[Seorang ibu akan bahagia jika melihat anaknya bahagia, tetapi jika anaknya sedih ibu akan lebih sedih. Jadi, tuan harus terus bahagia agar ibunya di sana bisa bahagia. Semangat paman!]Sean tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk. Padahal sebelumnya, wajahnya tampak gelisah dan cemas saat ia mengetahui bi Asti memberikan album foto miliknya. Di sanalah rasa sedih, sakit dan rindunya terwakilkan. Alasan itu yang membuat dirinya melarang Zia membuka album tersebut.Lelaki itu tak ingin ada yang tahu rasa sedihnya. Sean juga punya alasan lain, ia tahu Zia memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. Tentu saja, dia tahu. Bukankah, gadis itu sendiri yang menceritakan kisah sedihnya lima tahun yang lalu saat tengah mabuk dan sebelum mereka berdua melakukan kesalahan.“Kamu mau memanggil saya tuan atau paman?” tanyanya pada layar ponsel di hadapannya seolah bertanya pada Zia langsung.Tentu saja Sean merasa ambigu, pesan yang sedang ia baca memiliki panggilan berbeda. Namun, lelaki itu
Ting! Suara pesan masuk ke dalam ponsel Zia. Gadis itu ketiduran dalam cemas setelah mengirim pada Sean. Tangannya menyambar cepat ponselnya, ia yakin Sean yang mengirimnya pesan. Benar dugaannya, pesan dari lelaki itu. Kedua bola matanya membulat sempurna melihat isi pesannya. Ia bahkan refleks bangun dari baringnya. Sekali lagi, ia memeriksa isi pesan berupa gambar seseorang yang ia kenali. Sean mengirimi foto Darul, ayahnya yang sedang berada di ruang rawat bersama dengannya. Wajah gadis itu langsung panik dan pucat. “Paman itu menjebakku? Bagaimana bisa dia tahu tentang ayahku?” ringisnya. Tidak! Ini adalah licik, pikirnya. Ia yakin Sean menggunakan masa lalu mereka dan dan sekarang menggunakan ayahnya untuk menjebak dirinya agar ia tak bisa melawan. Kedua tangan gadis itu mengepal keras, Zia harus mengakhiri kontrak dengan Sean. Dia tidak mau terjebak. Indera penglihatannya langsung tertuju pada koper bajunya yang belum sempat ia bongkar. Ia harus segera pergi dari masion itu
Zia memakai dress warna putih gading selutut dengan corak bunga tulip merah muda. Setelah merapikan bajunya, ia berjalan dan duduk ke meja rias sebentar. Gadis itu memoleskan sedikit pelembab pada wajahnya dan melapisinya dengan bedak tipis untuk meratakan warna kulitnya. Zia mengoleskan lip ice, setidaknya bibirnya tidak boleh terlihat pucat di hadapan ayahnya. Benar! Ia berdandan tipis untuk ayahnya bukan untuk Sean. Mungkin akan menjadi kencan terakhirnya dengan ayahnya sebelum ia kembali ke dalam penjara pamannya. Ah, tetapi ia tetap harus bersyukur karena ayahnya bisa segera dioperasi berkat bantuan Sean. “Okeh cukup!” perintah gadis itu pada pantulan wajahnya di cermin setelah puas memandangi wajah manisnya. Gadis itu hampir terkejut saat baru saja membuka pintu kamarnya. Bi Asti sudah berdiri di depan pintunya. “A—ada apa, Bi?” tanya Zia sedikit gagap. “Tuan Sean meminta Nona menunggu sebentar,” jawaban ramah bi Asti membuat kedua bola mata Zia membulat sempurna. “Memangny
“Tu—tuan, beneran mau menjadikan aku sebagai sugar baby dan meminta izin pada ayahku?” tanya Zia dengan tatapan tak percaya dan panik. Sean mengerutkan dahinya, kemudian ia tersenyum nakal. “Ide yang bagus, kita temui ayahmu untuk meminta izin!” Tubuh Zia terlihat lemas, wajahnya pucat. Walaupun sebelumnya ia memilih pasrah menjadi sugar baby-nya Sean, tetap saja ia takut dan tak siap. Ia menarik napas seraya menutup matanya, mempersiapkan diri untuk bertemu ayahnya sebelum memasuki dunia yang mengerikan, pikirnya. “Are you ready?” tanya Sean yang menyadari gadis di hadapannya terlihat lebih tenang. Ya, walaupun Zia belum bisa menghilangkan rasa takutnya pada dirinya. Glek! Salivanya menerobos paksa melewati tenggorokannya. Ia ingin menolak, tetapi pikirannya tertuju pada ayahnya. “Tuan—“ Ucapan Zia terputus, saat Sean sudah membukakan pintu mobil untuknya. Sean kemudian menggerakkan kepalanya ke arah pintu. Isyarat untuk dirinya masuk ke dalam mobil. “Come on, baby! Ah, aku le
Zia terdiam menahan semua rasa yang menyerangnya. Rasa takut, malu, kesal, serba salah dan menyesal karena salah berucap serta bereaksi. Rasa kesal dan malunya makin bertambah saat mendengar tawa lantang Sean. “Tenanglah! Saya tidak akan meminta lagi,” ucap Sean menahan tawanya, seraya melajukan kembali mobilnya. Gadis di sampingnya langsung menoleh curiga. Tentu saja Sean menyadari Zia menatapnya curiga. Ia pun menoleh sebentar. “Tapi jika kamu menawarkannya, saya tidak akan menolak,” godanya. “Tuan Sean!” sentak Zia tak bisa lagi menahan rasa kesalnya. Ia lantas menutupi wajahnya dengan tote bag-nya. Hingga 10 detik berlalu Sean hanya mengukir senyum dan fokus pada kemudi mobilnya. Zia pun menurunkan tote bag dari wajahnya. Setelah lama keheningan menyelimuti mereka, kini rasa canggung dan bingung menyelimuti gadis kecilnya Sean. Zia tahu betul arah yang mereka tuju sekarang. Sean benar membawanya ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Berarti dia yang selama ini salah paham pa
“Tu—tuan Sean?” Sean langsung disambut suara parau dan gagap oleh lelaki tua yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rawat. Ya, dia adalah Daru, ayahnya Zia. Cepat-cepat Sean berlari saat menyadari lelaki itu hendak bangkit dari baringnya.“Tidak usah bangun, Pak Darul! Saya tahu Pak Darul sedang lemah,” perintah Sean yang berhasil menahan tubuh Darul.Sean lantas tersenyum pada Darul. Sementara wajah Darul terlihat bingung dan salah tingkah. Perlahan, Darul pun tersenyum membalas senyuman Sean.“Bagaimana Tuan Sean menemukan saya? Dan apakah ruangan ini dari Tuan Sean?” tanyanya dengan suara lemah.“Bukan saya yang memberikan ruangan ini buat Pak Darul, tetapi putri Bapak lah yang memberikannya dan saya berhasil menemukan Pak Darul karena putri Pak Darul juga,” jawab Sean santun.Darul berpikir sejenak. “Zia? Maksud Tuan Sean adalah Zia?” tanyanya seraya membulatkan kedua bola matanya dan langsung dijawab anggukan Sean.“Bukankah Zia mengatakan pada saya kalau dia akan bekerja ke
Sean terdiam mendengar pertanyaan Darul. Wajahnya terlihat berpikir dan mencerna pertanyaan tersebut. “Suka? Maksudnya suka sebagai seorang laki-laki pada perempuan?” tanyanya memperjelas pertanyaan Darul. Lelaki tua yang terbaring di hadapannya mengangguk. Sean tersenyum. Sejujurnya ia sendiri ragu, ia lantas mengingat awal mulai ia betemu dengan Zia. “Setelah kepergian ibu, saya merasa hilang arah. Kemudian ayah saya menikah lagi dan keluarga barunya datang ke rumah. Bahkan Niko, saudara tiri saya mencoba mengambil alih perusahaan yang dibangun oleh ibu dan ayah. Sayangnya, ayah saya menyetujuinya,” ucapan Sean terhenti, ia menatap lelaki tua di hadapannya lagi dan tersenyum. “Saat itu saya sedang putus asa karena merasa diabaikan oleh ayah saya. Lalu saya bertemu dengan Zia. Saat itu juga Zia sedang sama putus asanya dengan saya,” penjelasan Sean terhenti lagi, ia kembali tersenyum. “Zi—zia? Apa yang terjadi dengan Zia hingga ia putus asa?” tanya Darul penasaran. “Saat itu Zia
“Oh tidak!” guman Zia panik diikuti wajahnya yang meringis.Perlahan ia menaikkan tubuhnya, tetapi tidak dengan pandangannya. Ya, sejak Sean meninggalkan dirinya di luar kamar rawat ayahnya, Zia gelisah dan penasaran. Ia tidak bisa menahan dirinya untuk mencari cara untuk menguping pembicaraan Sean dengan ayahnya, walaupun ia tahu kalau ruangan ayahnya kedap suara.“Zia, itukah kamu, Nak?” suara Darul seperti menyelamatkan Zia. Setelah ia menunjukkan barisan giginya pada Sean, Zia menerobos masuk melewati lelaki yang masih membentengi pintu di hadapannya. Gerakan Zia terlalu cepat, hingga Sean refleks terdorong ke belakang. Untunglah lelaki itu masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sean menarik napas panjang mendapatkan perlakuan tak terduga dari gadis kecilnya. Namun, dua detik kemudian ia mengukir senyuman. Ia melihat wajah haru di antara Darul dan Zia. Kemudian ia memilih meninggalkan ayah dan anak itu untuk melepaskan rindu.“Ayah, bagaimana keadaanmu?” tanya Zia setelah ia