Lissa sampai mengucek matanya untuk memastikan isi pesan yang dikirimkan Willson padanya.Seharusnya dia sudah bisa memperkirakan bahwa tugasnya akan tiba di fase ini. Jadi, seharusnya dari awal Lissa sudah memperkirakan bahwa konspirasinya bersama Ringgo -menutupi kesalahan mereka mengenai wine yang terminum orang lain- pasti akan terbongkar juga.Willson meminta rekaman CCTV Darline bersama penjaga memasuki kamar yang sama dan bermalam di sana, baru keluar dari sana ketika pagi menjelang.Lissa kelabakan. Dia gegas mengambil ponsel dan menghubungi Ringgo.Ketika akhirnya Ringgo menjawab, Lissa gegas menyecarnya.“Ringgo! Kamu harus tolongin aku! Willson minta rekaman CCTV di paviliun tempat eksekusi rencana kita pada Darline. Kamu bisa kan, cariin, tapi kalau dapat, kamu lihatin dulu siapa yang bersama Darline. Laporin dulu ke aku, baru nanti aku kasih tahu lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Bisa, kan?”Di ujung telepon ada jeda sejenak. Pria muda yang telah tinggal di villa
Sungguh sangat romantis sebenarnya. Tapi malah membuat DArline heran, sekaligus resah. Hayden menekan tombol B menuju basement sementara Darline masih menanti jawaban dari Pak Boss-nya itu. “Mas, kenapa bisa ke tempatku sih? Mas sengaja ya mau jemput-jemput aku ke kantor segala? Padahal semalam di chat katanya sampai ketemu di kantor.” Darline memanyunkan bibirnya mencibir pesan chat yang sangat berbeda dengan kelakuan pria itu pagi ini. “Sudah kubilang tadi, kan? Kebetulan mau ke kantor, jadi aku samperin dulu. Kali aja pas momennya. Dan eeeh, bener, kau juga baru mau berangkat. Jadi ya sama-sama saja!” Darline merasa tak percaya. Dia pun mendelik Hayden. “Masa sih? Kok aku nggak percaya ya?” “Terserah! Kalau nggak percaya ya terserah. Yang penting sekarang kita harus segera berangkat kantor! Oh ya, coba kulihat dulu bekas lebammu kemarin." Hayden tiba-tiba saja meraih dagu DArline dan mengarahkan wajah Darline ke arahnya. Ditelisiknya lekat hingga membuat DArline deg-deg-an, me
“Err ... Ng—nggak kok, Bu, saya dari pintu samping.”Terlalu gugup membuat Darline malah berbohong. Dia menyesalinya tak sampai sedetik kemudian.“Ah, Ibu lihat dengan jelas, kamu masuk dari pintu belakang. Pake nengok kanan kiri lagi, kayak takut terlihat orang. Kamu datang dengan siapa memangnya?”“Errr, itu, annuu ...” Darline semakin gugup hingga, apalagi tatapan Bu Alma semakin lekat menelisik wajahnya, mencari kejujuran di sana.Tak sanggup dipandangi seperti itu oleh atasannya yang Darline yakin berusia di pertengahan tiga puluhan, Darline pun menunduk sambil menjawab lirih, “Iya, Bu, tadi dari pintu belakang soalnya ...”Saat itulah ide baru pun muncul. Darline menambahkan, “Soalnya tadi Bapak sempat manggil saya pas mobilnya lewat mau ke parkiran. Jadi, saya samperin dulu.”“Oh ... ya kalau begitu, kenapa harus bilang dari pintu samping tadi! Kamu ini!”Darline yang mendapat ceramah dari Bu Alma hanya tersenyum malu. Sekali lagi, dia mendapatkan delikan tajam -yang kali ini j
Masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum pukul lima petang. Karena semua pekerjaannya sudah beres, tidak ada lagi surat masuk yang urgent yang perlu segera ditelaah Pak Boss, maka Darline pun membereskan tasnya dan meletakkan tas di atas meja kerjanya yang juga sudah rapi dan bersih.Tidak ada apa-apa di atas mejanya kecuali tas-nya.Darline pun duduk sambil memikirkan apa yang akan dia lakukan selepas pulang kerja.Agendanya sore ini adalah mendapatkan beberapa pakaian rumah, tidur, serta kerja yang masih tertinggal di rumahnya.Tadinya, Darline ingin membeli saja, tapi setelah dipikir-pikir, dia sedang membutuhkan uang dan belum gajian. Daripada membeli lebih baik mengambil yang tertinggal di rumah.Teringat olehnya bahwa jendela kamar terbuat dari kaca. Dan tidak ada terali kecil lagi di baliknya. Jadi, jika dipecahkan, dia akan bisa memasuki kamar dengan mudah.Lagipula, rumah itu sudah diambil rentenir, kenapa dia tak boleh merusaknya?Sedang berpikir, intercom-nya berbun
Sisa hari itu dilalui dengan sedikit perdebatan antara Darline dan Hayden. Hayden berkilah bahwa hukuman Darline adalah menemaninya sepanjang malam Jumat itu hingga sepanjang weekend, tapi Darline berkilah dia memiliki urusan pribadi yang harus dia kerjakan sepanjang weekend. Diberikan alasan urusan pribadi membuat Hayden merasa tertolak. “Memangnya urusan pribadimu itu apa sampai-sampai menghabiskan waktu sepanjang weekend? Kamu jangan bilang ingin mencari Willson sepanjang weekend ini!” Suaranya jadi terdengar berat dan penuh wibawa mewanti-wanti Darline. “Nggak lah, Mas. Ngapain aku mencari dia?!” kilah Darline. “Ya, siapa tahu? Cinta seringkali membuat buta!” Disinggung seperti itu, Darline kembali terlihat muram dan berdiam diri. Hayden merasa tak enak, lalu meraih dan menggenggam tangannya. “Sorry, aku bukan bilang kamu cinta buta padanya. Aku hanya menerka, masih ada sisa cinta di hatimu untuk Willson.” Darline menggeleng kecil lalu menoleh pada Hayden. “Nggak ada, Mas.
Sabtu pagi, Willson bersiap menuju villa Opa Ben.Dia mengenakan pakaian semi formalnya dan saat Laura Bella keluar dari toilet, Willson sedang menata rambut lalu menyemprot parfum di pakaiannya.“Kamu udah mau pergi ke Opa Ben, Will?” tanya Laura Bella yang membiarkan rambut panjangnya terurai di bahu lalu dengan handuk melilit tubuhnya dia mendekati Willson, memeluknya dari belakang.“Bell! Jangan membasahi bajuku,” kata Willson ketika merasakan percikan air dari rambut Bella.“Nggak! Handukku udah kering kok. Ini dari rambut, nggak akan membasahi bajumu. Tapi ...”Tangan Laura Bella merayap mengelus dada Willson di depannya. Bibirnya didekatkan ke telinga Willson lalu dia berbisik, “Apa kamu yakin Ringgo bisa dipercaya?”Willson menghela napasnya. Itu juga pertanyaannya pada Lissa waktu itu. Namun, Lissa sudah meyakinkannya bahwa masih lebih baik Ringgo daripada membayar penjaga untuk berbohong.Willson sempat terkejut saat itu. “Kenapa harus membayar penjaga untuk berbohong? Kalia
Darline bangun pagi di hari libur dengan rencana seperti sebelumnya. Dia harus ke rumah lama untuk memecahkan jendela kamar dan mengambil baju-bajunya. Juga sepatu dan tas.Setelah mengambil semua barang-barangnya itu, Darline juga akan pergi ke rumah baru yang proses pembangunannya sudah terhenti.Dua agendanya itu membuat Darline turun cepat dari kasurnya dan menuju dapur.Ternyata tingkah absurd Paman Hayden yang menyuruh asisten kepercayaannya menyusup ke apartemennya ini sangat menguntungkan Darline.Dia jadi memiliki banyak bahan makanan untuk dia olah. Itu berarti, dia bisa merasakan sarapan pagi yang mengenyangkan sesuai keinginannya sendiri.Dilihatnya atas meja dapur. Selain bumbu dapur yang lengkap, Darline bahkan mendapati roti tawar beserta sebungkus keju di sampingnya.Darline pun berpikir untuk membuat sandwich simpel berupa roti panggang dengan keju dan telur mata sapi di dalamnya.Itu sudah cukup bergizi.Namun, ketika Darline membuka lemari es untuk mencari telur dan
Di villa Opa Ben ...Begitu kakek tua itu mengingat tentang Darline, pertemuan mereka tiba-tiba saja terasa bagai gading yang begitu banyak retaknya.Willson bergerak gelisah mendengar pertanyaan Opa nya itu. Terutama karena dia baru mengetahui jika Darline pernah memberikan masakannya pada Opa-nya itu.Willson tak pernah mengingat hal itu. Mungkin juga karena selama ini Willson tidak menaruh perhatian pada apa yang Darline lakukan sehingga dia sama sekali tidak menyadari saat Darline membawa masakannya sendiri ketika mereka datang ke villa Opa Ben.Mendadak lidahnya terasa kelu. “Darline ... err ... dia nggak ikut, Opa,” ucap Willson pelan.Andai boleh, dia memilih untuk tidak membahas Darline.“Kenapa dia tidak ikut? Dia tidak sedang sakit, bukan?”“Oh, nggak sakit, Opa. Darline sehat.”“Lalu? Kenapa dia tidak ikut?”Willson melayangkan tatapan pada ibunya sesaat sebelum Bu Mira mengangguk kecil, nyaris tak terlihat.Willson pun berkata lagi pada Opa Ben. “Err, itu karena Darline d