Share

BAB 5: Menebar Teror

Rania berjalan menyusuri lorong jalan, ia mencari sebuah alamat, akhirnya bernapas lega ketika tempat yang dicarinya ada di depannya.

’Butik Kinan’ tertampang tulisan yang besar dan elegan di depan pintu, dengan menghembuskan napas pelan, Rania berjalan memasuki pintu kaca, seorang karyawan menyapanya dengan sangat sopan.

Rania tersenyum, lalu berjalan ke arah baju-baju yang gantung rapi, lalu memilih asal baju, dan menuju ruang pas, tapi Rania tidak mencoba baju yang dipilihnya melainkan meletakan sebuah kotak, yang tutupnya dibuka sedikit.

Setelah itu keluar dari ruang pas.

“Bagaimana Kak, apakah cocok?” tanya karyawan.

“Maaf, gaun ini kurang pas di badan saya,” balas Rania.

Rania lalu berjalan keluar pintu, tepat di depan pintu keluar ia berpapasan dengan Kinan.

“Kinan..” sapa sinis Rania.

“Rania, apa yang kamu lakukan disini, jangan harap kamu bisa membeli gaun di butikku ini,” balas Kinan.

“Aku memang tidak bermaksud membeli baju di butikmu. Aku hanya ingin melihat bagaimana bisa wanita sepertimu yang katanya bermartabat dan pintar hanya bisa merayu suami orang.” Rania berucap dengan nada marah.

“Jadi wanita itu harus pintar, apalagi punya suami yang lumayan tampan dan berduit, harus dijaga ketat, kalau penampilanmu seperti ini, mana bisa mempertahankan suami,” balas Kinan, wanita yang mengenakan dres sebatas lutut, itu tersenyum sinis ke arah Rania.

“Kecoa, awas ada banyak kecoa!” teriakan beberapa karyawan dan pengunjung terdengar dari dalam butik.

Pengunjung butik berlarian keluar, dan bergidik jijik. Kinan terkejut, ia pun segera memeriksa apa yang sedang terjadi di dalam butiknya. Sementara itu Rania, tersenyum puas usahanya berhasil.

***

Malam beranjak naik. Rania, sudah berada di dalam kamarnya.

“Mah, kita makan malam apa?” tanya Safa di balik pintu.

“Pesan saja lewat aplikasi, sudah Mamah bilang, biasakan dirimu tanpa Mamah.”

Lagi-lagi jawaban Rania membuat Safa kesal, dan dengan bersungut ia memesan makanan lewat apalikasi yang tentu saja akan menguras uang sakunya itu.

Tepat pukul sembilan malam, Faiz pulang, ia terlihat marah dan langsug masuk ke kamar Rania.

“Ran!” bentaknya.

“Ada apa Mas?”

“Jangan sok tidak tahu, kamu ‘kan yang menaruh kecoa di butik milik Kinan!” suara Faiz terdengar lebih keras.

“Apa ada buktinya, jika aku yang menaruh kecoa itu,” balas Rania santai sambil memainkan jari-jarinya.

Faiz mendekati Rania yang duduk di tepi ranjang dan meraih ponsel dari sakunya. ”Lihat, gara–gara kecoa di dalam butik, kini nama butik Kinan menjadi bahan cemoohan di media sosial.” Faiz menatap tajam Rania.

“Tunggu saja, Kinan akan menuntutmu karena telah membuat kerusuhan di butiknya.

“Buktinya apa Mas, aku memang berkunjung disana tadi siang, tapi tidak ada bukti ‘kan, jika aku yang menaruh kocoa,” bantah Rania.

“Gara-gara kamu pengunjung butik kabur!”

“Syukurlah, Kinan juga sudah membuat dirimu kabur dariku,” sarkas Rania

“Rania!”

“Kenapa Mas, benar ‘kan, wanita itu yang membuat kamu kabur dariku,” sarkas Rania lagi.

”Mudah-mudahan dia kehilangan semua pelanggannya!” rutuk Rania.

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Rania.

“Pukul lagi! jika tidak, besok aku akan menaruh puluhan kecoa di rumah jalangmu itu.”

“Oh jadi kamu menantang aku Ran!” bentak Faiz.

Plak, tamparan kedua mendarat di pipi Rania, kali ini tamparan itu membuat berdarah di sudut bibir Rania.

Selain menampar, Faiz juga memukul dan menendang Rania, tapi wanita itu hanya diam, dan tersenyum getir, setelah puas melampiaskan kekesalannya pada istrinya, Faiz keluar kamar.

Rania bangkit dari lantai, ia sejenak menatap dirinya dengan wajah penuh memar, lalu berjalan ke arah meja, dimana ponsel dengan kamera menyala terpasang, Rania melihat rekaman vidio itu, lalu senyum sinis kembali mengembang.

***

Saat ini Rania sedang berdiri di rumah tua peninggalan orang tuanya, rumah kecil itu tidak terawat, Rania berniat merenovasi rumah yang sebagian gentingnya sudah ambruk dan dindingnya pun sudah rapuh. Karena satu–satunya yang akan menjadi tujuannya adalah rumah itu.

Tiba-tiba seseorang menyapanya. ”Ibu pemilik rumah ini?”

“Iya Pak, saya pemiliknya, ada apa?”

“Begini Bu, jika ibu berkenan, ada yang akan membeli rumah ini, dengan harga yang sesuai pasar, rumah di sekeliling ibu juga sudah setuju, karena akan dibangun sebuah rumah sakit.”

“Tapi saya keberatan Pak, jika menjual rumah ini.”

“Wah bagaimana ini, tinggal rumah ini saja yang belum bebas.”

Rania tampak bingung, rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuanya, di rumah ini kelak ia akan memulai usaha kulinernya.

“Bu, tolong pikirkan dulu, atau ibu mau bertemu langsung dengan pembelinya, yaitu Dokter Fathan.”

“Hemmm siapa pembelinya Pak, coba ulangi lagi?”

“Dokter Fathan.”

“Bisa lihat fotonya.”

“Bisa,” pria itu meraih ponsel dan memperlihatkan sebuah foto.

“Kebetulan sekali, aku kenal dengan Dokter Fathan, bisakah Bapak mempertemukan saya dengan Dokter Fathan, aku ingin membicarakan secara langsung dengan Dokter Fathan,” pinta Rania.

“Oke Bu, nanti saya sampikan, saya minta nomor ponsel, secepatnya akan saya hubungi.”

Dengan antusias Rania, memberikan nomer ponsel pada pria di depannya. Satu hari berlalu, Rania sangat menantikan pertemuanya dengan Dokter Fathan. Bunyi dering ponsel, berbunyi, nomor tanpa nama terlihat di layar ponsel.

“Assalamu’alikum,” salam Rania di ujung ponsel.

“Waalaikumsalam, kenalkan saya Fathan, yang akan membeli rumah Ibu, bisakah kita bertemu untuk membicarakan soal ini?”

“Bisa, Pak Fathan.”

“Saya akan share lokasinya Bu.”

“Baik, Pak.”

Senyum mengembang di wajah Rania, sebuah rencana besar sudah tertanam di benakya, sekali lempar, 3 mangsa berjatuhan.

Satu jam berlalu, Rania telah sampai di kafe, matanya menyapu seluruh ruangan kafe yang siang itu banyak pengunjung.

Hingga akhirnya matanya tertahan pada sosok pria berkemeja garis yang duduk sembari menikmati segelas jus di tangannya.

“Selamat siang Dokter Fathan,” sapa Rania, tersenyum hangat.

Pria dihadapannya, tampak berpikir, lalu berucap, ”Selamat siang, Bu..tampaknya aku pernah bertemu dengan Anda.”

“Iya, saya Rania kita bertemu di acara pinangan Dinda, adik ipar saya.”

“Ooh iya, kebelulan sekali, jadi rumah itu milik Bu Rania.”

“Iya, Pak Fathan, boleh saya duduk?”

“Oh, maaf silahkan duduk.”

Fathan berdiri menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Rania duduk.

“Bagaimana Bu Rania, berapa yang Anda inginkan untuk pembebasan tanah itu?”

“Sebenarnya rumah itu akan saya jadikan tempat usaha kuliner, tapi ketika saya tahu maksud Bapak untuk membangun rumah sakit, saya jadi berpikir ulang dan saya setuju.”

“Terima kasih Bu Rania, Dan untuk usaha kuliner Anda, saya bisa menawarkan kerjasama,” balas Fathan.

“Maksud Pak Fathan?”

Dokter tampan berusia 40 tahun itu terlihat berpikir. ”Bagaimana jika Anda saya percaya untuk mengelola dapur rumah sakit.”

“Ide yang bagus Pak, saya bersedia.”

“Oh baiklah, kapan–kapan kita bicarakan lagi.”

“Oh ya sebentar lagi acara pertunangan Dinda dan Basitan di adakan, aku harap kita bisa menjalin hubungan keluarga dengan baik.

“Anda harus mengenal dengan baik Dinda, Pak Fathan, sebelum menikahkan Dinda dengan Bastian.”

“Apa maksud Bu Rania, apakah Dinda bukan gadis yang baik?”

Rania hanya tersenyum. “Jika aku berbicara tanpa bukti, mungkin akan terdengar seperti fitnah. Tapi jika nanti bukti sudah ada di depan mata, aku harap Pak Fathan memberi keputusan yang tepat.”

Senyum terbit di bibir Rania, belum saatnya membongkar kebusukan Dinda, ini bukan wkatu yang tepat, batin Rania.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status