Semalaman, Raras tidak tidur. Pemikirannya terus saja terganggu dengan keluhan Wisnu tadi malam. Bahkan, pria itu sama sekali tidak mengaktifkan handphone sampai pagi hari. Raras kalut, tapi tak bisa berbuat apa-apa."Jangan lupa jam 09.00 pagi ada pertemuan dan kamu harus datang."Tak terbantahkan, titah itu harus dipenuhi oleh Raras, dia bahkan tidak bisa menolak perintah ayahnya itu. Hari ini ada rapat pemegang saham, Raras diharuskan hadir, sang ayah mulai memaksa melibatkan dirinya ke perusahaan.Ayahnya begitu berkuasa terhadap dirinya, mungkin karena pria itu tinggal seorang diri, dia sudah begitu tua, yang tertinggal dalam hati Raras adalah rasa kasihan."Kau baik-baik saja? wajahmu terlihat pucat," kata pria itu."Aku hanya kurang tidur, Ayah.""Saatnya kamu mengenyampingkan urusanmu dengan suamimu, saat ini, perusahaan butuh dirimu."Raras menggangguk, kemudian berusaha mengunyah makanannya yang mulai terasa tak enak. Moodnya hilang."Kau tahu, pasti bahwa perusahaan adalah
Mega mengeluarkan isi perutnya. Ketika rasa mual menera, keinginan untuk memuntahkan semua isi perutnya itu tidak bisa ditahan lagi. Sudah beberapa minggu belakangan ini, dia merasakan tubuhnya mengalami perubahan. Semua gejala hamil muda ada pada dirinya. Membayangkan saja membuat dia was was. "Jangan sampai ...." Mega frustasi membayangkan itu.Mega kemudian mengusap rambutnya. Melihat pantulan dirinya di depan cermin. Dia tidak bisa membayangkan, jika semua dugaan itu menjadi kenyataan. Dia tidak pernah berkeinginan untuk memiliki anak. Tidak pernah ingin menjadi seorang istri sungguhan, yang akan menghabiskan waktu seumur hidup merawat anak dan hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dia punya ambisi yang lebih jauh."Aku harus memastikannya sendiri," ucap Mega pada dirinya. "Dari pada dihantui ketidak pastian."Setelah merasa perutnya cukup tenang, dan keinginan untuk muntah itu mulai berkurang, Mega kemudian keluar dari kamar mandi. Sialnya dia malah berpapasan dengan Wisnu. P
"Jangan pulang sebelum membawa wanita itu dalam keadaan hidup ke hadapanku, Andrew!" titah pria yang berumur 50-an itu kepada pria muda di depannya. Wajahnya terlihat pucat, karena dia tengah sakit.Pria yang disebut dengan Andrew, pria yang berumur 32 tahun, seorang pria blasteran yang memiliki pembawaan tenang tetapi tegas. Sudah 15 tahun dia bekerja dengan Adiwijaya, seorang pengusaha kaya yang memiliki harta berlimpah dan perusahaan begitu banyak di negeri ini. Namanya bukanlah nama yang asing bagi para pelaku bisnis. Dia memiliki semuanya kecuali kebahagiaan."Saya akan mencarinya dan tidak akan pulang sebelum menemukan nyonya. Saya berjanji." Andrew menunduk. "Jangan pernah kembali ke sini sebelum kau membawa wanita itu, jika dalam beberapa hari kau juga tidak menemukannya Aku tidak segan-segan akan menghabisimu." Adiwijaya yang lemah, berusaha tetap menekan dan mengancam bawahannya.Adiwijaya berteriak murka. Tapi Andrew tidak begitu terpengaruh dengan ancaman pria itu, ia han
"Apa kabar, Raras?" Raras kemudian menoleh, gerakan tangannya berhenti membuka kunci mobil. Suara tak asing itu, jelas telinganya. "Andini? Wah, lama tak berjumpa." Raras berkata serius. Tanpa senyum.Raras kemudian membuka kacamata hitamnya, Andini keluar dari mobilnya mewahnya, mengenakan gaun berwarna pastel yang cukup terbuka."Terkejut?" tanya Andini ketus.Andini terlihat pongah, Raras akui, wanita itu terlihat lebih cantik dari terakhir dia melihatnya. Entah sudah berapa tahun."Tidak sama sekali, kenapa harus terkejut?" Raras melipat tangan di dada."Kau terlihat lebih kurus dan kulitmu lebih gelap dari terakhir yang kulihat, apakah menjadi wanita biasa menyiksamu?""Apa?" Raras tertawa."Aku dengar kau tinggal di pulau terpencil. Apakah di sana begitu sulit? Sehingga kau terlihat Kumal.""Ah, yang benar saja, kau tak tau ini seksi?" Raras tertawa.Raras sebenarnya tidak ingin memperpanjang masalah dengan Andini. Karena dia sudah tidak punya urusan lagi dengan mantan kakakn
Raras meletakkan kopernya tidak sabaran. Yang pertama kali yang dicarinya adalah keberadaan Wisnu, karena ketika dia memasuki kafe, Wisnu sama sekali tidak ada di sana. Raras kemudian berlari tak sabaran masuk ke dalam kamar. Dia mendapati punggung kekar yang begitu lebar, menjanjikan sandaran ternyaman untuknya.Wisnu tengah menghadap ke arah laut, memang sengaja menunggu Raras, tapi gengsi untuk untuk menelepon lebih dulu setelah pertengkaran di telepon beberapa hari yang lalu.Tanpa bisa ditahan, kemudian Raras mendekati pria itu, memeluk tubuhnya dari belakang. Dia menghirup aroma parfum yang bercampur dengan keringat itu dengan rakus. Dia sangat merindukan pria ini, yang sudah mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat, yang memberikan kebahagiaan yang tidak pernah diberikan oleh siapapun kepada dirinya.Jemari Raras meraba dada bidang itu, menyentuh dengan lembut. Pria ini sangat dicintai, bahkan tak ada kata untuk mengungkapkannya."Apa kamu begitu marahnya kepadaku? sehi
"Jadi, percintaan yang berbeda dan panas tadi, karena kau melihat keseksian Mega?" Bagaikan disambar petir, Wisnu terperanjat dengan tuduhan Raras. "Astagfirullah, kau kenapa, Ras?"Suara Wisnu terdengar lirih, bukan sakit hati yang dia rasakan, akan tetapi perasaan merasa dihina oleh istrinya sendiri.Raras mengambil jarak menjauh dari dirinya. Wanita memang serba membingungkan."Sehina itukah kau menilai diriku, Ras?""Aku hanya ingin memperjelas, percintaan tadi terasa berbeda, kau seakan memperlakukan aku layaknya wanita lain.""Astagfirullah, Ras. Istighfar, setan tengah merasuk ke hatimu."Bukannya sadar, Raras malah semakin menjadi, hatinya sangat cemburu, saat Wisnu mengatakan, Mega memasuki kamar dengan gaun minim yang terbuka. Terbayang, kilasan Mega yang berjemur dengan bikini merah menyala di depan rumahnya barusan."Mega masuk ke kamar saat aku tak di rumah, dan ....""Tunggu!" Wisnu memotong ucapan Raras. "Dia wanita gatal yang sejak awal tidak aku sukai, aku sudah men
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi