Charlie sedikit kesal saat ia mengingat malam sebelumnya. "Wanita itu, Kalian yang mengirimnya, bukan aku yang memintanya," jawab Charlie tegasAlexa menatap Charlie dengan pandangan sinis, "Kami membayarnya dengan harga yang tinggi, Tapi, kau malah menghajarnya hingga babak belur. Untung saja dia tidak mengalami patah tulang," ujar Alexa, menunjukkan foto wanita yang wajah dan tubuhnya penuh memar. Charlie tersenyum santai seakan tidak merasa bersalah, "Aku bisa membayar biaya pengobatannya," kata Charlie, berusaha menyelesaikan masalah ini. Alexa melengos, raut wajahnya penuh kekecewaan. "Bukan masalah biaya, Tapi, kamu telah menyakitinya sehingga begitu parah," ujar Alexa, suaranya sedikit kesal. Charlie menghela napas, menatap Alexa dengan pandangan tajam. "Lebih baik aku menyakiti wanita lain, dari pada menyakiti istriku," jawab Charlie, mengejutkan Alexa dengan kejujurannya. "Kamu hanya ingin menyelamatkan dirimu, saat itu hanya dia yang bisa menghilangkan obat perangsang ya
"Menyembunyikan sesuatu? Apa maksudmu?" tanya Ronald yang penasaran."Saat aku bertanya, Dokter Hanz hanya menjawab bahwa kakak pergi ke sana hanya untuk periksa kesehatan. Tapi, aku malah merasa Dokter itu sepertinya membohongiku," jawab Hendy."Apakah Charlie yang memintanya? Atau memang kesehatannya ada masalah?" tanya Meliza."Aku akan mengutuskan seseorang untuk memastikannya," jawab Ronald. ***Stone berjalan tenang menemui Dokter Hanz di rumah sakit LA, Sesampainya di depan pintu ruangan praktek, ia mengetuknya dengan lembut. Dokter Hanz, yang sedang memantau perkembangan pasiennya, menoleh dan tersenyum ramah. "Silakan masuk," ucapnya. "Saya adalah Stone, asisten Pak Perdana Menteri," kata Stone sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Dokter Hanz. "Ada yang perlu saya bantu?" tanya dokter itu, raut wajahnya tampak penasaran. "Ada hal penting yang ingin saya tanyakan, Apakah Dokter bisa memberi saya sedikit waktu?" tanya Stone dengan sopan. "B
"Apakah dia ingin mencari kelemahanku untuk menjatuhkan aku?" kata Charlie dengan nada keras, matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ia merasa tertekan dengan tindakan Stone yang terus mengintai kehidupan pribadinya, mencoba mencari celah untuk menjatuhkannya. "Dokter Hanz sudah tahu apa yang harus dia lakukan, Andaikan mereka menemuinya lagi.""Biarkan saja dia melakukan apa yang dia inginkan, Kalau kita menghalanginya, dia akan semakin dia curiga!" jawab Charlie."Tuan, kalau Pak Perdana Menteri terus menyelidiki, cepat atau lambat beliau akan tahu kondisi Anda," ujar Andrew."Andrew, Untuk saat ini aku lebih penasaran hubungan kami. Apakah...kami akan menjadi musuh atau tetap sebagai ayah dan anak," jawab Charlie.Malam itu, Andrew dan Charlie duduk di ruang tamu yang remang-remang, berbicara tentang rencana mereka selanjutnya. Wajah mereka tampak tegang, namun penuh tekad. "Mengenai masalah ini, hanya orang itu yang bisa memberi jawabannya. Semoga saja dia masih hidup. Kalau
Di ruangan tamu yang luas dan mewah itu, Ronald menatap putranya, lalu menghela napas sebelum membuka pembicaraan. "Bukankah kamu sudah memegang kendali kekuasaan sebagian Angkatan Militer? Kenapa kamu memintanya lagi?" tanya Ronald penasaran. Tidak biasanya putranya itu meminta sesuatu yang hampir mustahil."Untuk persiapan, Aku mendengar informasi pihak musuh sedang melatih tentara mereka. Aku tidak ingin lengah. Sebagai seorang Jenderal aku harus bersiap atas segala hal. Mental prajuritku dan semua senjata yang dibutuhkan. Papa pasti mengerti maksudku," jawab Charlie. "Kalau itu tujuanmu, Papa tidak akan membantah. Kalahkan musuh dan mengharumkan negara kita. Ada satu permintaan yang papa harap kamu bisa mengabulkannya!""Tentang apa?" tanya Charlie."Tentang adikmu, Hendy," jawab Ronald.Charlie terdiam sejenak."Apakah dia sudah kuat melihat darah atau pun mayat?" tanya Charlie yang telah memahami isi hati ayahnya itu."Dia butuh latihan.""Pa, di medan perang bukan tempat latih
"Tuan, sebagian kebenaran sudah terungkap, Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?" tanya Andrew."Apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal, Kalau sudah meninggal maka jawaban yang aku ingin tahu tidak akan terungkap selamanya," ucap Charlie putus asa."Belum ada yang menemukan jasadnya, Jadi, aku yakin dia pasti masih hidup," jawab Andrew yang berusaha menenangkan atasannya."Orang yang mengidap penyakit Congenital insensitivity to pain with Anhydrosis, tidak akan bertahan lebih lama," ujar Charlie."Walaupun begitu, kita akan tetap mencarinya sampai dapat, Kalau kasus ini ada hubungan dengan Pak Perdana Menteri. Kita hanya perlu mengawasinya," ujar Andrew."Tuan, aku baru ingat sesuatu yang mungkin penting untuk kasus ini. Kematian istrinya juga misteri. Dulu dokter mengatakan dia meninggal akibat bun*h diri karena suaminya yang hilang. Akan tetapi, info yang saya dapatkan berbeda dengan yang diberitakan," ungkap Andrew. Charlie mengernyitkan dahinya, "Apakah, dia dibunuh
Kediaman Jenderal.Meliza dengan langkah anggun mendekati pintu gerbang kediaman besar yang terlihat seperti istana. Ia mengenakan kemeja merah yang menarik perhatian, dipadukan dengan blazer elegan dan dress selutut. Wajahnya penuh percaya diri dan matanya menatap tajam ke depan. Sementara itu, di dalam rumah, Vivian sedang berjalan menuju pintu depan untuk menyambut tamu yang datang. Begitu melihat Meliza, ia merasa asing dengan wanita itu. Namun, Vivian berusaha tetap sopan dan ramah saat menyapa Meliza. "Selamat datang, Nyonya. Apakah Anda ingin bertemu dengan Tuan?" tanya Vivian dengan sopan, sambil menundukkan kepalanya sedikit. Meliza tersenyum sinis dan menatap Vivian dengan tatapan merendahkan. Ia melihat gadis muda itu dari atas ke bawah seolah ingin menghancurkan harga dirinya. "Kamu adalah Vivian Alexander?" tanya Meliza dengan nada menghina, sambil mengangkat alisnya dengan angkuh. Vivian terkejut dengan sikap Meliza yang sangat angkuh. Namun, ia tetap menjawab dengan
Meliza tersenyum sinis, memandang Jenderal itu. "Saya hanya datang melihat menantu mama. Saya tidak sabar menanti kelahirannya," jawabnya dengan alasan yang jelas-jelas palsu. Vivian menatap Meliza dengan pandangan tajam, karena kebohongan wanita itu. Sementara itu, Charlie berusaha untuk tetap tenang, walaupun hatinya berkobar marah. Suasana di ruangan itu menjadi tegang, seolah-olah setiap kata yang diucapkan bisa memicu pertikaian hebat."Masih lama! Datang sekarang bukankah terlalu cepat! Silakan pergi!" ucapnya dengan nada tegas yang membuat tamu tersebut menelan ludah. Kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya. "Andrew, antar tamu!" perintah Charlie dengan suara berwibawa. Segera saja Andrew, asisten setia keluarga itu, mengangguk patuh dan menggiring tamu tersebut keluar dari rumah. Setelah memastikan tamu itu benar-benar pergi, Charlie menghela napas lega lalu menghampiri istrinya, Vivian, yang sedang di ruang tamu. Senyuman hangat merekah di bibirnya. "Kamu baik-baik s
"Tuan, Nyonya, selamat kalian sudah bersatu. Ini adalah berita gembira," ucap Celine tersenyum."Bibi...," ucap Vivian terhenti. "Nyonya Zanetta." Vivian langsung mengubah sapaan setelah mengingat identitas asli wanita itu.Celine dengan ramah menyahut istri sang Jenderal itu,"Panggil saja bibi! Terdengar lebih akrab. Setidaknya kita sudah kenal dan tinggal bersama satu malam," kata Celine dengan senyum."Baiklah," jawab Vivian.Charlie menatap mesra pada istrinya,"Saat itu hanya nyonya Zanetta yang bisa aku percaya, sehingga meminta bantuannya untuk menjemputmu," jelas Charlie."Sebenarnya kalau tanpa bantuan Anda, saya sudah tidak berdiri di sini lagi. Semua ini atas bantuan yang Anda berikan pada saya," ucap Celine pada Charlie."Sama-sama! Jangan sungkan!" jawab Charlie.***Charlie dan Vivian baru saja kembali ke kediaman mereka setelah menghadiri acara di gedung Group Stars. Setelah memasuki kamar, Vivian tampak duduk di tepi kasur dengan tatapan kosong dan wajah murung. Ia ter