"Sekali lagi kamu datangi rumah Dilsah, Mamak patahkan kakimu!" ancam Bu Tarjo sarkas. Pak Bagiyo yang baru bangun tidur melangkah mendekati keributan yang terjadi di rumahnya. Sejak beberapa hari terakhir, keluarganya memang sedang dirundung banyak masalah. Jadi tak heran jika suara Bu Tarjo yang memekak telinga sudah terdengar pagi ini. "Kenapa lagi?" tanya Pak Bagiyo malas. Dia duduk di salah satu kursi dan menaikkan dua kakinya ke atas meja. "Bikin masalah dia di rumah Dilsah?" Bu Tarjo menyentak napas kasar. "Bisa gila aku lama-lama lihat kelakuan mereka berdua. Sudah dewasa, tapi dua-duanya bodoh!"Pak Bagiyo memutar bola matanya malas. Sudah hal biasa baginya mendengar Sang Istri yang menggerutu dan menghardik putri-putrinya sedemikian kasar. Pria paruh baya itu tidak peduli. Asal ada yang bisa dimakan hari ini.Matanya tiba-tiba menangkap sosok Laela yang berdiri seraya bersedekap dada. "Gak kerja kamu, La?" Suara Pak Bagiyo terdengar sangat tegas. "Jangan malas-malasan ha
"Pak, buka mata!" pekik Dilsah. Untuk pertama kalinya Akbar melihat istrinya itu berteriak dan sangat panik. Wajahnya menegang, bulir-bulir bening mengalir deras dari kedua matanya yang indah. "Gak, Pak! Bapak gak bisa seperti ini, aku ... aku baru saja menikah, tega sekali Bapak pergi secepat ini." Dilsah berbicara terbata-bata. Dadanya sesak melihat cinta pertamanya pergi di hari yang seharusnya adalah hari bahagia untuk mereka. "Innalilahi wa innailaihi raji'un." Kalimat istirja mengalun rendah dari bibir semua tamu. Banyak dari mereka yang meneteskan air mata melihat betapa pilu tangisan Dilsah dan Bu Mila."Dek, tenang!" bisik Akbar lembut. "Hei, tenang!"Dilsah menoleh. Riasannya yang berantakan tidak lantas membuat wajahnya terlihat buruk. Wanita yang baru saja sah menjadi istri Akbar itu menangis sesenggukan dalam pelukan Sang Suami. Dilsah mencengkeram erat punggung Akbar untuk melampiaskan sesak di dalam dada yang semakin me
"Antar Bapak ke rumah Bara," kata Pak Bagiyo memecah keheningan. Laela mendongak lemah. Rumah Bara? Rumah yang mana yang Pak Bagiyo maksud?"Rumah yang mana, Pak?" tanya Laela. Suaranya bergetar. "Bapak lupa kalau Mas Bara gak punya rumah?"Pak Bagiyo menyentak napas kasar. Refleks, tangannya yang kekar menggebrak meja hingga kacanya terpecah berserakan. Bu Tarjo dan Laela memejamkan mata erat. Kemarahan pria paruh baya itu tidak pernah main-main."Bodoh!" hardik Pak Bagiyo entah untuk yang keberapa kalinya. "Kenapa kamu bodoh sekali, Laela!"Laela sesenggukan. Di atas lantai, dia menangis meluapkan rasa kecewanya karena gagal menikah esok hari. Kemarin lusa, Bara masih bisa dihubungi bahkan semua persiapan pernikahan dari mulai tenda dan back drop sederhana sudah terpasang indah di ruang tamu. Bagaimana jadinya jika esok calon suaminya tidak datang?"Motor dibawa, uang lima
Akbar dan Dilsah saling pandang. Sejak setelah menikah, ini adalah kali kedua mereka menjenguk Bu Mila dan baru kali ini pula keduanya bertemu dengan Kanaya."Ada yang aneh," gumam Dilsah lirih.Bu Tarjo menangis sesenggukan. Bu RT yang merasa bersalah terlihat tengah memeluk tetangganya itu dan menepuk-nepuk punggung Bu Tarjo dengan lembut. Sementara Kanaya ... dia mengusap-usap pipinya yang terasa panas sambil sesekali menangis dan tertawa bersamaan."Bu, dia ...." Ucapan Akbar menggantung di udara. Namun Bu Mila paham dengan pertanyaan yang akan menantunya itu lontarkan. Wanita paruh baya itu mengangguk sendu dan mengusap sudut matanya yang berair. Dilsah menutup mulutnya dengan satu tangan. "Astaghfirullah," gumamnya lirih. Akbar memeluk Dilsah dengan sangat erat. Diusapnya lengan istrinya itu berulang kali agar sedikit lebih tenang. Perasaan bersalah pasti menelusup ke dalam hati Di
Kanaya menunduk. Sebentar kemudian menatap ke arah dimana Dilsah dan Akbar yang mulai meninggalkan kerumunan. Hatinya masih berdenyut nyeri, namun lagi-lagi senyum sendu terbit di bibirnya."Akbar, Nay ...." Laela meracau. "Mbak gak lupa, d-- dia per-- pernah Mbak ludahi.""Astaghfirullah ....""Innalilahi, Laela!""Ya Allah tega sekali ....""Sampai segitunya mereka memperlakukan Akbar," gumam beberapa tetangga yang ada disana. Decak sesal terucap dari bibir para tetangga mendengar sikap Laela yang dinilai sangat keterlaluan. Bu Tarjo memeluk Laela yang tengah terbaring dengan mata terbuka. Wanita itu menangis. Teringat pula bagaimana dia menghina dan menghardik Akbar juga Emak Lamba tempo hari. Kanaya melenggang masuk ke dalam kamar. Tidak kuat menahan nyeri di hatinya melihat keluarganya yang hancur berantakan. Pak Bagiyo menatap bungsunya dengan pandangan nanar
Emak melengos. Matanya tanpa sengaja bersirobok dengan mata Dilsah. Sejenak, wanita tua itu menatap menantunya dengan pandangan sendu.Kedua tangan Emak bertumpu pada sisi kanan dan kiri kursi. Kanaya menangis di pangkuan Emak Lamba namun wanita tua itu masih saja enggan menyentuh perawan cantik di bawah kakinya. "Maafkan aku, Mak, maafkan aku yang terlalu pongah ini," sesal Kanaya sesenggukan. "Emak pantas marah, Kang Akbar pantas berpaling, ak-- aku ... aku memang bukan wanita baik-baik," akunya jujur. "Sekarang yang aku harapkan hanyalah kata-kata maaf dari Emak dan Kang Akbar. Hanya itu."Emak lagi-lagi menatap Dilsah. Menantunya itu terlihat mengangguk seraya mengulas senyum samar di depan Emak Lamba. "Duduklah di kursi, Kanaya," pinta Emak risih. "Jangan sampai ada orang yang melihat dan mereka justru menyalahkan Akbar atas semua yang terjadi. Sudah cukup anak Emak mendapat hinaan sedemikian buruk se
"Bar!" Panggil Kang Dadang dari depan rumah. Akbar yang sedang duduk berbincang dengan Emak dan istrinya pun terperanjat kaget.Pria berusia matang itu keluar dan menjawab. "Ada apa, Kang?"Kang Dadang duduk di kursi teras. Mengibas-kibaskan topi sawahnya tepat di depan wajah. Siang ini matahari memang terasa begitu menyengat.Dilsah segera melesat menuju dapur rumah Emak, pengantin baru itu memang sudah memiliki rumah pribadi, namun sehari-hari keduanya senang menghabiskan waktu di rumah Emak Lamba, kadang juga keduanya pergi menyambangi Bu Mila itupun baru dua kali mereka kesana setelah menikah. Bukannya apa, Bu Mila sendiri yang melarang anak menantunya agar tidak terlalu sering datang, takut terjadi keributan bersama Kanaya. "Kopinya, Kang," kata Dilsah sembari meletakkan dua gelas kopi di atas meja teras. "Atau mau minum dingin, Kang?"Kang Dadang menolah halus. "Gak perlu, Neng. Terima kasih banyak."
Pernikahan Laela berjalan lancar. Dengan sederhana tentunya. Pras menikahi pujaan hatinya dengan mahar seperangkat alat salat dan uang satu juta rupiah. Tidak ada perhiasan, tidak ada ems batangan ataupun yang lain. "Selamat menempuh hidup baru ya, La. Ah, gak nyangka banget kalau kamu bakalan menikah sama petani seperti Pras," celetuk Halimah, teman kerja Laela di pabrik sepatu di kota mereka. "Aku masih ingat sekali waktu kamu bawa Bara ke acara makan-makan bareng anak-anak pabrik bulan lalu. Eh, gak taunya malah bukan Bara si Pengusaha itu jodoh kamu. Duh, benar-benar jodoh adalah cerminan diri." Halimah terkikik sementara wajah Laela memanas mendapat sindiran pedas dari teman yang selama ini dia anggap baik. "Mungkin ini yang namanya karma ya, Hal? Ingat gak waktu siang-siang kita pergi bertiga sama Laela, dia meludahi pacar Kanaya."Halimah mengangguk membenarkan. "Iya ya, jangan-jangan ini karma, La," sahutnya seraya menatap Lae