Charlie menatap Vivian dengan penuh perasaan, langkahnya semakin mendekat. Sementara itu, Vivian terkejut saat menyadari identitas pria di hadapannya. Langkahnya terhenti dan mundur beberapa langkah. "Ke-kenapa kamu?" tanya Vivian dengan suara yang gemetar. "Karena kamu adalah wanita yang aku tunggu selama ini," jawab Charlie dengan tegas dan penuh perasaan. Vivian merasa campur aduk, ia mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang menggelegak. "Jawab pertanyaanku, kenapa kamu melakukan itu padaku? Apakah kita bermusuhan? Atau aku berhutang padamu?" tanyanya, suara penuh emosi. Charlie menatap mata Vivian dalam-dalam, seolah ingin menembus jantung wanita itu. "Vivian, aku menyukaimu sejak tiga tahun yang lalu," ungkapnya dengan lembut namun tegas. Vivian tercengang mendengar pengakuan Charlie. Matanya membulat tak percaya, sementara hatinya berkecamuk antara marah dan bingung.Alexa dan Micheal yang berdiri di sudut ruangan saling memandang,"Apakah dia selama ini memendamka
Micheal merasa malu ketika menyadari banyak pengunjung hotel yang melirik ke arah mereka. Dahi berkerut dan pipi merona, ia berbisik pada Alexa, "Bagaimana kalau kita cari tempat lain saja?" "Saran yang bagus," jawab Alexa setuju, senyumnya mencoba menutupi rasa tidak nyaman yang sama. Namun sebelum mereka berhasil melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari dalam kamar. "Alexa!" seru Charlie dengan suara parau. Mendengar nama Alexa disebut, baik Alexa maupun Micheal terkejut. "Ada apa?" sahut Alexa, mencoba terdengar tenang meski hatinya sedikit kesal."Bawa beberapa lusin gelas ke sini sekarang juga!" perintah Charlie dengan nada tinggi, membuat beberapa pengunjung kembali melirik ke arah mereka. Micheal dan Alexa saling pandang, bingung. "Gelas? Apa tidak salah? Vivian sedang mengamuk dia malah menurutinya," gumam Alexa pelan, berusaha mengerti apa yang sedang terjadi."Charlie hanya ingin meredakan kemarahan gadis itu, Kita turuti saja," ujar Micheal."Wanit
Vivian melangkah keluar dari hotel dengan langkah gontai dan wajah murung. Angin kencang meniup rambutnya yang terurai lembut, menambah kesedihan yang mendera hatinya. Pikirannya terus melayang pada bayi yang ada dalam kandungannya. "Pernikahan yang tidak aku inginkan, Hubungan palsu ini tidak mungkin akan bahagia. Demi bayi ini aku harus menikah dengan seorang Jenderal. Pasti tidak mudah menjadi istrinya," batin Vivian, tangannya instingtif menempel di perutnya yang masih rata. Sambil berjalan menyusuri trotoar yang sepi, Vivian terus merenung. "Jenderal berpangkat tinggi? Apakah aku sudah gila sehingga harus melibatkan diri dengan prajurit negara," gumamnya pelan. Wajah Vivian tampak pucat dan lesu, matanya berkaca-kaca karena menahan rasa takut dan kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Ia tahu hidupnya akan berubah drastis setelah menikah dengan Jenderal itu. Namun, ia merasa tak memiliki pilihan lain demi masa depan bayi yang akan ia lahirkan nanti.Charlie baru saja kembali
Charlie mengulurkan tangannya hendak memeluk Vivian, namun Vivian langsung menepis tangan Charlie dengan gerakan cepat. "Apakah tidak boleh memelukmu?" tanya Charlie dengan suara yang lembut. "Tidak boleh!" jawab Vivian yang melirik tajam ke arah suaminya."Bukankah sangat aneh, kita adalah pasangan suami istri. Tapi, aku bahkan tidak diizinkan memeluk istri sendiri?" gerutu Charlie sambil menghela napas panjang.Vivian menatap Charlie dengan tatapan tajam, "Karena kamu bukan suami pilihanku," ujarnya dengan nada tegas. "Lain hari, lain waktu, lain tahun, lain bulan, jangan coba-coba menyentuh aku lagi! Aku tidak ingin hamil lagi!" sahut Vivian, kesal dan melangkah menjauhi Charlie. "Ini hanya pelukan, tidak mungkin bisa hamil," balas Charlie dengan santai, mencoba meredakan suasana. "Mana aku tahu kalau kamu memiliki jurus lain untuk menghamiliku lagi," ujar Vivian, mengerutkan kening sebelum masuk ke dalam mobil yang telah menunggu. Charlie hanya bisa menggelengkan kepalanya sa
Malam hari.Kediaman Jenderal.Vivian berdiri tegak di tengah kamar yang luas, matanya menatap tempat tidur yang baru saja dibeli oleh suaminya, Charlie. Dia merasa tak nyaman dengan pemikiran bahwa dia harus berbagi tempat tidur itu dengan lelaki yang sebenarnya tidak dia cintai. "Apa kamu tidak sabar lagi mengunakan tempat tidurnya sehingga dari tadi kamu berdiri di sini dan hanya menatapnya?" tanya Charlie dengan nada sinis, sambil tersenyum tipis. "Aku tidak ingin tidur denganmu, Lebih baik aku tidur di lantai atau sofa," jawab Vivian tegas, wajahnya memerah. Charlie mendekati Vivian, menatapnya dalam-dalam. "Jangan lupa anakku ada di dalam perutmu, Jadi, kalian tidak boleh tidur di lantai," ujarnya.Vivian mengepalkan tangan, menahan amarah yang sedang memuncak. "Tidak masuk akal sama sekali, Ini adalah perjanjian awal. Sekarang kamu mengingkari perjanjian itu dan memaksa aku untuk tidur bersamamu," katanya dengan nada kesal."Baiklah, Aku sengaja membeli yang berukuran besa
"Lahirkan anak itu dan pergi! kami yang akan menanggung semua biayanya, Akan tetapi, kamu tidak layak menjadi menantu keluarga kami," ucap Ronald dengan nada ketus, membuat Vivian terkejut dan merasa terhina. Vivian merasa ingin menangis, namun dia berusaha menahan air matanya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Ronald. Di saat yang sama, Charlie tiba-tiba berdiri di antara mereka, menarik Vivian ke sampingnya dan berhadapan langsung dengan ayahnya. "Siapa yang memintamu ikut campur urusan rumah tanggaku," kata Charlie dengan nada tegas, melindungi Vivian dari tekanan yang diberikan oleh ayahnya. "Charlie...," ucap Ronald dengan nada kesar, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, Charlie tetap bersikap tegas dan tidak mau ayahnya mengintervensi kehidupan rumah tangganya. Charlie menatap tajam ayahnya dengan kecaman,"Sudah ku katakan, Jangan coba-coba ikut campur," jawab Charlie."Apakah dia adalah papanya Charlie? Kalau memang dia, berarti dia adalah Perdana Menteri
"Maaf, Tuan. Saya tidak mengerti di mana kesalahan saya," ucap Alena dengan suara lirih, hampir tak terdengar. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan Charlie, namun jantungnya berdebar kencang, takut akan kemarahan majikannya"Tidak tahu? Kamu sengaja menyuruh Vivian keluar agar dia menerima hinaan dari Perdana Menteri. Aku bukannya tidak tahu niatmu dari awal. Hari itu kamu yang menyuruhnya masuk ke kamarku. Padahal kamu sudah tahu kalau aku tidak pernah mengizinkan siapa pun yang masuk ke kamarku. Untuk apa kamu melakukan itu?" tanya Charlie dengan nada sedikit tinggi "Saya hanya ingin membimbingnya, Tuan. Tidak ada niat lain," jawab Alena dengan alasan.Dengan tatapan tajam Charlie mengatakan,"Aku tidak peduli apa yang ada di pikiranmu, Kamu perlu ingat! Jangan coba-coba melakukan hal yang sama! Vivian sekarang adalah istriku. Tugasmu menjaganya dengan baik dan hati-hati. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya aku tidak akan ragu mencabut nyawamu!" kecam Char
"Vivian sudah menjadi istrimu, Sepertinya dia harus mengetahuinya."saran Micheal.Charlie menghela napas panjang dan meletakan dokumen itu ke atas meja,"Belum saatnya, Kami baru menikah. Aku tidak ingin mengejutkan dia," jawab Charlie."Menurutmu, Apa mungkin dia berani melakukan itu? Ini adalah satu kesalahan besar dan tidak bisa dimaafkan," tanya Micheal."Saat itu dia sudah buta karena mengenal wanita lain, Apa yang tidak bisa dia lakukan demi kepentingan sendiri," jawab Charlie."Charlie, mungkin saja kamu harus mempertimbangkan lagi. Apa mungkin dalam kediaman yang kalian tempati dulu ada orang lain yang pantas dicurigai? Saat itu begitu banyak orang keluar masuk. Seperti pelayan rumah tangga, para pejabat yang datang bertemu dengan perdana menteri. Mungkin saja kita bisa mencurigai mereka.""Tidak ada alasan aku mencurigai mereka, Karena mereka tidak memiliki alasan untuk menyakiti seseorang yang bukan musuh mereka," jawab Charlie dengan tegas, matanya menatap ke arah Michael.