[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Pov Nafisah@Mas Aska. [Mas pulang jam berapa?][Hari ini lembur? ]Sudah 30 menit pesan yang ku kirim ke Mas Aska tidak juga dibalasnya. Apa dia begitu sibuknya sampai-sampai membaca pesanku saja tidak ada waktu. Sejak tadi sudah centang dua tapi tak kunjung berubah biru. Sudah dua lebih dari bulan setiap hari Mas Aska selalu pulang malam. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Biasanya jika memang harus lembur hanya hari senin sampai jumat saja. Tapi dua bulan ini hari sabtu dia juga pulang malam, bahkan terkadang hari minggu juga masuk kerja. Meski begitu jatah bulanan yang dia berikan tetap sama, tidak ada tambahan uang lembur. Kalau di tanya, pasti jawabnya "Yang lembur kan aku, kok kamu yang minta tambahan?" Terkadang aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mas Aska. Entah sejak kapan dia mengganti password ponselnya? Sudah lebih dari sebulan ini aku tidak bisa membuka ponselnya. Saat aku meminta kode password ponselnya, kata Mas Aska sekarang ingin pakai mode sidik jari. Kalau
"Ayah kok gandengan sama Tante Vania? Terus siap anak itu kok bisa sama Ayah?"Suara bernada kesal Azqiara seketika membuatku menoleh pada gadis kecil yang merenggut dengan kesal. Segera ku ikuti arah pandangan putriku itu. "Mas Aska,," Bukankah itu Vania, mantan pacar Mas Aska. Seorang janda beranak satu. Sekitar enam bulan atau lima bulan yang lalu kami tidak sengaja bertemu. Waktu itu di cerita katanya baru pindah ke kota ini. Setelah itu sempat bertemu dua atau tidak tiga kali jika tidak salah ingat. Setiap bertemu wanita itu selalu mengeluh jika sering tersesat karena belum hafal daerah di kota ini. Tak ada saudara dan jauh dari orang tua tapi demi menghidupi putranya terpaksa menerima pemindahan dari bank tempatnya bekerja dulu ke kota ini. Cara bergandengan mereka bukan lagi seperti seorang mantan pacar. Sepertinya selama ini aku sudah ditipu oleh sepasang mantan yang sedang bernostalgia itu. Aku meletakkan kembali ke atas rak swalayan sebuah sabun yang sempat ku pegang. Ta
Setelah pertengkaran itu Mas Aska tak lagi pulang malam. Sudah sebulan ini dia tepat pukul lima sore dia sudah sampai di rumah. Setiap hari sabtu dan minggu Mas Asaka juga mengajak kami pergi keluar sekedar cari makan atau beli eskrim. Sepertinya Mas Aska sudah tidak lagi berhubungan dengan wanita itu. Meski saat pertengkaran itu di tidak menjawab permintaanku tapi dengan sikapnya sekarang aku merasa sangat lega, ternyata kami masih menjadi prioritas dan pemilik hati Mas Aska. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke delapan. Kemarin aku sudah memesan sebuah kue ulang tahun untuk merayakan hari jadi pernikahan kami dan sore ini aku akan mengambilnya setelah mengantar putriku mengaji. Sebuah toko roti yang ada di pusat kota tempatku memesan kue. Roti dan kue di toko itu sangat cocok di lidah Mas Aska dan Azqiara. Ya meski harganya cukup mahal tapi kalau sudah suka pasti tetap jadi pilihan. Lalu lintas sore ini cukup ramai, mungkin karena berbarengan dengan jam pulang kerj
"Nafisah.... Nafisah.... " Mas Aska mengejarku sampai di parkiran."Apa lagi?" kembali aku menepis tangannya yang mnecekal lenganku. "Kamu jangan emosi kayak gitu! Aku cuma menemaninya makan saja. Tadi aku.... "Aku mengambil kue yang aku taruh di atas jok motorku dan aku serahkan pada Mas Aska. "Temani dia makan sekalian ini buat hidangan penutup." Mas Aska terdiam, pandangannya tertuju pada kotak putih yang ada di tangannya. "Maaf aku.....""Lupa? Lupakan saja semuanya," Aku memotong kalimatnya. Dari jauh kulihat Vania berlari mendatangi kami. Segera aku memundurkan motorku. "Minggir!" Aku mendorong Mas Aska yang berdiri di depan motor ku."Tinggalkan motornya, biar nanti aku ambil. Kamu Pulang sama aku saja!" katanya sambil memegangi stir motorku dengan satu tangan. Aku tak menjawab, aku sudah sangat malas berbicara dengannya. Apalagi melihat wanita itu sudah semakin dekat. "Nafisah, biar aku jelasin," ucap Vania dengan wajah melas yang membuatku muak. "Aku sangat membencimu,
Aku sudah tak punya kesabaran lagi, tanpa menunggu jawaban aku beranjak pergi meninggalkannya sendirian. Aku harus menjemput Azqiara yang tadi aku titipkan di rumah Mbak Sheza, istri Mas Zamar. Tak sekalipun kudengar Mas Aska memanggilku sekedar untuk menenangkan aku. Sampai aku menyalakan motor, Mas Aska pun tak menyusulku. Kuhembuskan nafas berat. Sadar.... Nafisha.... Sadarlah kamu bukanlah orangnya. Mungkin lebih baik jika malam ini aku menginap di rumah Mas Zamar untuk menenangkan diri. Aku merasa sangat kesal dengan Mas Aska. Kecewa bercampur marah menggunung di dalam dadaku sampai membuatku merasa sesak. Dalam keadaan emosi tidak baik jika kami terus bersama. Lebih baik aku yang pergi untuk mengenangkan diri dan memiliki apa yang harus aku lakukan setelah ini. Untuk saat ini itu keputusan yang terbaik, aku butuh waktu untuk menenangkan dan membuat rencana selanjutnya. Jika nanti Mas Zamar bertanya alasanku menginap aku akan mengatakan Mas Aska sedang tugas di luar kota. T
Setelah menginap satu malam, pagi ini aku memutuskan untuk pulang. Aku pulang dengan mengendarai motor matic bersama Azqiara tanpa dijemput Mas Aska. Jangankan menjemput, menelpon atau sekedar mengirim pesan saja tidak. Padahal aku bersama putri kami. Segitu tak berharganya kami di matamu, Mas. Itulah sebabnya aku tidak akan melepaskan Azqiara apapun nanti jalan yang kita tempuh. Kuhela nafas panjang. Memang apa yang kamu harapkan Nafisa? Kamu tahu cintanya bukan untukmu, bagaimana bisa kamu mengharapkan perhatiannya. Rasanya aku sedang menertawai kebod*han yang selama ini aku lakukan. Seharusnya dulu kamu mencari tahu dulu tentang masa lalu Mas Aska, cinta masa lalunya sudah selesai apa belum? Supaya kamu tidak menyesal dikemudian hari, seperti saat ini. Ah percuma menyesal, nasi sudah menjadi bubur. Kini yang harus aku lakukan adalah memikirkan bagaimana caranya kami hidup tanpa Mas Aska? Aku harus belajar lebih mandiri lagi. Mulai sekarang aku harus serius menekuni dunia liter
Kak Sakha, seseorang yang memilik tempat tersendiri di album putih Abu-Abuku. Kenapa dunia tiba-tiba begitu sempit? Sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bertemu. Shaka Shaifulloh, dulu dia sekolah dia termasuk cowok pintar tapi agak bandel. Dia bukan salah satu dari cowok-cowok populer yang aktif di OSiS, yang jadi rebutan siswi-siswi di sekolah. Juga bukan preman sekolah yang suka bikin onar. Dia Shaka cowok berwajah manis dengan kulit sawo mateng khas pribumi. Sikapnya yang cuek dan sedikit angkuh membuatnya juga salah satu cowok incaran di sekolah dulu. "Apa kabar? Masih ingat kan sama aku?" ujarnya dengan senyum yang MasyaAllah...... masih tetap memikat seperti dulu. Astaghfirullah....... Ya Alloh ampuni aku. Aku menggelengkan kepalaku kuat, kutepuk keningku beberapa kali untuk menghilangkan pikiran kotor yang sempat mampir di otakku. "Bunda kenapa?" Azqiara memegang ujung kemeja yang aku pakai. "A..... Bunda gak papa kok. Cuma emm...... bunda baru ingat cuciannya tadi