aku tidak punya banyak cara untuk tetap menjalankan keinginanku. Mereka salah, salah orang lebih tepatnya.Jangan mentang-mentang status ku yang pernah menjadi janda diusia muda mereka seenaknya memijakku dengan cara seperti ini. Oh tidak, itu takkan pernah terjadi. Dan kamu keliru Mas, sudah membela ibu dan adikmu sendiri.Lebih dari sepuluh berkas lamaran aku kirim lewat email. Semoga saja ada beberapa yang nyantol, begitu harapku. Lihat saja nanti sikap mereka jika aku mempunyai uang."Bu, kok lauknya cuma ini doang?" terdengar Nini bersorak dari dapur."Apaan sih, Ni heboh mulu ah." gerutu ibu."Makannya ibu ke sini liat nih." pintanya dengan nada kesal."Ya ampppuuuuuuuuuun. Liodra sini kamu." teriak ibu.Aku hanya senyum-senyum sendiri dari dalam kamar. Biar mereka tahu rasa, makan aja tuh ikan kering, ini enggak sok-sok an makan ayam, sedangkan ngeluarin duit aja susah. Semua keperluan rumah tangga Mas Bendu yang nanggung semuanya, perintilan apapun itu.Awalnya memang aku tidak mempermasalahkan, tapi kalau dipikir-pikir nggak etis juga rasanya ibu dan Nini terlalu memberatkan Mas Bendu."Liodra, buka pintunya. Kamu tuh ya, udah numpang malah enakan molor di dalam. Keluar kamu." hardik ibu dari balik pintu kamarku gedorannya begitu keras hingga membuat gendang telingaku sakit.Aku sengaja tidak menyahut, biar saja dia sampai puas berteriak dan menggedor pintunya."Lio, buka pintunya. Awas saja kamu, nanti ibu lapor ke Bendu sikap kamu yang kurang ajar ini." ancamnya.Tak lama kemudian aku membuka pintu, dengan menyandang handuk di tangan pura-pura mandi sore, tentu saja tadi dengan sigap ku ganti baju piyama seolah-olah memang aku selesai mandi."Ada apa Bu? Aku lagi mandi tadi." jawabku polos, aku melunak bukan berarti takut, tapi aku sedang menyiapkan jebakan batman untuknya"Kamu nggak masak? Tahu diri dikit napa, kalau numpang itu siapin juga makanan buat ibu dan Nini jangan tidur gratis saja kamu di sini." erangnya, mata membulat, hidung kembang kempes seperti harimau mau menerkam kucing."Astagfirullah, Buuuu. Gimana aku mau masak, 'kan duit sisa kemarin juga ibu minta. Aku nggak pegang uang lagi. Eh tapi Bu, bukannya Mas Bendu udah transfer duit ke ibu tadi siang, yaa beli aja dulu lauknya lewat gofooott Bu." jelas ku memberi ide."Belum ditransfer sama Bendu duitnya, pasti kamu 'kan yang larang. Nggak usah sok polos kamu." tuduhnya menunjukku ke arahku dengan telunjuk gempornya."Ya, makan aja dulu apa yang ada Bu." jawabku tak lupa ku suguhkan senyum tipis mata menyipit supaya dia lebih jantungan melihat reaksiku.Dia menghela nafas kesal lalu bertolak menuju dapur. Piring dan sendok terdengar beradu kencang, semoga saja piringnya pecah, sumpahku.Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup."Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup."Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar."Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun.""Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku."Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur."Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berart
"Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah."Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi."Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.🌟🌟🌟Subu
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin
"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di
Gelak tawa yang tadi terdengar begitu semarak, sekejab hilang, hening, sunyi, sepi bagai kuburan ketika ibu, Nini, dan perempuan itu melihat aku memasuki rumah. Mereka terperangah menatapku yang sudah berdiri di depan mereka. Sebegitu kagetkah sampai salam yang ku ucapkan tak terdengar oleh mereka.Apalagi ibu dan Nini seperti kerasukan setan, mata membulat penuh, mulut menganga untung saja tidak ada lalat yang memasuki ruang penuh julid itu. Sedangkan perempuan itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala, begitu yang terekam dari pandangan sudut mataku."Kok salamku nggak satupun yang jawab," sindirku sembari melangkah masuk memecahkan lamunan mereka."Eh, kamu udah pulang Lio?" sapa ibu salah tingkah, berpura-pura menggaruk keningnya seakan gatal. Mungkin dia menyangka aku tidak tahu kalau dia sedang berpura-pura."Seperti yang ibu lihat, aku sudah di dalam rumah sekarang." jawabku sembari senyum tipis mata menyipit."Mana Mas Bendu?" serobot Nini, tapi matanya terfokus ke ara
Tujuan utama ku adalah membuka aplikasi chatting. Ku buka whatsapp Mas Bendu, terbaru ada pesan dari Umar begitu nama yang tertera, karena itu yang terbaru dan ada beberapa pesannya yang belum dibuka Mas Bendu, tentu aku pengen tahu apa isi chatnya.[P][P][Mas, keluar dong. Masa kamu anggurin aku sih.] disertai emot nangisDasar gelay, gerutu dalam hati.Ternyata cuma tiga itu pesan yang ada. Aku yakin ada pesan sebelumnya.Oke, Mas. Kamu berani bermain api, akan ku tambahkan minyak tanah supaya apimu semakin berkobar.Aku lanjut membuka pesan dari Nini, 'Adikku Nini' begitu nama kontak perempuan bau kencur itu. Ada dua pesan yang belum dibaca.[P][Mas][Ish][Mas, kamu hargai Leria dong. Masa di kamar terus sih. Sini temenin dia, dasar susis] disertai emot marah.Tak ada pesan lain, pasti sudah dihapusnya. "Oh, jadi nama perempuan yang sedang dirumah ibu namanya Leria, sengaja diganti nama Umar dikontak Mas Bendu. Jika memang tidak ada sesuatu 'hal' buat apa namanya disamarkan, b
"Nggak ada beli apa-apa, Bu." jawab Mas Bendu menghadap ke arah ibu."Nggak beli apa-apa gimana? Itu kantong asoy yang ditenteng sama Liodra apaan?" tanyanya kepo maksimal, ibu tua masuk perangkap lagi. Aku yakin ketika pas masuk tadi netranya pasti terfokus pada kantong asoy yang kupegang."Oh itu, nasi bungkus punya Lio, Bu." sahut Mas Bendu yang masih berdiri di ambang pintu."Punya Lio? Buat ibu mana?" tagihnya."Bu, tadi aku 'kan udah nanya sama ibu mau dibawain apa! Ibu jawab nggak usah. Makanya buat ibu dan Nini nggak dibeliin." jelasku menyerobot sekalian menyindir terang-terangan."Diam kamu, Lio. Ibu lagi nggak bicara sama kamu. Nimbrung aja." bisanya gitu doang, dibilang nimbrung lah, lagi nggak ngomong sama aku lah, kebanyakan drama memang."Udahlah, Bu! Lio! Aku capek dengerin kalian berlawanan terus." pintupun dibanting Mas Bendu memasuki kamar.Sebodo amat, mau banting pintu kek, mau dicopotin pintu lama gigi kek, terserah. Sebodo aja. Mas Bendu yang ku kenal agak kalem
"Apa?! Kamu mau menikahi janda itu? Jangan gila Bendu. Ibu tidak setuju." jantungku berpacu kencang hingga ubun-ubun menggelegak, mendengar Bendu meminta restu untuk menikahi Liodra-seorang janda."Buuu...""Kamu tahu 'kan kenapa Liodra menjadi janda, dia dicerai mantan suaminya karena bermain serong dengan mantan kekasihnya dulu. Perempuan seperti itu yang akan kamu jadikan istri. Bodoh betul kamu Bendu." bentakku."Bu, tapi Bendu harus ngelakuin itu, Bendu harus menikahi Liodra, Bu." dia bertekuk lutut seraya memegang kakiku."Harus apa Bendu. Jawab! Jangan bertingkah, kamu akan ibu malu. Mau ditarok dimana muka ibu, Benduuuu!" "Bu, tapi Bendu mohon tolong restui pernikahan kami." dia tidak menyerah sedikit pun."Kamu benar-benar sudah sarap yah Ben. Masa nikahi perempuan yang sudah janda, belum lagi umurnya lebih tua, nanti kalau kamu nggak punya keturunan gimana. Kayak nggak ada perempuan lain saja yang kamu nikahi.""Iya, Bu. Bendu tahu itu, ta-tapi....""Tapi apa, Hah? Sudahlah