Share

Bab 8. Ribut Apaan Sih!

"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.

Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis.

"Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."

Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu.

"Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.

Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.

Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi kalau dibandingin, gajiku di tempat yang lama jauh lebih besar dari Mas Bendu. Posisi terakhirku adalah Supervisor di salah satu perusahaan obat kecantikan.

"Ibu juga terpaksa ngizinin Bendu, Ni. Kamu pikir ibu seneng punya menantu pengangguran kayak dia yang bisanya cuma meras Mas kamu aja. Apalagi mata duitan kayak begitu."

Ya ampun, tuh nenek-nenek dicocolin juga nanti mulutnya pake cabe rawit setan .

Mereka bersahut-sahutan bagai suara mercun yang diledakkan, sungguh membuat telingaku sakit. Ku atur nafas lalu melepasnya perlahan. Berusaha menjaga kewarasan otakku dalam mengontrol emosi meski jantungku semakin berdebar kencang. Mas Bendu melihat lirih padaku.

"Maafkan ibu dan Nini ya, Dik." pintanya berbisik seraya menggenggam erat tangan kananku.

"Maaf katamu, Mas? Dayamu hanya bisa berucap maaf padaku dengan gampangnya karena kamu tidak merasakan betapa teririsnya hatiku dihujat seperti itu." gumamku dalam hati.

Ku lempar senyum tipis pada Mas Bendu, mulutku terkunci untuk mengatakan iya padanya. Bukankah setiap kita punya batas toleransi, manusia mana yang harus diberi toleransi lebih dan manusia mana yang harus diberi pelajaran.

Aku pura-pura terpaku dekat lemari di depan Mas Bendu, akan kubuat dia semakin merasa bersalah padaku atas perlakuan ibu dan adiknya sendiri. Pintu kamar masih terbuka, ketika Mas Bendu hendak menutupnya. Nini datang bagai petir disambar gledek, mendorong paksa.

"Mas, apa-apaan sih pakai ngontrak segala. Kamu jangan manut saja sama istri macam dia, bukannya untung malah bikin rugi. Gaji bulanan juga kamu stor ke dia semua. Buka mata kamu, Mas." erangnya pada Mas Bendu sambil menatapku tajam.

Dia pikir aku takut dengan tatapannya, kalau bisa bakal ku congkel manik-manik matanya yang berwarna hitam pekat itu.

"Udahlah, Ni. Ini urusan rumah tangga Mas, kamu nggak usah ikut campur. Lagian kamu juga sudah dewasa sebentar lagi juga mau nikah katanya dengan Tito. Harusnya kamu giat cari kerjanya biar pas nikah nanti ada tabungan untuk biaya."

"Payah ngomong sama kamu, Mas. Dasar perempuan matre." semburnya sebelum meninggalkan kamarku.

Selepas Nini pergi meninggalkan kamarku, Mas Bendu pun menutup kembali pintu kamar.

Aku ingin sekali tahu kemana Mas Bendu pergi semalam, tapi biarlah ku tahan kekepoan akan itu. Ada hal lain yang penting dibahas.

"Mas, sekarang kebetulan hari Minggu, kita nyari kontrakan yuk siang. Man tauan dapat langsung sesuai keinginan dan harga sesuai kantong." ajakku pada Mas Bendu yang sedang memindahkan bajuku di dalam koper ke lemari, sedangkan aku sedang rebahan santai di atas ranjang.

Bukan berlaku tidak sopan, aku sebagai istri tentu memanfaatkan segala celah yang muncul ke permukaan bumi. Anggap saja kebaikan Mas Bendu seperti itu sebagai tebusan perlakuan ibu dan Nini.

"Apa tidak terlalu cepat kalau nyari sekarang, Dik?" tanyanya lalu menatapku mengharap iba.

"Oh tidak bisa Mas. Aku mau carinya tidak ada tawar menawar lagi. Lagian juga kamu udah gajian. Ibu dan Nini bisa kamu bohongi Mas, tapi tidak padaku.

"Yasudah, nanti siang selepas Sholat Ashar kita cari kontrakannya." jawabannya penuh pasrah.

Sudah kuterka, Mas Bendu pasti sudah gajian dari hari Jumat. Aku sebenarnya sudah curiga ketika dia bilang belum gajian dua hari yang lalu.

Tapi tak apa, nanti juga bakalan ketahuan belangnya jika berbohong denganku.

🌟🌟🌟

"Bu, kami pamit keluar sebentar ya." ujar Mas Bendu."

"Mau kemana kalian emangnya? Kok rapi bener?" tanya ibu penuh curiga.

"Nyari angin aja, Bu." jawabku semringah sengaja berbohong.

"Saya tidak sedang nanya sama kamu, Lio." raut kekesalan semakin bersinar di wajahnya yang sudah senja, tetapi masih suka julid. Aku hanya tersenyum padanya.

"Udah ya, Bu. Bendu pamit dulu." ucap Mas Bendu lagi seraya meraih tangan ibu.

Aku pun ikut meraih tangannya, walaupun aku sudah feeling ibu pasti akan menyentak kasar tangannya.

Dan benar saja, ibu menyentak kasar tangannya ketika kuraih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status