Nada berdiri di depan pintu apartemen milik Adrian. Sepanjang jalan, Nada mencoba untuk meneguhkan dan mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan Adrian, di tempat yang dulu hampir setiap hari dikunjunginya. Jari telunjuk Nada menekan tombol bel. Sedikit membutuhkan waktu lebih lama, sampai akhirnya pintu itu dibuka.“Nada, ada apa kamu malam-malam ke sini?” tanya Adrian yang membukakan pintu.“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om,” jawab Nada cepat. Namun, sedetik kemudian dia melihat sosok wanita di belakang Adrian. “Kenapa tidak kamu persilakan masuk dulu, Mas,” ucap Sindy, yang menghampiri Adrian, “halo, Nada sudah lama tidak berjumpa.” Sindy menyapa Nada dengan sebuah senyuman manis. Tentu saja Nada mengenal wanita yang kini sedang memeluk Adrian dari belakang. Ah, rasanya mual sekali melihat wanita itu bergelayut manja pada pamannya. “Aku tidak mau berbasa-basi. Lagi pula kalian tidak ingin aku ganggu lama-lama, bukan?” kata Nada, yang sama sekali tidak berniat untuk mem
“Jangan bercanda, Nada!”Kalimat itulah yang keluar dari mulut Adrian, tatkala mendengar ucapan Nada barusan. Adrian merasa yang dikatakan Nada hanya bualan semata.Nada mendengus, sambil tersenyum sinis, “Benar bukan? Om tidak akan percaya dengan ucapanku.”Nada bisa sedikit bernapas lega, setelah sebelumnya merasakan sesak. Namun, di satu sisi dia merasa sedih, karena memang pamannya ini tidak mengingat apa pun kejadian malam itu.“Jadi, rasanya akan percuma jika aku mengatakan; baik kebenaran atau kebohongan. Nyatanya Om tidak pernah mempercayai ucapanku.”Mata Nada kini sudah terasa panas, bahkan pandangannya sudah sedikit kabur. Dia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia dirasakan.“Om percaya padamu, Nada. Tapi ucapanmu barusan itu sangat keterlaluan sekali,” desah Adrian, lalu dia melanjutkan kalimatnya, “kamu adalah keponakan Om, walau kita hanyalah saudara angkat. Tapi, bagaimanapun juga kamu tetaplah keluarga Om. Om akan selalu melindungimu, kapan p
Nada membiarkan Deven sendirian di kamarnya. Seperti biasa, untuk meluapkan rasa kesalnya anak itu akan mencoba untuk menggambar. Rasa gelisah di hati Nada masih menyelimuti. Akhirnya dia mencoba menghubungi wali kelas Deven. “Halo, Miss maaf Deven tidak bisa sekolah,” ucap Nada saat panggilannya diangkat oleh Miss Billa. “Baik, Ibu. Kalau boleh tahu ada apa dengan Deven? Apa dia sedang sakit?” tanya Miss Billa dengan ramah. Nada menghela napas, “Saya juga tidak tahu, Miss. Tiba-tiba Deven mogok untuk sekolah. Dia bahkan sudah meminta untuk tidak masuk sekolah sampai hari Senin,” keluhnya. Umur Nada dan Miss Billa bisa dikatakan seumuran. Sehingga Nada merasa nyaman untuk menceritakan keluh kesah atas anaknya pada wali kelas Deven. “Mmm … sepertinya saya tahu kenapa Deven mogok sekolah, Bu,” jawab Billa dengan suara yang lemah. Nada menautkan alisnya, “Kenapa, Miss? Bisakah Miss menceritakan pada saya?” “Begini, hari ini di sekolah memang ada agenda membuat surat yang akan diber
“Uhuk!” Nada tersedak saat meminum air mineral. Hidungnya terasa perih sekarang, bisa-bisanya dia tidak hati-hati di saat minum.Mungkin karena Nada masih memikirkan Deven. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Karena dia yakin seratus persen, kalau alasan Deven mogok sekolah karena malu dengan kondisinya. Tadi Deven melakukan panggilan video dengan teman sekolahnya; Freya dan Nathan. Mereka sepertinya merindukan Deven, dan meminta anak itu untuk bersekolah hari Senin nanti. Namun, Deven tidak menjawab saat teman-temannya itu meminta Deven untuk bersekolah. Bahkan si kembar itu merekomendasikan hal gila agar Deven mau untuk bersekolah. Mereka berkata bahwa nanti ayah mereka akan menjadi ayah Deven dalam sehari.“Ah, aku harus bagaimana supaya anakku tidak murung lagi?” desah Nada frustrasi. Namun, otaknya itu tiba-tiba mengingat sesuatu. Dia ingat akan ucapan Nicko yang dulu pernah diucapakannya untuk Deven. Apakah Nada meminta bantuan Nicko saja? “Baiklah, setidaknya aku ha
“Ayo kamu siap-siap, kita berangkat sekolah bersama. Hari ini Om akan menemani Deven di sekolah,” terang Nicko dengan senyuman lebarnya.Deven terlihat ragu-ragu, dia menatap sang ibu. Nada tahu tatapan mata Deven yang seperti itu. Tatapan memohon izin pada Nada. Tak ingin membuat anaknya kecewa, Nada pun mengangguk.“Ayo, kita siap-siap, Mama sudah siapkan seragam Deven hari ini,” ucap Nada.Senyuman pun terlukis di wajah Deven. Dia beranjak dan segera bersiap. Akhirnya Nada bisa bernapas lega sekarang.Setelah kurang lebih tiga puluh menit berkemas dan juga sarapan. Deven terlihat sudah siap dengan seragam sekolahnya.“Hari ini Mama Deven tidak boleh ikut, ya? Soalnya hari ini khusus kita berdua,” ujar Nicko sambil berjongkok di depan Deven.Lagi, Deven mendongak menatap sang ibu.“Kalau Deven hanya ingin berdua bersama Om Nicko, Mama tidak masalah. Mama akan menunggu Deven di sini. Lagi pula ini acara hari ayah nasional, kan?” kata Nada.“Baiklah, Mama. Aku berangkat dulu,” kata De
“Wah, kalian sudah pulang? Ada Mas Adrian juga,” ucap Ratna memecah ketegangan di antara mereka. Baik Nicko dan Adrian sama-sama menoleh ke arah Ratna. “Iya, Mbak baru saja datang,” timpal Nicko, “Ayo kita masuk ke dalam,” ajaknya. Namun, Adrian langsung menahan tangan Nicko. Membuat pria itu menghentikan langkahnya. “Mau apa kamu masuk ke dalam?” tanya Adrian dengan tatapan sinis. “Aku? Mengantar Deven bertemu dengan ibunya. Mana mungkin aku meninggalkan dia, bukan?” Nicko membalikkan pertanyaan pada Adrian. Rasanya hal itu tak perlu ditanyakan, Adrian seperti anak-anak saja. “Biar aku saja yang masuk bersama dengan anak … ah, tidak maksudnya Deven.” Adrian langsung meralat ucapannya. Bahaya kalau sampai Nada mendengar perkataannya barusan. Bisa-bisa keponakannya itu akan marah, karena dia tidak bisa memanggil nama Deven dengan benar. “Ayo, Deven!” ajak Adrian. “Tidak. Aku mau masuk dengan Papa Nicko,” tolak Deven yang membuat Adrian langsung menganga. “Pa-pa?” Adrian mengul
Ketegangan di antara Adrian dan Nicko seketika pecah, tatkala Nada datang menghampiri mereka. Baik Adrian atau pun Nicko mereka langsung mengubah ekspresi wajahnya. Berusaha tidak membuat Nada curiga dengan ketegangan yang sempat muncul pada kedua belah pihak. “Nicko, Om, makan malamnya sudah siap,” ucap Nada. Pandangan mata Nada menatap curiga pada kedua pria itu. Namun, dia tak ingin menunjukkan dengan jelas. “Oh, baik kita segera ke sana,” kata Nicko yang langsung melempar senyum pada Adrian. Mendapatkan perlakuan manis dari Nicko—yang bagi Adrian seperti dibuat-buat—mebuat pria itu berdecih. Kemudian dia pun berjalan menuju ke arah ruang makan. Eva duduk di kursi bagian tengah. Adrian dan Nicko duduk di sisi kanan Eva. Sedangkan Nada dan Deven duduk di samping kirinya. “Makan malam kali ini terasa sangat ramai. Biasanya hanya ada Mama, Nada dan Deven. Itu pun kita tidak pernah berbincang apa pun,” kata Eva. Bibir Nada terangkat kaku. Memang benar, selama Nada pulang suasana
Nicko langsung pulang setelah berpamitan. Dia menolak ketika Nada menawarkan akan mengantarnya ke depan. “Nek, maksud Nenek apa tadi?” tanya Nada, sebelum neneknya itu pergi menuju kamar. Eva mengerutkan keningnya, “Maksud? Maksud apa?” Helaan napas kasar terdengar dari mulut Nada, “Maksud ucapan Nenek yang tentang menikah.” “Oh itu, Nenek hanya asal ucap saja, bercanda,” terang Eva, “tapi memang Nenek memiliki harapan kamu menikah dengan Nicko. Dia pria yang baik dan terlihat sangat menyayangimu.” “Ma, sudah jangan membahas itu!” Adrian langsung memotong. Mendengar ibunya terus mengungkit masalah pernikahan Nada dan Nicko membuat dirinya merasa mual. Di satu sisi, ada kecemburuan yang dirasakan Adrian. Bukan hanya merasa cemburu karena Nada bersama Nicko. Tapi merasa cemburu, karena Eva seolah memberikan restu dengan terang-terangan pada keponakannya. Sedangkan pada hubungan Adrian dan Sindy, ibu angkatnya itu bersikeras untuk tidak memberikan izin. “Aku pun tidak setuju jika