"Bagaimana?" tanya Wisnu pada Raras dan wanita cantik itu menggeleng. "Dia sama sekali tidak mau membuka mulut. Bahkan setiap kali orang bertanya kepadanya, dia tidak merespon." "Kalau begitu, kita akan kesulitan untuk mengungkap identitasnya. Atau bisa jadi dia terkena amnesia, dilihat dari lukanya yang cukup parah."Raras mengangguk. Selama beberapa jam mendampingi wanita itu, Raras sama sekali tidak mendapatkan informasi. Bahkan ketika dia mengurus administrasi saat membawa wanita itu ke klinik yang berada di pulau ini."Bahkan ketika dokter menanyai dirinya, wanita itu sama sekali tidak merespon, dia hanya berdiam diri kaku seperti patung," kata Raras sambil mengangkat bahunya.Wisnu menggangguk. Pulau ini memang cukup terpencil dibandingkan dari kota besar, tetapi pulau ini menjadi tempat wisata yang selalu diincar oleh wisatawan asing maupun wisatawan lokal. Sebagai orang yang sudah tinggal beberapa tahun di pulau ini, Wisnu bisa membedakan, mana penduduk asli dan mana pendata
"Kau yakin, Raras? atas keputusanmu?' kata Wisnu sekali lagi kepada istrinya itu, bagaimana Raras mudah simpati kepada wanita asing yang bahkan tidak mereka kenal sebelumnya.Wanita cantik itu menggangguk dengan mantap."Aku bisa merasakan, bagaimana menjadi dirinya, terdampar ke tempat asing tanpa bisa kembali ke asalnya sendiri.""Tapi aku rasa, mempercayakan dia begitu cepat adalah tindakan yang gegabah, Raras."Raras tetap saja pada pendiriannya, kemudian dia mendekati Wisnu dan mengusap lengan kekar pria itu sekilas sambil meyakinkan."Aku kasihan dengannya, aku mohon, kita mungkin bisa membantunya dengan memberi dia pekerjaan, lagi pula, kita memang membutuhkan karyawan karena kewalahan melayani para pelanggan di cafe kita." Raras tetap saja gigih."Aku setuju kamu memperkerjakannya, tapi untuk tinggal bersama dalam satu atap adalah ide yang sangat tidak bagus." Pendengar itu wajah Raras sedikit cemberut."Aku butuh teman, Wisnu. Please!""Tetap saja tidak boleh percaya begitu
Brak! "Temukan jalang itu, apa pun caranya!" perintah pria yang diperkirakan berumur awal empat puluhan itu pada dua pria yang sedang menghadap ke arahnya.Wajah pria tersebut amat murka, dia merasa tengah dipermainkan. Wanita yang telah diperlakukan seperti ratu, dia dia tetap saja bersikap seperti buronan. Dia telah mengorbankan banyak hal untuk wanita keras kepala itu, tapi wanita sama sekali tidak pernah menghargai apa yang dia lakukan. Dia tetap saja pergi meninggalkan rumah. ***Dua bulan yang lalu "Tidak, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini!""Tapi keluarga kita sudah sepakat!" sahut si pria dengan nada mulai meninggi, kesabarannya habis."Kesepakatan apa? Aku sama sekali tidak pernah punya keluarga, dan kau sama sekali tidak bisa memaksakan kehendakmu kepadaku!" ujar wanita itu dengan tatapan murka, wanita yang berhati dingin dengan wajah yang beku, tapi begitu menawan dan tetap saja cantik dengan cara yang berbeda. Bahkan tanpa senyum."Kau tidak bisa menolak
"Apakah rasanya enak?" tanya Raras begitu antusias kepada wanita yang mengaku bernama Mega itu. Tentu saja Raras akan membanggakan makanan itu di depan wanita asing yang baru dikenalnya selama sepuluh hari.Mega mengangguk dan tersenyum tipis."Rasanya sungguh sangat luar biasa.""Aku sudah menduga, kau akan menjawab seperti itu," kata Raras kepada Mega. "Apa kau tahu? bahwa sarapan bubur udang ini dibuat oleh suamiku dengan penuh cinta?""Jangan berlebihan, Raras," kata Wisnu yang mulai tidak enak dengan Raras yang selalu membanggakannya di depan wanita itu.Mega sejenak melirik Wisnu yang terlihat tidak peduli dengan dirinya. Selama beberapa hari tinggal bersama, Wisnu sama sekali tidak memberikan dia kesempatan untuk mendekatinya."Ini pertama kalinya aku memakan bubur udang di pagi hari, rasanya sangat spesial," kata Mega jujur.Sejujurnya, bukan itu yang membuat dia iri, ketika dia baru selesai mandi tadi, dia sempat melihat bagaimana mesranya Wisnu dan Raras di dapur, dia terli
"Kau yakin akan meninggalkanku di sini, Raras?" tanya Wisnu berulang kali kepada Raras, ini adalah pertanyaan ke sekian yang diajukan oleh pria itu kepada Raras. Memang, mengunjungi rumahnya di Jakarta, selalu rutin dilakukan Raras, sekali enam bulan Raras takkan absen mengunjungi ayahnya, karena ayah sudah sepuh dan sering sakit."Apa kau ingin ikut?" tanya Raras pada Wisnu, melihat keraguan wajah pria itu, membuat Raras merasa geli. Padahal Wisnu sudah terbiasa ditinggalkan sendiri. Bagaimanapun, tempat wisata yang eksotik itu cukup ramai, sangat sayang rasanya ketika kafe mereka tutup. Mereka pun tidak bisa tidak memiliki karyawan yang bisa dipercaya. Mega tak bisa apa-apa selain bersih-bersih."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa meninggalkan kafe kita," sahut Wisnu.Raras kemudian memangku tangannya sambil memicingkan matanya."Ada dua cara. Pertama, aku tetap pergi dan kau ikut.""Itu tidak mungkin." "Kedua, aku batal pergi. Dan itu tak mungkin bagiku.""Ras ....""Sudahlah, apa y
"Kontak lampunya rusak," kata Wisnu kemudian. Dia sudah mengecek lampu tersebut, bahkan menukar bola lampunya, akan tetapi ketika kontaknya ditekan, benda itu sama sekali tidak menyala, bahkan setelah menggunakan lampu yang berbeda beberapa kali.Mega yang dari tadi mengamati Wisnu hanya menggangguk. Mereka cuma mengandalkan cahaya lampu dari ruang tamu yang masuk melewati pintu kamar."Lalu, bagaimana?" tanya Mega kepada Wisnu, sebenarnya ini pertanyaan yang cukup lancang.Wisnu tidak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk keluar dari kamar."Bagaimana apanya?" kata Wisnu, kemudian mengusap keringatnya, semua itu tidak lepas dari tatapan Mega, entah kenapa, baginya suami orang itu ternyata lebih menawan daripada laki-laki tampan dan lajang."Saya tidak bisa tidur dalam keadaan gelap." Mega menunduk."Lalu apa yang harus dilakukan? apakah kamu ingin menyuruh saya memperbaiki kontak lampunya malam ini juga? sementara kamu tahu, bahwa saya sudah bersiap-siap untuk tidur.""Maaf, buk
"Kau yakin, tidak akan kembali ke perusahaan?"Ini adalah pertanyaan kesekian yang diajukan ayahnya kepadanya, dan sampai saat ini, Raras tetap saja tidak ingin berubah pikiran."Tidak, Ayah, aku sudah mengatakan ini berulang kali. Aku tak ingin bekerja di perusahaan." Raras kemudian memotong stiknya, suasana rumah sama seperti dulu, begitu sepi dan hening, padahal beberapa pelayan terlihat mondar-mandir. Tanpa bicara."Sejauh ini, Ayah sudah bersusah payah membangun perusahaan kembali, setelah mengalami kebangkrutan beberapa tahun yang lalu, dan kau lihat sendiri, Raras? saat ini Ayah sudah tua dan sakit-sakitan, Ayah tidak mungkin mempercayakan perusahaan kepada orang yang tidak ada hubungan pertalian darah dengan kita."Raras kemudian berhenti mengunyah, ia menatap wajah pasrah di depannya. Pria yang memilih hidup di rumahnya, demi mengenang mendiang istrinya, pria itu sama sekali tidak pernah menyerah dengan perusahaan yang sempat gulung tikar.Ayahnya sudah tua. Sementara dia me
"Sial," umpat Mega.Di sinilah dia sekarang, di sebuah penginapan sederhana yang tempatnya memang tidak begitu jauh dari cafe milik Wisnu. Pria itu begitu tega mengusirnya pada malam hari, memberikannya uang, dengan status pinjaman.Mega sama sekali tidak mengerti dengan pria itu, dialah satu-satunya laki-laki yang tidak pernah terpesona kepada dirinya, selama ini dia bisa menaklukkan siapapun, bahkan hanya dengan melempar senyumannya yang teramat manis."Aku jadi penasaran dengan pria itu," kata Mega sambil mengembuskan asal rokok dari bibirnya yang berwarna merah darah.Mega merebahkan dirinya di atas ranjang, rambutnya masih basah, tergerai di atas bantal, wanita cantik itu menerawang. Dia memang sudah menikmati semuanya, dulu dia menyangka, kekayaan adalah sumber kebahagiaan, sehingga dia selalu memikat pria kaya untuk peras uangnya, tetapi setelah berjalannya waktu, ketika dia menikah dengan pria paruh baya itu, dia merasakan, dirinya begitu kosong, dia tahu, bahwa cinta yang d