Waktu berpamitan yang paling kutunggu pun tiba, semua barang sudah diangkat ke atas mobil. Kamar yang tadinya tapi terhiasi dengan seperangkat ranjang dan kawan-kawannya kini seperti ruang kosong, terlihat menyeramkan."Bu, Bendu pamit ya. Besok Bendu ke sini lagi." ucap Mas Bendu pada ibu sambil meraih tangannya pada ibu yang masih duduk di ruang tamu. Wajahnya masih mengeram kasar menatapku."Tak perlu pamit-pamit, kamu nggak usah ngomong lagi sama ibu. Mulai sekarang, detik ini juga kamu bukan anak ibu lagi." erang ibu dan menyentak kasar tangannya. Nini yang sedang duduk di samping ibu, hanya memeluk wanita tua itu. Sesekali dia menatap sinis padaku."Mas, yuk pergi nanti keburu malam." ajakku dengan menahan tangannya ketika dia masih berusaha memohon pada ibunya.Untung Mas Bendu menuruti langsung menuruti kata-kataku. Ketika sampai diambang pintu, kubalikkan badan lalu menebarkan senyum semringah pada manusia lucknut itu. Lalu kubisikkan, "tunggu permainan selanjutnya."Ku harap
Tampangnya yang kalem, agamanya yang baik, tutur katanya ang sopan selama ku kenal, ternyata itu hanya topeng saja. "Kamu sama halnya dengan musuh di dalam selimut, Mas. Di depanku kau bertopeng seperti malaikat, tapi di belakangku ada skenario busuk yang kau jalankan."Aku sangat-sangat tertipu oleh sosok suamiku sendiri.[Mas, kamu kok tega sih nggak nganterin aku][Harusnya kamu nganterin aku, bukan Liodra][Ingat ya! Waktumu hanya seminggu dari hari ini!][Kamu harus menepati janjimu untuk menikahiku]Lanjutan pesan whatsapp dari Leria pukul 08.00 pagi ketika Mas Bendu tidak jadi mengantar Leria pulang ke rumahnya pagi kemarin.[Maaf, bukan begitu maksud Mas][Apa kamu mau ketahuan sama Liodra?][Jangan egois dan ceroboh, Ler][Beri Mas sedikit ruang untuk mengatur semuanya]Balasan dari Mas Bendu, pukul 10.00 WIB, ku pastikan dia membalas pesan Leria ketika sudah sampai di kantor. Beraninya hanya bersembunyi, dasar pengecut.[Lambat laun juga bakalan ketahuan, Mas][Sampai kapan
Begitulah isi email dari PT. Suka Jaya, perusahaan yang dua hari lalu mengadakan test seleksi untuk posisi Sekretaris. Masih sungguh tidak menyangka, bahwa aku yang akan mengisi posisi yang paling diminati oleh kaum wanita itu."Yaa Allah terima kasih atas rezeki karir yang Engkau berikan padaku. Semoga ini menjadi keberkahan untukku." Berulang kali aku sujud syukur.Seketika gawai yang berada dalam genggamanku berbunyi."Hallo!""Dik, kamu nanti sore Mas jemput ke hotel ya pas udah pulang kerja.""Iya! Tapi aku nggak mau dijemput pakai motor buntut kamu. Aku maunya dijemput pakai taksi saja!""Kok pakai taksi, Dik? U-u..""Kamu masih mempermasalahkan uang? Iya? Terus kamu mau aku kenapa-kenapa. Gitu? Kamu mau pinggang ku ini semakin sakit? Iya?!""Bu-bukan ju-juga Dik. Duh, Ya Allah kok kamu sekarang jadi pemarah dan suka bentak Mas sih, Dik?""Masalah buat kamu kalau sekarang aku pemarah dan suka bentak. Iya?! Yang jelas aku nggak mau terima kompleinan apapun dari mulutmu.""Hmm, ya
"Lio, buka pintunya!" suara gedoran pintu yang beruntun tanpa jeda.Sontak aku terhenti dalam tangisan, menerka-nerka siapa yang datang. Otakku berusaha mencerna siapa dia."Liodra, aku tahu kamu di dalam sana. Jangan jadi pecundang kamu, keluar sekarang!" teriaknya lagi.Aku beranjak dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu depan.'Lio, buka pintunya." wanita itu masih saja menggedor pintu rumahku.Kuintip lewat jendela, "Astagfirullah, bagaimana dia tahu rumahku?Ku tarik nafas dalam lalu melepaskannya perlahan."Leria, silakan masuk dulu!" ajakku dengan menebar senyum ketika pintu rumah sudah kubuka lebar. Layaknya tuan rumah bersikap ramah pada tamu yang datang. Padahal di dalam tubuhku, darah ini sudah menggelegak siap untuk disemburkan ke wajahnya."Ogah, aku di sini saja! Jijik, masuk rumah kamu." jawabnya sambil melipat tangan di perut. Bola matanya yang berwarna kecoklatan itu."Yaa ampun, dasar manusia nggak punya urat malu, mungkin aku yang lebih jijik mesti be
"Liodra, Hahaha sebelum kamu memberi hadiah lebih dahsyat padaku, bukankah kamu yang lebih dahulu menerima hadiah yang disuguhkan mertua dan iparmu sendiri." jawabnya seraya ikut berdiri."Pergiiii!!!!!""Kamu siapa, berani mengusir Leria seperti itu." mataku beralih ke sumber suara, ibu dan Nini baru saja menyelonong masuk ke dalam rumah."Darimana tua renta ini dan anak bau kencur tahu kontrakanku."Ingat ya, Lio. Kamu itu tidak lebih dari wanita murahan. Ibarat barang ronsokan yang dengan gampang jadi bahan taruhan bagu kaum lelaki." lanjutnya dengan senyum menyengir padaku.Leria, yang tadinya berdiri di depan ku berlari memeluk ibu yang masih berkacak pinggang di depan pintu. Sok mencari perlindungan. Keroyokan seperti anak ababil, nggak ada dewasa-dewasanya."Kamu nggak apa-apa 'kan, Nak?" tanya ibu pada Leria."Enggak, Bu. Hampir saja dia melukaiku, Bu. Tadi dia menamparku.""Iya, Nak?" tanya ibu seakan tidak percaya. Jangkan menampar aku bisa melakukan lebih dari itu bagi siap
"Liodra, Bu." Jawabku sigap."Oh iya, Nak Liodra. Kalau boleh tahu Nak Liodra siapanya perempuan tadi?" Tanya Bu Yeye penuh hati-hati."Aku yang mesti minta maaf, Bu. Sudah membuat keributan di sini tadi. Tapi semua di luar dugaanku. Hmm, maksudnya perempuan yang mana, Bu?" Tanyaku balik untuk memastikan 'kan ada ibu, Nini, dan Leria."Perempuan yang pakai baju warna hitam, Nak.""Yang pakai baju hitam 'kan Nini, kenapa Bu Yeye...? Hmmm..." gumamku dalam hati."Perempuan yang pakai baju hitam tadi Nini namanya, Bu.""Oh, iya Nini. Ibu baru ingat namanya." Sahutnya sigap. "Jadi, Nak Liodra siapanya Nini? Maaf ya ibu hanya memastikan saja." ucapnya memelas, tapi kulihat dari wajahnya ada sesuatu hal entah apa itu."Aku, kakak iparnya Nini, Bu. Istri dan Bendu-abangnya Nini. Hmm, kalau boleh aku tahu. Kenapa ibu, ehm bisa kenal dengan Nini?"Aku semakin penasaran dengan Bu Yeye, dia datang ke rumah demi menanyakan aku siapanya Nini. Kenapa bisa Bu Yeye mengenal Nini, sedangkan kalau diuk
[Dik, Mas nggak pulang. Dipaksa ibu nginap di sini][Kamu hati-hati di rumah][Kalau ada apa-apa kabari Mas secepatnya ya]Begitu isi pesan dari lelaki pecundang itu ketika ponselku berbunyi.'Kan terlihat sekali betapa pecundangnya dia sebagai laki-laki. Bilang saja memang takut menghadapi ku malah pakai alasan segala dipaksa ibu untuk nginap di sana.Tapi feeling ku memberi signal ada sesuatu yang terjadi di sana kalau tidak, mana mungkin dia menginap di rumah ibunya.***"Assalamu'alaikum." Ucapku sembari mengetuk pintu rumah Bu Yeye."Waalaikumsalam" terdengar sahutan salamku dari dalam rumah."Oh, Nak Lio. Silakan masuk, Nak." "Iya, Bu permisi." aku terkesima melihat isi dalam rumah Bu Yeye 'Elegant' satu kata itu cukup menggambarkan betapa takjubnya aku melihat pernak-pernik perabotan yang ada di dalam rumahnya."Silakan duduk, Nak.""Makasih, Bu." aku mengambil posisi duduk bagian ke pinggir dekat pintu masuk "Wah tumben nih main ke rumah saya pagi-pagi?""Begini, Bu. Maaf k
Flashback Awal PerkenalanSebulan dari setelah kejadian di supermarket tersebut dia datang lagi berkunjung ke rumahku.Saat itu hanya ada Mama dan Papa di rumah, sedangkan aku sedang bekerja dan adik-adikku sedang pergi sekolah dan kuliah."Lio, sini duduk dulu." Pinta Mama ketika aku baru sampai di rumah sepulang kerja.Dengan kening mengerut aku pun menuruti perintah Mama, "Kenapa, Ma? Kayaknya serius amat?" ucapku lalu duduk di dekat Mama.Sedangkan Papa ku lihat membaca koran, entah sedang berpura-pura membaca, entah apa. Yang jelas aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan mereka berdua."Lio, tadi ada laki-laki yang meminta kamu pada Mama dan Papa." ujar Mama pelan."Laki-laki Ma?" aku sontak terkejut mendegaru apa yang diucapkan Mama."Iya, namanya Bendu.""Bendu, Ma. Itu bukanny yang nganterin dompet aku waktu itu ya?""Iya, dia orangnya.""Ma, aku belum mau nikah lagi. Masih trauma, sama juga aku belum siap.""Nak, kamu bercerai sudah hampir lima tahun. Menurut Mama nggak ada