Hari pertama di negeri singa, Darline langsung mengekor Hayden menghadiri rapat produk terbaru mereka, yang mana perusahaan akan meluncurkan mobil sport limited edition yang hanya diproduksi satu saja di satu negara.Hayden tampak begitu berkharisma dan penuh wibawa saat menyampaikan presentasinya. Darline sampai tak bisa memalingkan tatapannya dari pria matang itu.Ada rasa yang berbeda mengalir di penjuru nadinya setiap kali dia menatap ke arah Hayden dan pandangan mata mereka berdua saling bertemu.‘Oh, Tuhan, ini tidak baik buatku. Aku bisa jatuh dalam dosa lagi kalau terlalu sering memandangi Hayden!’ Rintihan hati kecil Darline membuat wanita itu tak tenang. Namun tetap saja, tidak mungkin bagi Darline untuk tidak memandangi Hayden.Belum satu menit dia berdoa dan bertekad untuk tidak menatap ke arah Hayden terus menerus, Darline sudah mendapati dirinya kembali menatap ke wajah tampan nan matang pak boss nya itu.Di hari ke-dua, mereka menghadiri acara balap mobil yang disponso
“Darl ... Darline ...” ucap Hayden sampai hampir tersedak ketika menyadari apa yang tengah dilakukan Darline.Bibirnya berusaha menyingkirkan bibir Darline, melepaskan diri. Namun, Darline malah makin menjadi.Pengaruh alkohol dari minumannya, serta rasa frustrasinya, membuat Darline gelap mata.Malam ini, Darline hanya ingin kelegaan. Pelampiasan. Apapun akan dia lakukan asalkan segala rasa pahit di hatinya ini bisa tersembur lepas dari dirinya.Dan Hayden seperti penawar bagi racun yang bersemayam dalam hatinya.“Aku menginginkanmu, Paman. Seperti malam itu,” ucap Darline saat dia melepas pagutannya untuk sesaat.Namun, bibir ranumnya kembali melumat bibir Hayden sekejap kemudian. Bukan itu saja, jemari lentiknya pun membelai dada kokoh Hayden menimbulkan gesekan panas bagai bara api.Aroma napas mereka saling merasuk, kehangatan tubuh mereka pun saling menguar.Untuk sesaat, Hayden terbuai. Dia mulai menerima lumatan bibir Darline.Pria itu bahkan mengeratkan pelukan mereka.Kembal
Darline begitu terkejut mendengar suara Willson yang berteriak kasar di telepon.Dia sangat tak menyangka Willson akan langsung menyecarnya sekasar itu. Menyesal rasanya dia mengangkat telepon dari Willson di tempatnya berdiri sekarang ini. Karena ketika dia melirik Hayden, pria itu terlihat sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa dia harus sekasar itu memarahimu?” geram tertahan Hayden diucapkannya dengan kedua gigi yang masih mengatup.Tentu saja, suara keras Willson di telepon menguar dari ponselnya dan terdengar oleh Hayden.Darline merasa sangat dipermalukan Willson.“Maaf, Pak,” bisik Darline lirih sambil menjauh dari Hayden seraya menutup ponselnya dengan tangan agar suara Hayden tidak masuk dan terdengar oleh Willson.Saat dia telah tiba kembali di dekat gedung showroom yang kini sepi karena customer berkumpul menyaksikan show dari Ms. Lin, Darline mulai menjawab Willson dan berkata pada suaminya itu dengan nada menenangkan.“Willson, dengan kamu marah-marah tadi, aku berangg
Mendengar pertanyaan Willson, jantung Lissa berdegup kencang.Gadis itu langsung teringat tentang panggilan telepon dari Ringgo -pelayan yang dia titipkan gelas minuman wine yang telah dia bubuhkan obat perangsang- satu hari setelah pesta di Villa Opa Ben.Pada Ringgo Lissa memintanya agar minuman itu diberikan pada salah satu penjaga villa Opa Ben.Rencana Willson yang dijalankan Lisa waktu itu adalah agar penjaga villa Opa Ben yang telah meminumnya pun merasakan panas dan diarahkan untuk menunggu di paviliun kosong belakang taman.Di saat itulah, Willson juga mengirimkan pesan teks pada Darline.Saat pengiriman pesan itu sendiri, Willson sudah pergi dari villa Opa Ben, yang lalu disusul dengan Lissa dan ibunya selepas Lissa memastikan sendiri, Darline sudah ke paviliun kosong belakang taman.Namun, alangkah terkejutnya Lissa ketika hari Ringgo menelpon di siang hari berikutnya.“Maaf, Non Lissa. Minuman kemarin itu sepertinya terminum oleh orang lain.”“Haa? Bagaimana bisa? Kenapa k
“Sudah beres semua ini. Kamu masih ngapain lagi, Lis?” Bu Mira bertanya pada Lissa yang terlihat sibuk dan repot di kamar.Dia seperti mencari barang yang hilang.“Tunggu, Bu, masih nyari contact lense aku, Bu. Sayang kalau ditinggal.”“Ya, sudah, cepetan!”Bu Mira sudah siap dengan koper dan beberapa dus yang akan dibawanya menuju Bandung.Sebentar lagi, mobil sewaan mereka akan tiba dan mengantarkan dirinya dan Lissa ke kota baru tempat tinggal mereka. Rumah ini akan ditinggalkan dan biar Darline yang mengurus sisanya.Apakah rumah ini akan diberikan pada Darline dengan cuma-cuma?Tentu saja tidak. Ada sesuatu yang terjadi dan dengan rumah ini diberikan pada Darline, maka Willson akan bisa lepas dari semua hal.“Sudah, Bu, ini! Akhirnya kutemukan juga.” Lissa akhirnya muncul dari kamar dan ikut duduk menunggu mobil di ruang tamu.Melihat tidak ada kakaknya di sana, Lissa pun berbisik pada sang ibu, “Bu, apa nggak pa-pa kita tinggalin rumah ini sama Darline?”“Ya, nggak apa-apa lah.
Ketika Darline menuju dapur, dia tak menyadari bahwa kedua tangan Willson sudah terkepal keras. Begitu kesal dan marah Willson pada Darline karena dengan santainya malah mengundang Paman Hayden bertamu di rumah mereka.Namun, tanpa Willson sadari, kedua mata Hayden melihat tangan terkepal Willson.“Apa aku mengganggumu, Willson?” tanya Hayden seraya menancapkan tatapan intimidasi pada Willson.Pria itu segera gugup dan duduk di hadapan Hayden.“Tid- tidak, Paman. Tentu saja tidak.”Meski begitu, dari sikap duduk Willson, Hayden bisa melihat bahwa keponakannya itu teramat gugup juga marah.Hayden dan Mira merupakan saudara sepupu. Ayah Mira dan ibunya Hayden merupakan kakak beradik. Lalu, Ibu-nya Hayden menikah dengan seorang pria berkebangsaan barat, bermarga Lewis. Setahun kemudian, lahirlah kakak perempuan Hayden dalam keluarga Lewis disusul Hayden yang lahir tiga tahun kemudian.Namun, Mira telah lahir hampir satu dekade sebelum kakak perempuan Hayden lahir.Meski begitu, sekalipun
Tanpa perlu ditanyakan, pikiran Darline langsung menuduh Willson yang mengambil dua kotak perhiasan emasnya.Tentu saja siapa lagi? Darline selalu menyelipkan kunci laci di tumpukan baju terbawahnya. Dan hanya Willson yang mengetahui hal tersebut.Lagipula, sudah berulang kali Willson menyinggung tentang perhiasan itu dan mencoba ‘meminjam’-nya dari Darline.“Sekali ini saja, Darline. Bulan ini aku nggak punya uang sisa, Sayang. Mau biaya servis mobil dari mana lagi?Kalau tidak diservis, nanti cepat rusak. Ayolah! Sekali ini saja, aku meminjam perhiasanmu untuk kugadai. Aku sudah tidak mempunyai uang lagi.”“Biarkan aku meminjam perhiasanmu untuk kugadai, Darline. Supaya rumah baru kita cepat selesai.”Masih banyak kali Willson berusaha meminjam perhiasan itu dengan berbagai alasan. Beruntung Darline selalu menolaknya dengan tegas.“Perhiasan ini adalah mas kawin dari kamu untuk aku, Willson. Jadi, ini adalah milikku sendiri. Hak-ku sendiri. Tidak ada hak-mu di perhiasan ini. Kalau k
Apakah ini semacam pertanda bahwa Willson tidak menginginkan dirinya lagi? Bahwa Willson sudah memutuskan untuk membiarkan pernikahan mereka hancur? Darline pun memutuskan menjawab dengan sopan. Darline: [I’m okay, Paman.] Sent! Tak lama, balasan dari Hayden datang lagi. [Oke, Darl. Aku harap kamu sangat baik-baik selalu. Ingat, jangan ragu menelponku jika Willson bertindak kasar lagi! Dan satu lagi, berhenti memanggilku paman! Sudah kubilang, aku tidak mau menjadi pamanmu!] Darline semakin meneteskan air mata ketika membaca perhatian yang tergores di pesan chat dari pak boss-nya itu. Sejujurnya, sebagian dirinya ingin mengungkapkan apa yang baru saja dia alami pada Hayden. Tapi rasa malu yang menyelimuti dirinya lebih besar dari segala rasa pahit yang mendekam dalam dadanya. Darline pun mengetik lagi meskipun pandangannya terhalang oleh kaca ponsel yang sudah retak, juga air mata