"Bryan, jangan dengarkan dia," kata Emily dengan nada memohon, "Vivian selama ini cemburu denganku karena hubungan kita." Vivian tersenyum sinis, tak ingin memberikan Emily kesempatan untuk terus berbohong. "Apakah Bryan tidak tahu tentang laporan kehamilanmu dan foto USG?" tanya Vivian sengaja, ingin melihat reaksi Bryan. Mendengar pertanyaan tersebut, wajah Bryan langsung berubah, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Emily, katakan! Laporan dan foto apa!" kata Bryan dengan nada tinggi, tangan terkepal menahan emosi. "Tidak ada! Bryan, Vivian hanya mencari masalah denganku. Aku tidak tahu laporan dan foto apa," jawab Emily dengan alasan, matanya menatap Bryan dengan ekspresi takut dan panik. "Emily mengirim laporan medis tentang kehamilannya dan juga foto USG, ke alamatku. Dia mengatakan dia sedang mengandung anakmu. Oleh karena itu aku datang untuk memberi ucapan selamat pada kalian," jawab Vivian sengaja menyindir Emily.Wanita itu langsung cemas dan gemetar kedua tan
Bryan berdiri tegak di depan Vivian, matanya menatap lembut ke arah wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, "Maaf, karena kejadian yang tidak menyenangkan ini, Emily telah membuatmu kecewa dan menyakiti perasaanmu." Vivian menatap Bryan dengan pandangan yang mencari kebenaran, "Apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?" Ia berharap mantan suaminya itu memberitahu semua kebenaran yang dia alami. Bryan menggeleng, "Aku merindukanmu, Vivian. Hubunganku dengan Emily hanyalah sebatas hubungan pasien dan dokter. Selain itu tidak ada lagi," jawab Bryan dengan tegas, menegaskan bahwa tidak ada hubungan lebih dalam antara dirinya dan Emily. Vivian mengerutkan dahi, "Bukankah kamu menyukainya sehingga menceraikan aku? Kenapa sekarang berubah lagi?" tanyanya dengan nada yang mencoba menahan amarah dan rasa sedih yang mendalam." Apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya lagi.Bryan terdiam dan ragu mengatakan yang sebenarnya."Mence
Cemburu dan putus asa membuncah di dalam dadanya, membuat darahnya serasa mendidih. Dalam keadaan emosional yang tak stabil, Billy pun menenggak beberapa gelas minuman alkohol yang disajikan di hadapannya. "Bryan Anderson, aku akan bersaing secara adil denganmu. Kalau kamu berhasil mendapatkan dia. Maka, bukan berarti aku kalah. Tapi, kamu hanya beruntung saja," ucap Billy dengan nada penuh tekad, wajahnya semakin memerah akibat alkohol yang diminumnya. Ia berdiri, mengepalkan tangan, dan menghembuskan napas seakan ingin mengusir semua kekecewaan dan rasa cemburu yang menghantuinya. Jhones, yang selama ini selalu setia mendampinginya, menatap Billy dengan raut khawatir. Ia tahu betul betapa Billy mencintai Vivian dan seberapa besar kebenciannya pada Bryan. "Tuan, dia sudah terang-terangan melawan Anda, Apakah kita masih diam?" tanya Jhones, berusaha memberikan dukungan kepada Billy. Billy menatap tajam ke arah Jhones, matanya bersinar penuh kebencian dan keinginan untuk membalas
Billy berjalan menuju apartemen Vivian dengan langkah berat. Setibanya di depan pintu, ia menghela napas sejenak sebelum mengetuknya. "Tuk! Tuk!" suara ketukan pintu terdengar jelas. Kunci pintu terbuka dengan suara "Klek!" dan Vivian muncul di balik pintu dengan tatapan sayu yang menghiasi wajahnya. "Billy," sapanya lembut. "Apakah kamu ada waktu?" tanya Billy dengan nada berharap. "Silakan masuk!" ajak Vivian sambil tersenyum tipis. Ia lantas berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Billy pun mengikuti langkah Vivian masuk ke dalam apartemen. "Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Billy dengan sedikit sedih. Ia masih ingat pelukan Vivian dengan mantan suaminya. Rasa cemburu mulai menyelimuti hati Billy. "Seperti biasa, tidak ada yang istimewa," jawab Vivian sambil menghela napas. Ia kemudian mengambil dua gelas minuman dari kulkas dan mengulurkan salah satunya kepada Billy. Keduanya lantas duduk di sofa sambil menyesap minuman mereka. Di tengah percakapan, terliha
Billy mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia melintasi jalan-jalan di kota, tanpa henti. Suasana hati Billy sangat buruk karena kehilangan yang ia rasakan saat ini. Rasa emosi dan keputusasaan merasuki hatinya. Di tengah kecewa, ia memutuskan Vivian demi perasaan wanita itu yang masih mencintai Bryan Anderson. "Pa, sudah saatnya aku bertindak. Kita akan segera bertemu di sana," gumam Billy sambil memijat pelipisnya. Di sisi lain, prajurit Bryan Anderson dalam perjalanan menuju perbukitan tempat markas organisasi Billy berada. Sekitar puluhan mobil dengan lampu sorot menyala terang, mengambil langkah yang tegas dan sigap, menembus kegelapan malam menuju tempat itu. Mereka memiliki satu misi: menyerbu markas Billy, menghancurkan organisasi yang telah melakukan penyeludupan senjata dan narkotika.Di markas Billy, suasana hening dan tegang seolah meresapi setiap sudut ruangan. Anggota geng itu berjaga-jaga, siap menghadapi ancaman yang mungkin datang. Tiba-tiba, langkah kaki
Bryan mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada prajuritnya yang berdiri di belakangnya dengan senjata siap dipegang. Tanpa ragu, mereka menyusun diri, mengelilingi markas yang mereka incar, memastikan tidak ada jalan keluar untuk musuh mereka."Jangan bergerak!" teriak Murfy dengan suara lantang dan keras, menunjukkan wibawa yang dimilikinya. Dia mengarahkan senjatanya ke arah anggota yang menjaga pintu markas itu, membuat mereka terperanjat dan mundur beberapa langkah. Anggota markas Billy, berusaha tidak melawan karena tidak memiliki pilihan lain selain menaati perintah. Mereka berdiri dengan kedua tangan terangkat, tak berdaya. Tiga orang yang terlihat di depan Bryan, Murfy, dan prajurit mereka, menunjukkan rasa takut dan kebingungan yang mendalam. "Geledah!" perintah Bryan dengan tatapan tajam dan dingin, seolah menembus jiwa setiap orang yang berada di depannya. Para prajuritnya segera melaksanakan perintah itu, menggeledah setiap sudut markas tersebut untuk mencari
Bryan yang dalam perjalanan pulang, Tanpa disadari, ia sedang menjadi incaran musuhnya yang telah mengawasinya dari kejauhan. Di beberapa titik strategis, beberapa pembunuh bayaran bersembunyi sambil membawa senjata tajam dan senjata api, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Bryan, yang tidak tahu akan bahaya yang mengintainya, melanjutkan perjalanan pulang dengan tenang. Namun, saat ia melewati persimpangan jalan besar, tiba-tiba sebuah peluru roket meluncur ke arah mobilnya. Bryan hanya sempat melihat kilatan cahaya sebelum ledakan besar mengguncang udara. "Duar! Duar!" suara ledakan menggelegar, menghancurkan tiga mobil yang berjalan berderetan di belakang mobil Bryan. Serpihan kaca dan logam berserakan di jalan, sementara asap hitam mengepul dari reruntuhan kendaraan yang terbakar."Gawat! Saudara kita," teriak Murfy yang melihat prajuritnya tewas akibat ledakan."Cepat tinggalkan tempat ini! Mereka mengunakan peluru roket. Bukan hanya membunuh kita. Tapi, juga membunuh wa
Pintu mobil terbuka, dan beberapa orang berjas hitam keluar sambil berjalan cepat menuju pembunuh Jepang itu. Mereka mengeluarkan senjata dan mengarahkannya ke arah Yamamoto dan temannya"Jenderal, maaf, kami terlambat!" ucap salah seorang prajurit Bryan, yang baru saja datang untuk membantu. "Tahan mereka semua!" perintah Bryan tegas. Yamamoto, pembunuh Jepang yang menjadi sasaran, melihat kedatangan bantuan Bryan dan pasukannya dengan tatapan sinis. "Bryan Anderson, kau menggunakan cara ini untuk mengalahkan kami? Sungguh tidak profesional. Setahu ku, kamu bukan orang yang takut mati," cetus Yamamoto dengan nada kesal. Bryan menatap Yamamoto dan menjawab dengan suara tenang, "Sasaranku adalah Billy Maxwel, bukan kamu. Aku tidak berminat denganmu sama sekali." "Kau meremehkan aku," ujar Yamamoto dengan wajah merah padam. "Bukan meremehkan, Tapi, kalian tidak penting bagiku. Kalian hanya pembunuh bayaran yang menerima uang dari Billy Maxwel. Sedangkan orang yang aku incar orang a