Sampai diambang pintu, kubuka seperempat saja agar tidak ketahuan, karena dari sumber suara yang kucerna, mereka sedang duduk di ruang tamu.Suara yang tadinya samar, kini mulai jelas terdengar di kuping ku. Itu kamu Mas, siapa lagi laki-laki di rumah ini selain kamu. Dan tak salah lagi suara lawan bicara Mas Bendu ialah Leria, wanita berita suara sedikit cempreng.Sedari tadi ketika tidak menemukan Mas Bendu di sampingku, hati sudah tidak karuan.Walaupun begitu, ku coba untuk mengumpulkan energi agar tidak salah sangka. Ku jorokan kepala keluar sedikit, memastikan seperti apa posisi duduknya.Tubuhku semakin terasa bergetar hebat dikala netraku menangkap basah suami yang baru menikahiku itu telah menodai ikatan sakral.'Romantis' itu yang tertangkap di kedua netraku, mereka duduk berdampingan Leria tampak menyandarkan tubuhnya pada bidang dada Mas Bendu. Sedangkan tangan kanan Mas Bendu tampak memegang tangan Leria.Perlahan kutarik kepala kembali, tak kuasa netraku melihat pemandan
"Iya, Mas. Barusan aku dapat email ada interview di salah satu perusahaan yang pernah ku kirimkan lamaran via email." jelasku."Wah, iya kah? Alhamdulillah, semoga kamu diterima yah Dik." ucapnya penuh harap."Dik? Piiuuuhhh, dasar mulut mur*han." gumamku."Jadi bagaimana? Kamu tetap mengantarkan Leria atau memilih mengantar ku untuk pergi interview?" tawarku.Menawar sepertinya lebih pantas ketimbang aku memaksa dia.Belum sempat dia menjawab tawaran yang kusuguhkan. Netranya terfokus ke pintu utama rumah, ku toleh pandanganku ke sana. Oh ternyata perempuan bersuara agak cempreng itu sedang melaksanakan aksinya, dia di papah oleh ibu dan Nini."Ben, bantuin dong, jangan malah berdiam diri menatap seperti itu." keluh ibu."Bu, maaf. Kayaknya Bendu nggak bisa ngantar Leria pulang, soalnya Bendu harus ngantar Liodra interview dulu.""Lho, nggak bisa gitu dong Ben." raut wajah mereka bertiga berubah seratus delapan puluh derajat, skenario mereka meleset dari sasaran. Tatapan semakin ngga
"Nah lho, nah lho kalau memang Leria loyalnya lebih terbaik dari aku, kenapa masih ribet sih dengan jinjingan kantong plastikku yang berisikan makanan ya 'kan." racauku dalam hati. Ingin sekali mulut ini menyuarakan isi hati, akan tetapi aku masih saja memilih urung melakukannya.Sengaja ku biarkan mereka bersahutan menghujatku bergantian. Biar saja mereka merasa menang di awal. Mungkin mereka akan menang bergelut denganku.Untung menu sore ini ayam lada hitam plus sayur capcay plus nasi disegarkan dengan satu gelas es teh manis melunturkan emosi yang tadi sempat terpancing ulah kata-kata mereka.Aku tidak ingin ceroboh, melabrak mereka sama saja mengotori tanganku yang indah ini. Terdengar samar mereka masih bersahutan, aku tetap tidak ambil pusing.Tak lama kemudian, ketika aku masih asyik menikmati suap demi suap santapanku sore ini."Lio, buka pintunya!" pinta ibu."Lio, kamu beneran menantu kurang ajar ya. Wajar saja kalau feeling saya nggak enak pas Bendu mau minta nikahin kamu.
"Lho, lho, Ben. Kok kamu di rumah? Nggak kerja?" Tanya ibu keheranan melihat Mas Bendu sedang di rumah siang bolong begini.Ibu sedari pukul 06.00 pagi memang sedang pergi bersama Nini, aku juga tidak tahu dan juga tidak mau tahu mereka pergi kemana. Makanya ibu tidak tahu kalau hari ini, Mas Bendu cuti kerja."Nggak, Bu. 'Kan mau pindahan." jawab Mas Bendu yang baru selesai mencuci tangannya sehabis makan siang."Pindah? Siapa yang mau pindah? Kamu?" nada suaranya meninggi dan kedua matanya membulat."Ini juga apa-apaan? Kamu beli nasi bungkus dua bungkus saja, Ben? Mana buat ibu dan Nini. Buka mata kamu, jangan mau diperalatan sama istri macam Liodra." kedua netranya terperangah melihat dua bungkus nasi sisa punyaku dan Mas Bendu, tampak dia menelan air ludah.Aku hanya cuek bebek sambil memainkan gadget selepas makan, masa bodo juga dengan kesyokan mertua lucknut itu. Dua nasi bungkus sengaja ku pesan lewat aplikasi online.Walau tadi Mas Bendu sempat komplain karena aku mesan dua
Waktu berpamitan yang paling kutunggu pun tiba, semua barang sudah diangkat ke atas mobil. Kamar yang tadinya tapi terhiasi dengan seperangkat ranjang dan kawan-kawannya kini seperti ruang kosong, terlihat menyeramkan."Bu, Bendu pamit ya. Besok Bendu ke sini lagi." ucap Mas Bendu pada ibu sambil meraih tangannya pada ibu yang masih duduk di ruang tamu. Wajahnya masih mengeram kasar menatapku."Tak perlu pamit-pamit, kamu nggak usah ngomong lagi sama ibu. Mulai sekarang, detik ini juga kamu bukan anak ibu lagi." erang ibu dan menyentak kasar tangannya. Nini yang sedang duduk di samping ibu, hanya memeluk wanita tua itu. Sesekali dia menatap sinis padaku."Mas, yuk pergi nanti keburu malam." ajakku dengan menahan tangannya ketika dia masih berusaha memohon pada ibunya.Untung Mas Bendu menuruti langsung menuruti kata-kataku. Ketika sampai diambang pintu, kubalikkan badan lalu menebarkan senyum semringah pada manusia lucknut itu. Lalu kubisikkan, "tunggu permainan selanjutnya."Ku harap
Tampangnya yang kalem, agamanya yang baik, tutur katanya ang sopan selama ku kenal, ternyata itu hanya topeng saja. "Kamu sama halnya dengan musuh di dalam selimut, Mas. Di depanku kau bertopeng seperti malaikat, tapi di belakangku ada skenario busuk yang kau jalankan."Aku sangat-sangat tertipu oleh sosok suamiku sendiri.[Mas, kamu kok tega sih nggak nganterin aku][Harusnya kamu nganterin aku, bukan Liodra][Ingat ya! Waktumu hanya seminggu dari hari ini!][Kamu harus menepati janjimu untuk menikahiku]Lanjutan pesan whatsapp dari Leria pukul 08.00 pagi ketika Mas Bendu tidak jadi mengantar Leria pulang ke rumahnya pagi kemarin.[Maaf, bukan begitu maksud Mas][Apa kamu mau ketahuan sama Liodra?][Jangan egois dan ceroboh, Ler][Beri Mas sedikit ruang untuk mengatur semuanya]Balasan dari Mas Bendu, pukul 10.00 WIB, ku pastikan dia membalas pesan Leria ketika sudah sampai di kantor. Beraninya hanya bersembunyi, dasar pengecut.[Lambat laun juga bakalan ketahuan, Mas][Sampai kapan
Begitulah isi email dari PT. Suka Jaya, perusahaan yang dua hari lalu mengadakan test seleksi untuk posisi Sekretaris. Masih sungguh tidak menyangka, bahwa aku yang akan mengisi posisi yang paling diminati oleh kaum wanita itu."Yaa Allah terima kasih atas rezeki karir yang Engkau berikan padaku. Semoga ini menjadi keberkahan untukku." Berulang kali aku sujud syukur.Seketika gawai yang berada dalam genggamanku berbunyi."Hallo!""Dik, kamu nanti sore Mas jemput ke hotel ya pas udah pulang kerja.""Iya! Tapi aku nggak mau dijemput pakai motor buntut kamu. Aku maunya dijemput pakai taksi saja!""Kok pakai taksi, Dik? U-u..""Kamu masih mempermasalahkan uang? Iya? Terus kamu mau aku kenapa-kenapa. Gitu? Kamu mau pinggang ku ini semakin sakit? Iya?!""Bu-bukan ju-juga Dik. Duh, Ya Allah kok kamu sekarang jadi pemarah dan suka bentak Mas sih, Dik?""Masalah buat kamu kalau sekarang aku pemarah dan suka bentak. Iya?! Yang jelas aku nggak mau terima kompleinan apapun dari mulutmu.""Hmm, ya
"Lio, buka pintunya!" suara gedoran pintu yang beruntun tanpa jeda.Sontak aku terhenti dalam tangisan, menerka-nerka siapa yang datang. Otakku berusaha mencerna siapa dia."Liodra, aku tahu kamu di dalam sana. Jangan jadi pecundang kamu, keluar sekarang!" teriaknya lagi.Aku beranjak dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu depan.'Lio, buka pintunya." wanita itu masih saja menggedor pintu rumahku.Kuintip lewat jendela, "Astagfirullah, bagaimana dia tahu rumahku?Ku tarik nafas dalam lalu melepaskannya perlahan."Leria, silakan masuk dulu!" ajakku dengan menebar senyum ketika pintu rumah sudah kubuka lebar. Layaknya tuan rumah bersikap ramah pada tamu yang datang. Padahal di dalam tubuhku, darah ini sudah menggelegak siap untuk disemburkan ke wajahnya."Ogah, aku di sini saja! Jijik, masuk rumah kamu." jawabnya sambil melipat tangan di perut. Bola matanya yang berwarna kecoklatan itu."Yaa ampun, dasar manusia nggak punya urat malu, mungkin aku yang lebih jijik mesti be