Seketika Bu Warsih mengangkat wajahnya, terlihat pias, sangat pias. Aku berdiri bersilang dada melihat orang-orang ini bergemelut dengan masalah mereka."Ta–Tapi Juragan, dengan apa saya mengembalikan semuanya?" tanya Bu Warsih masih dengan wajah pias. "Saya nggak mau tahu!" bentak Juragan."Ini semua gara-gara kamu!" Bu Warsih menatap nyalang ke arahku, sambil menunjuk wajahku."Ini semua karena ulah Ibu sendiri! Bukan salahku apalagi salah Wina! Sudah sepantasnya Ibu bayar semuanya itu sendiri!" desisku tajam."Saya tak ada waktu, Pak! Bagaimana dengan tawaran Saya tadi? Iya atau tidak?!" Aku kembali melempar pertanyaan pada lelaki itu sembari aku melirik arloji di pergelangan tanganku.Kembali kulihat rahangnya mengeras, Ia tampak begitu gusar, akan keputusan apa yang akan diambilnya."Oke. Kalau anda memilih tidak menerima tawaran saya, Saya permisi! Dan bersiap lah untuk menyusul kedua anak buahmu di dalam penjara," ucapku serius. Aku mulai melangkah meninggalkan teras rumah in
Dimas pun terdiam dan menatapku lamat-lamat. Apa yang sebenarnya Ia ingin katakan.Aku balas tersenyum menatapnya, sampai di sini, aku sudah mendapatkan jawaban itu, diam artinya Iya. "Nggak usah tegang gitu, Bro. Santai aja lah." Dimas terlihat gugup dan salah tingkah, beberapa kali ia menggaruk kepalanya, yang aku yakin bukan karena gatal."Gue nggak enak aja sama Lo Bro. Maaf ya Bro." Ia terlihat tak enak hati padaku, mungkin benar kata Yunita, Dimas memendam rasa itu karena memang status Wina masih istriku.Aku menatap dalam ke arah sahabatku, sebenarnya terbersit rasa senang di hatiku, sudah sekian lama Dimas begitu sulit move on dari Mita, mantan pacarnya dulu, dan sekarang ada perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta, meskipun perempuan itu adalah istriku.Aku mengangguk pelan, seraya tersenyum ke arah sahabatku ini.Ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan."Awalnya aku nggak tahu, jika perasaan ini semakin kuat, sejak pertama kamu memintaku untuk mem
Malam bertabur bintang, langit yang gelap dan tenang, rembulan berpijar terang, seolah menyambut bahagia di dada.Aku melihat senyum terukir di bibir manis istriku. Aku pun bahagia, semoga setelah ini tak ada lagi ujian berat yang menempa rumah tangga kami. "Mas, kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil ini?" tanya Yunita, saat kami sudah masuk mobil."Tentu. Kau meragukan keputusanku?""Bu–Bukan gitu, bagaimanapun pernikahan adalah suatu hal yang sakral, karena itu sebuah janji di terhadap Allah.""Justru karena itu, aku mengambil keputusan ini, jika pernikahan ini terus dilanjutkan, dan hanya akan menyakiti, Wina, menyakiti hatiku sendiri, bahkan menyakiti kamu, buat apa? Wina juga berhak bahagia. Yang terpenting sekarang posisinya sudah aman, aku sudah menjalankan amanah yang Pak Wiryo pinta." Aku menjawab pertanyaan istriku dengan tenang, tak ada keraguan sedikitpun. Yunita mengangguk, tersenyum."Oke kita jalan sekarang?""He'em."Aku mulai melajukan mobil keluar rumah, meni
Pov WinaAku memang berasal dari keluarga sederhana, Tinggal di Sebuah desa yang lumayan jauh dari kota membuatku biasa hidup dalam kesederhanaan.Kasih sayang Bapak yang sangat luar biasa, membuat aku kuat menjalani hari-hariku setelah kepergian Ibu, dan dua tahun setelah kepergian Ibu, Bapak memutuskan untuk menikah lagi dengan Bu Warsih, beliau menjadi Ibu sambungku. Bu Warsih selalu baik denganku saat di depan Bapak, namun jika tak ada Bapak, keadaannya sebaliknya. Namun sekali lagi, Aku bertahan demi Bapak, hanya Beliau satu-satunya alasan untukku bertahan di rumah itu.Kehidupan kami berkecukupan saat Bapak masih bekerja sebagai mandor di pabrik teh, Bu Warsih pun terlihat begitu menyayangi Bapak, Beliau juga sangat perhatian sama Bapak, aku merasa senang walau sikap Bu Warsih padaku kurang baik, bagiku yang penting Bapak ada yang menemani masa tuanya nanti.Namun keadaan seolah berbanding seratus delapan puluh derajat ketika Bapak mulai sakit, sakit asma, radang paru, juga darah
Pov WinaSemakin hari perhatian demi perhatian kecil yang Mas Dimas berikan padaku, semakin membuatku tersipu malu, bukan karena apa-apa mengingat status yang aku sandang yaitu istri orang, aku pun tak bisa bersikap atau menampakkan raut bahagia berlebih padanya.Aku tak ingin yg terlalu kelihatan mencolok di depannya.Meskipun Mas Dimas selalu bilang, Dia yang mengantarkan bahan makanan karena Mas Firman sibuk dengan istrinya. Mas Dimas pun begitu santun, tak pernah berbuat kurang ajar atau apa, Ia betul-betul bisa menjaga diri, menghormatiku sebagai seorang istri dari sahabatnya.Ah, kenapa yang menikah denganku tidak Mas Dimas aja, dengan begitu tentu keadaan tak serumit ini, aku tak bisa membayangkan jika suatu hari istrinya Mas Firman mengetahui tentang aku, bagaimana jadinya aku.***Sore ini Mas Firman datang, membawakan sebuah kartu SIM, sejak beberapa hari memang aku mematikan ponsel karena aku takut Ibu telpon lagi, tak sanggup aku mendengar semua cercaan dan umpatan karena
Pov YunitaMalam ini kami menghabiskan waktu berdua di sebuah kafe dengan nuansa romantis, Mas Firman dulu pernah mengajakku kemari, tapi itu sudah lama sekali. Dan malam ini ia kembali mengajakku kesini.Gemerlap lampu kuning dan putih, kafe dengan konsep indoor dan outdoor, kami memilih duduk di luar, beruntung cuaca malam hari ini begitu cerah, bulan dan bintang yang bertabur menambah keindahan malam ini. Semilir angin sejuk dan syahdu serta alunan musik pop yang mengiringi."Kamu suka?" "Heem, tentu. Aku suka Mas. Kita udah lama baru ke sini lagi," sahutku."Aku ingin melihat kamu tersenyum, setelah kemarin kita telah melewati masa yang tak mudah."Aku mengangguk."Makasih ya Mas.""Aku yang harusnya minta maaf, semua memang salahku, aku terlalu pengecut untuk menceritakan soal Wina semua sejak awal, karena aku merasa tak siap, jika kamu marah, tapi tanpa kusadari, aku justru bisa kehilangan kamu, atas ketakutan itu.""Sudah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa.""Sayang, tetaplah di si
Hari terus berganti hingga tak terasa dua Minggu sudah berlalu setelah Mas Firman mengucap ikrar talak pada Wina, dan hari ini Wina mengabari kalau ia setelah mendapat pekerjaan, kebetulan di kantor Dimas ada lowongan pekerjaan, Wina pun pamit untuk pindah ke tempat kos, Dia bilang tak enak berlama-lama tinggal di apartemen itu, padahal aku dan Mas Firman sama sekali tidak keberatan, karena memang kami belum ada rencana untuk menempati apartemen itu.Tapi kami menghargai keputusan Wina dan sore ini juga Kami memutuskan untuk datang ke apartemen."Win, kamu yakin mau tinggal di kos? Kenapa nggak di sini aja sih?" tanyaku saat aku menemani Wina yang tengah sibuk memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar miliknya."Iya, Mbak. Aku nggak enak berlama-lama tinggal di sini, sudah saatnya aku belajar berdiri sendiri di atas kakiku sendiri, tidak bergantung terus sama Mbak dan Mas Firman," sahutnya tanpa menoleh ke arahku."Bagaimana hubungan kamu dengan Dimas Win?" Seketika Wina menghentika
Dari sini aku sudah bisa melihat kesungguhan Dimas, namun aku juga mengerti keputusan Wina, semoga seiring berjalannya waktu, dan setiap hari mereka bertemu di kantor, membuat Wina yakin akan kesungguhan Dimas, itu harapanku dan Mas Firman."Mas, besok hari Sabtu aku mau ke Mall sama Wina ya, mau belanja kebutuhan Wina."Kami sedang dalam perjalanan menuju ke rumah."Boleh, Sayang. Mau aku anterin?" "Nggak usah Mas. Aku naik taksi aja besok. Terus nanti pulangnya aku langsung ke rumah makan nyusul kamu.""Oke, Sayang. Hati-hati ya." Mas Firman mengangguk setuju.***Esok harinya sesuai janjiku, aku di antar Mas Firman ke tempat kos Wina, dan dari tempat kos Wina kami naik taksi ke sebuah Mall besar di ibukota. Aku lihat Wina begitu antusias, matanya berbinar melihat ramainya pengunjung Mall. Mungkin ini adalah sebuah hal baru bagi Wina mengingat tempat tinggalnya sewaktu di Bogor adalah di sebuah desa yang jauh dari kota.Aku senang melihat binar wajah cerianya. Kami masuk ke sebu