"Maaf, Mas. Tapi aku tidak akan menceriakan Nafisah. Sekalipun tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk berpisah dengan anak dan istriku. Sekali lagi Maaf, tapi perlu saya ingatkan Mas Zamar tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga kami." jawab Mas Aska menyatakan penolakannya. Pria itu memberi alasannya yang menurutku tak sesuai dengan tindakannya. Katanya, dia tidak ingin berpisah denganku dan Azqiara, tapi kenyataannya selama kami hidup satu atap dia bahkan tak punya waktu sekedar menemani anaknya belajar.Ucapannya benar-benar membuatku bingung antara harus senang ataukah miris mendengar penolakannya untuk berpisah. Ucapannya seakan-akan begitu mencintaiku dan tak ingin kehilangan diriku namun sikapnya menunjukkan sebaliknya. Selama ini dia hanya menjadikan aku babysitter untuk Azqiara dan pembantu di rumahnya. Semua pekerjaan rumah adalah tugasku termasuk juga segala urusan Qiara juga menjadi tanggung jawabku. Sedangkan dirinya sibuk di luar rumah yang katanya mencari
"Azqiara akan tetap bersamaku. Bercerai denganku itu artinya kamu memilih berpisah dengan Azqiara." Ucapan bernada ancaman keluar dari mulut lelaki yang dulu selalu mengucap kata cinta padaku sebelum badai ini datang. "Pikirkan baik-baik! Dengan mengambil keputusan berpisah, kamu akan melukai putri kita satu-satunya." Mas Aska menatapku tajam. Kilatan amarah terlihat jelas di kedua netra hitam miliknya. Kubalas tatapan tajam Mas Aska, Kuselami kedua matanya untuk mencari rasa cinta yang dulu selalu kulihat. Namun kini tak kutemukan lagi. Kupejamkan mataku, menikmati rasa sakit itu dengan kepasrahan. Inilah takdir yang harus aku jalani. Terima dan jalani meski masih ada rasa tak rela jika membayangkan kebahagiaan yang selama ini kami rajut bersama akan segera berakhir. Tenanglah, pasrahkan segalanya pada Alloh dan semua akan baik-baik saja. Kamu dan Azqiara bisa bahagia meski tanpa Mas Aska."Keputusanku sudah bulat, Mas. Aku siap. berperang di pengadilan untuk mendapatkan Azqiara.
Pov Shaka. Pagi itu aku diminta menggantikan rekan kerjaku untuk menjadi salah satu juri di acara Olimpiade matematika yang kebetulan diadakan di sekolah tempatku mengajar.Pak Rico, istrinya sedang hamil tua dan pagi ini dia menelpon jika istrinya itu mengalami kontraksi dan kemungkinan akan melahirkan hari ini juga. Aku tak tega untuk menolak meskipun sebenarnya aku ada acara pertemuan keluar besar dari keturunan almarhum inu bersama kakakku. Di jenjang SD, menjadi tugasku untuk mengawasi siswa-siswi pilihan yang berseragam putih merah itu. Bocah-bocah yang belum genap sepuluh tahun itu sangat antusias. Mereka mengerjakan dengan serius setiap soal yang diujikan.Di pojok ruangan seorang gadis kecil menarik perhatian. Sosoknya yang imut mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Mimik wajah dan ekspresinya tak asing bagiku. Bibirnya yang mengerucut sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pipinya sendiri membuatku tanpa sadar menarik ujung bibirku. 'Mirip,' gumamku dalam hati. "
Siang ini aku meminta Rico menemaniku ke sekolah Azqiara. karean mendatangi sekolah di mana Azqiara mencari ilmu. Entah apa yang terjadi rasanya hatiku berbunga-bunga hingga membuatku tak berhenti tersenyum."Aku yang baru jadi bapak, kok sebelahku yang kesenengan." Celetuk Rico yang duduk di sebelahku. Kulirik, pria yang baru beberapa hari menikmati jadi bapak itu dengan ekor mataku tanpa berniat menoleh. "Gak usah lirik-lirik, fokus kedepan jalanan ramai, Bapak." ujarnya lagi. "Kamu lagi kesambet apa gimana sih? Ngomel aja,"Laki-laki itu langsung memutar tubuhnya menghadap ke arahku, "Heh, Tuan kutub utara, bukannya kamu yang lagi kesambet? Gak cuma banyak bicara pakai senyum-senyum segala lagi? Korang lagi jatuh cinta?" Tak kuhiraukan ucapannya, aku fokus dengan jalanan karena sudah tak sabar untuk bertemu dua wanita cantik yang entah sejak kapan membuatku bersemangat jika teringat wajah lucu keduanya. Sesampainya di sekolah kami segera menemui kepala sekolah untuk menyampaik
Setelah aku memikirkannya lebih dalam lagi, kurasa ucapan Rico benar. Meski kadang lebay dan sok tahu namun kali ini aku juga setuju dengan pendapatnya. Tidak dulu mendekati Nafisah untuk menjaga perasaan suaminya. Meski kami tak saling mengenal namun aku berusaha memahami perasaan ayah Azqiara. Jika aku yang berada di posisi suami Nafisah tentu saja aku tak akan rela ada laki-laki lain yang mencintai istriku sedalam perasaanku saat ini. Mulai sekarang aku putuskan untuk tak mendekati Nafisah sampai statusnya jelas mengizinkan aku mendekat. Untuk urusan membimbing Azqiara aku lakukan sebisa mungkin di jam sekolah. Jadi aku akan datang setiap hati di jam istirahat atau menjelang jam pulang. Aku memberikan satu lembar soal untuk dikerjakan di rumah. Dan jika tidak paham bisa bertanya keesokan harinya. Sudah tiga hari kegiatan ini dan berjalan sesuai dengan harapanku. Azqiara sangat pintar dan mudah sekali memahami apa yang aku jelaskan. Inilah salah satu perbedaannya dengan Nafisah s
Pov Nafisah. [Maaf ya, hari ini aku gak bisa bantu-bantu,] ucapku menyesal pada Tiara melalui sambungan telpon. Setelah rumah sepi aku menghubungi Tiara untuk meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari karena kakiku tidak bisa dibuat jalan. [Iya, gak papa. Terus gimana sudah dibawa ke dokter atau ke tukang urut? Mau aku anterin, masalah pesanan biar dihandle siti. Gak tega aku mikirin kamu sakit sendirian di rumah cuma sama Azqiara.] Tiara tahu aku sudah mendaftarkan gugatan cerai dan meminta Mas Aska keluar dari rumahku. Ada rasa haru mendengar kekhawatiran dari sahabatku itu. Meski sudah yatim piatu namun aku tak kekurangan perhatian dari orang sekitarku. Aku tak boleh lemah banyak orang yang menyayangiku. [Tidak perlu Ra, tadi pagi aku sudah ke rumah sakit di antar Mas Zamar. Ini juga habis di urut.] Jawabku jujur. [untuk sementara aku tinggal di rumah Mas Zamar sampai masalah perceraian selesai. Jadi, kamu tidak perlu khawatir disini aku ada yang jaga.] [Alhamdulil
"Kak Shaka ngapain kesini?" Pria itu kesini pasti ingin tahu tentang kejadian di rumahnya. Ke apa aku menangis dan siapa laki-laki dan perempuan yang aku intip kemarin. "Nafisah kamu apa-apaan sih?" Tak perduli dengan ucapan Mbak Sezha. Kuberi tatapan tajam pria itu agar kembali keluar. "Maaf kalau kedatanganku mengganggu istirahatmu," ucap Kak Shaka. "Mungkin lain klaim saja saya datang lagi," sambungnya merasa tak enak. "Tak... Awww....." Sebuah cubitan mampir di lengan kiriku. "Maaf ya Pak guru, adik ipar saya sedang banyak masalah jadi sikapnya agak lain." Mbak Sezha mencubit lenganku sambil tersenyum. "Jangan buat Qiara malu. Shaka datang sebagai guru pembimbing Qiara," bisiknya dengan suara pelan namun tegas. Oh Astaga, aku hampir lupa. Dia pasti kesini untuk Qiara bukan untuk menemui aku. Kenapa aku jadi kepedean gini? Ya Alloh malunya. Reflek aku menggigit bibir bawahku. Mau meminta maaf tapi malu. Ku tundukkan saja kepalaku. "Silahkan duduk dulu, Pak. Sebentar saya ti
Pukul setengah tujuh pagi, sebuah motor matic memasuki pekarangan rumah. Motor matic yang tak asing itu langsung parkir di bawah pohon mangga depan rumah."Itu bukannya motor kamu, Naf?" bisik Mbak Sezha yang berdiri di sampingku. Kami berdiri di teras rumah, menunggu anak-anak yang akan berangkat sekolah bersama Mas Zamar. "Kamu bilang motormu masih di bengkel karena kecelakaan kemarin." Kembali kakak iparku itu bertanya namun aku masih belum berniat menjawab. Rasa penasaran pada sosok itu lebih mendominasi. Kak Shaka sama sekali tak menghubungiku untuk mengabarkan bagaimana kabar motorku yang dibawanya ke bengkel. Rencananya nanti siang aku akan menelponnya untuk bertanya tentang motor maticku itu. Tanpa diminta semua orang langsung menatap pada sosok pengendara. Termasuk Mas Zamar dan dua bocah yang hendak masuk ke dalam mobil. "Selamat pagi Pak Shaka," ucap Azqiara ceria sambil melambaikan tangannya sesaat setelah pria yang baru turun dari motor itu membuka helm juga maskernya