"Selamat pagi, Pak. Sudah siap untuk bekerja hari ini?" sapa Gunawan ramah saat Nibras masuk dan duduk di kursi penumpang belakang, sementara dirinya di belakang kemudi.Yang ditanya hanya berdeham pelan."Mau ke kantor dulu atau langsung ke FutureIt?" tanya sang asisten sembari melajukan mobil meninggalkan apartemen Nibras.Nibras pun berdecak, menatap sedikit kesal Gunawan melalui kaca spion tengah. "Kalau aku ke kantor untuk apa aku menyuruhmu menjemputku ke sini?"Gunawan hanya memamerkan cengiran tak berdosanya.Selama perjalanan, Nibras lebih banyak diam, tampak sibuk dengan tablet yang ada di tangannya meski Gunawan tahu, atasannya sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia pun tak ingin menggangu dan membiarkan Nibras.Perjalan tak memakan waktu lama, hanya sekitar lima belas menit dari apartemen Nibras. Setelah memarkirkan kendaraan di depan lobi, keduanya pun segera masuk ke dalam gedung yang tak seberapa besar
Seketika Nibras menegang. Khawatir tak dapat lagi ia tahan hingga begitu tampak di wajahnya. Pria itu bahkan telah berdiri dari duduknya. “Di mana dia dirawat?”Bernard menatap ke arah Nibras, bertanya-tanya atas reaksi yang sedikit berlebihan dari Nibras secara pria ini tidak mengenal Agnia. Ia melihat sekilas ke arah Gunawan yang sudah tersenyum kikuk."Ehm." Bernard berdeham sebentar, berusaha tidak menampakkan keheranannya. "Agnia sedang istirahat di rumah saja. Kemarin menurut staf, ia jatuh pingsan dan dibawa ke IGD-""IGD?" Wajah Nibras semakin pasih. Ia nyaris balik badan dan pergi dari sana untuk mencari Agnia jika Gunawan tak menahannya. Bernard semakin kebingungan."Pak..." Sang asisten berbisik, menyentuh lengannya untuk menyuruhnya duduk kembali"But she's-""Pak!" Kali ini Gunawan berkata dengan tegas, tatapannya lekatnya sedikit mengingatkan.Nibras pun seketika tersadar akan sikapnya yang spontan dan tidak
Agnia meremas jemarinya hingga kukunya memutih. Tatapan Nibras begitu tajam terhunjam hingga membuatnya nyaris tak dapat bernapas dengan benar. Belum lagi sang mantan suami berdiri menjulang di sisi tempat tidur dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, begitu dekat dengannya membuat atmosfir di kamar itu semakin menyesakkan. Ia menyesal tidak mencegah Gunawan yang tadi pamit keluar hingga harus merasa begitu kikuk dan serba salah. “Duduklah,” pinta Agnia lirih, mengacu pada kursi yang ada di dekat Nibras. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Nibras, mengacuhkan permintaan Agnia. Tak lepas ia menatap lekat wanita itu. “Ya, bisa saja kalau sudah waktunya sakit!” sahut Agnia sembari menatap mantan suaminya sedikit kesal. Meski sedikit pasih, raut wajah Agnia yang merajuk itu tampak menggemaskan, nyaris membuat tawa Nibras terlepas. Beruntung ia cukup sigap untuk tetap bersikap datar. Ia mendekatkan diri ke ranjang hingga Agnia spontan memundurkan tubuhnya ke sisi lain kasur
Nibras melonggarkan dasinya sesaat ia duduk di belakang kemudi Audi A5-nya. Pria itu menyandarkan kepala ke kursi seiring dengan kedua kelopak matanya tertutup.Tiga hari ia menyibukkan diri dengan segala meeting yang sengaja ia lalukan di luar kantor agar pikirannya terdistraksi tetapi tetap saja selalu kembali pada Agnia."Ah, sial." Nibras bergumam lirih sembari melepaskan kacamata lalu meletakkannya di kotak penyimpanan dekat persneling.Wajah pusat pasi mantan istrinya itu terus-terusan hadir seakan melekat begitu kuat. Tak tahan lagi, ia menekan-nekan dashboard untuk mencari nomor asistennya lalu melakukan panggilan."Ya, Pak?" sapa Gunawan setelah tersambung."How's everything?" tanya Nibras dengan suara lirih."Are you OK, Sir?" Ganti Gunawan bertanya sedikit khawatir."Agnia sudah masuk ke kantor?" Nibras tak memedulikan asistennya."Ya, sejak dua hari yang lalu.""Bagaimana dia?""Masih lengkap. Dua tang
Saat jarinya nyaris menyentuh layar, sebuah panggilan masuk atas nama Hakeem Shadeeq, sang ayah, tampak menggantikan nama Agnia.Pria itu terdiam sebentar, memikirkan alasan apa yang mendorong ayahnya menghubunginya sebelum ia menerima panggilan tersebut. "Ya, Ayah.""Kau kenal dengan Shania?" Tanpa basa basi pria baya di seberang sana langsung bertanya.Dahi Nibras mengernyit. "Shania? Maksud Ayah, Shania Tasrif?""Ya. Putri dari Budi Tasrif, menteri ESDM sekaligus penguasa tambang nikel di Kalimantan itu. Masih ingat?"Menebak-nebak kemana arah pembicaraan ini, Nibras menjawab 'ingat' dengan singkat."Nanti akan ada makan malam bersama dengan keluarga mereka. Bersiap dan datanglah ke Citilites, jam tujuh malam."Baru hendak membuka mulut untuk menjawab, panggilan itu diputus begitu saja. Helaan napas spontan terlolos dari bibir Nibras seiring ia menyandarkan siku ke jendela, lalu memijit pelipisnya.Meski pria itu tahu hubungannya dengan sang ayah memang tidak dekat, tetap saja mela
Februari 2020 - 11:12 WIB di Pengadilan Agama "Dengan ini, Mahkamah memutuskan bahwa perkawinan antara penggugat, Agnia Bakhtiar dan tergugat, Nibras Zubair Shadeeq telah putus karena perceraian. Kedua belah pihak diharapkan untuk mematuhi putusan ini dan bekerja sama demi kepentingan bersama."Ketua hakim yang duduk di singgasananya itu mengayunkan palu, menandakan putusan yang baru saja diucapkannya menjadi sah menurut hukum yang berlaku."Untuk jadwal ikrar talak akan diputuskan selanjutnya dan diinformasikan pada pihak tergugat dan penggugat melalui kuasa hukum masing-masing. Dengan ini saya nyatakan sidang perceraian ini selesai."Hakim yang bertugas beserta para pendampingnya pun segera berdiri lalu berjalan beriringan keluar ruangan diikuti dengan berdirinya para hadirin yang ada.Sepeninggalan mereka, Nibras memutar tubuhnya ke arah Agnia. Wanita itu sedang berbincang dengan kuasa hukumnya terlihat hendak beranjak keluar."Kau pergi begitu saja?" tukas Nibras cepat-cepat, berh
Suasana hening dan canggung begitu terasa di ruang rapat itu. Agnia tak tahu harus berkata apa selain berusaha meredam rasa terkejutnya atas apa yang sedang terjadi.Di sisi lain, Nibras menatap tajam ke arah istrinya … ah, tidak - mantan istrinya, dengan dahi yang berkerut. Kedua lengannya yang cukup kekar terlipat ke dada sementara kaki panjangnya menyilang dengan pose yang seakan ingin menunjukkan jika dialah yang mengendalikan semua yang ada di tempat ini.Seketika perhatiannya tertuju pada jemari Agnia yang sedang saling meremas di atas pangkuan hingga kuku-kukunya memutih. Satu alis pria itu sedikit terangkat, karena masih mendapati kebiasaan istrinya .. ah, bukan - mantan istrinya masih sama. Meremas jemarinya sendiri di kala gugup.Dalam hati, Nibras merutuki dirinya karena harus berusaha lebih keras untuk membiasakan diri jika wanita di depannya ini sudah menjadi mantan. Ingat itu, MANTAN!Dari balik kacamatanya, manik Nibras sekarang naik pada paras wanita di depannya yang t
“Kemarin gak semangat, sekarang minta ketemu lagi,” cetus Gunawan yang sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri tetapi masih tertangkap jelas oleh Nibras yang sedang duduk di meja kerjanya, tidak jauh dari Gunawan.CEO muda itu menatap punggung sang asisten dari balik kacamata. Gunawan yang duduk di sofa ruang tamu ruangan itu tampak sibuk dengan ponselnya lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.“Halo. Selamat pagi, Nona Agnia.” Sapaan dan senyum ramah sang asisten yang terdengar kemudian membuat Nibras semakin memicingkan kedua matanya dan menajamkan indera pendengaran. “Ah, ya. Maaf, soal kemarin. Sepertinya ada kesalahpahaman,” tukas Gunawan dengan nada menyesal.Nibras tak lagi fokus pada pekerjaan. Ia benar-benar memperhatikan asistennya secara penuh. Jika Gunawan dapat langsung menghubungi Agnia maka pria itu memiliki nomor mantan istrinya. Nibras mendengkus kasar dengan rahangnya yang sekilas mengetat saat menyadari hal tersebut.Detik berikutnya, Gunawan terpantau terta