Kak Sakha, seseorang yang memilik tempat tersendiri di album putih Abu-Abuku.
Kenapa dunia tiba-tiba begitu sempit? Sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bertemu. Shaka Shaifulloh, dulu dia sekolah dia termasuk cowok pintar tapi agak bandel.Dia bukan salah satu dari cowok-cowok populer yang aktif di OSiS, yang jadi rebutan siswi-siswi di sekolah. Juga bukan preman sekolah yang suka bikin onar.Dia Shaka cowok berwajah manis dengan kulit sawo mateng khas pribumi. Sikapnya yang cuek dan sedikit angkuh membuatnya juga salah satu cowok incaran di sekolah dulu."Apa kabar? Masih ingat kan sama aku?" ujarnya dengan senyum yang MasyaAllah...... masih tetap memikat seperti dulu.Astaghfirullah....... Ya Alloh ampuni aku. Aku menggelengkan kepalaku kuat, kutepuk keningku beberapa kali untuk menghilangkan pikiran kotor yang sempat mampir di otakku."Bunda kenapa?" Azqiara memegang ujung kemeja yang aku pakai."A..... Bunda gak papa kok. Cuma emm...... bunda baru ingat cuciannya tadi belum dijemur." Aku sedikit gelagapan mencari alasan dari sikapku yang absurd.Tak sengaja sempat kulihat Kak Sakha tersenyum tipis. Sepertinya pria itu menertawakan aku yang salah tingkah."Kamu masih sama seperti dulu, gak pernah berubah." Laki-laki itu kembali berbicara."Emangnya aku power rangers, bisa berubah?" Aku sedikit kesal dan malu namun tetap mengurai senyum tipis untuk menyamarkan rasa malu yang mulai mempengaruhi ekspresi wajahku."Ha ha ha....." Kak Shaka tergelak, "Kamu masih tetap sama seperti dulu, lucu."Ih.... lucu apanya coba?"Masa sih?" Aku ikut tertawa garing. "Kak Shaka kok di sini? Nganterin anaknya sekolah?" Pria itu malah tersenyum lebih lebar sampai memperlihatkan gigi-gigi yang putih.Sudah lama tidak bertemu, kenapa sikapnya jadi aneh?"Kamu gak lihat kemeja yang aku pakai?" tanyanya dengan menunjukkan baju batik yang melekat ditubuhnya.Astaghfirullah..... Itu kan sama dengan seragam beberapa guru yang katanya jadi juri untuk Olimpiade yang diikuti Azqiara."Kak Shaka, guru?""Iya," jawabnya sambil tersenyum."Wah... gak nyangka Kak Shaka bisa jadi seorang guru, hebat." Ku acungkan dua jempol untuk pria yang berdiri di depanku itu."Terima kasih atas pujiannya."Aku mengerutkan keningku saat pria ini mengarahkan tatapannya ke kanan, kiri dan belakangku."Kamu sendirian?" tanyanya ragu-ragu."Nggak, sama Azqiara." Aku menunjuk pada putriku yang langsung mengurai senyum pepsodent dengan dua jari membentuk huruf V. "Kakak gak lagi butuh kaca mata kan?""Maksudnya kamu ngantar Azqiara sendirian? Ayahnya Azqiara nggak ikut?" tanyanya setelah lagi-lagi mengurai senyum lebar.Mendadak lidahku kelu, rasanya nyesek mengingat suamiku lebih memilih sibuk dengan janda muda itu ketimbang mengantarkan anaknya mengikuti olimpiade matematika.Padahal sudah dua minggu yang lalu aku mengingatkannya tapi pada akhirnya dia lupa juga."Kerja, dia lagi kerja. Tadi mau ngantar tapi ada kerjaan yang gak bisa ditinggal." Aku memaksa untuk tersenyum meski rasanya kaku sekali bibirku ini."Oh....." Kak Sakha kembali tersenyum, namun kali ini seperti ada binar bahagia dimatanya. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulum senyum.Kenapa jadi suka senyum? Perasaan dulu dia bukan orang yang suka tebar pesona memamerkan senyum di depan cewe-cewek. Kini mengapa dia malah senyum-senyum didepan istri orang.Kami pun berbincang sebentar mengenang masa putih abu-abu dulu. Sampai datang seorang guru wanita yang berseragam sama dengan yang dipakai Kak Shaka."Pak Shaka, sudah ditunggu di dalam. Hasilnya sudah bisa diumumkan." Beritahu wanita ber-nametag Silvi Ariana."Iya, Terima kasih informasinya." Jawab Kak Shaka dengan nada tegas."Ayo," Kak Shaka menatapku."Apa?" Kok aku jadi bingung."Kamu gak mau ikut dengar pengumuman pemenangnya?""Ohh.... Kak Shaka duluan saja. Aku bareng ibu-ibu wali murid saja." Aku menunjuk pada dua orang ibu-ibu yang duduk tak jauh dariku.Aku sengaja menolak karena merasa sedikit risih dengan tatapan ibu guru Silvi yang terlihat seperti tak suka kepadaku."Tahu tempatnya kan?" Kak Shaka memastikan."Dia Aula sebelah sana kan? Tadi sudah diberitahu sama gurunya Azqiara.""Ok," putusnya lalu menggandeng tangan putriku."Aku masuk dulu yang Bunda....."Sekitar sepuluh menit terdengar pengumuman, orang tua dan para guru yang mengantar siswanya dipersilahkan memasuki gedung Aula untuk pengumuman pemenang.Olimpiade kali ini cukup banyak pesertanya, dari mulai tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat SMP. Ternyata bukan hanya matematika melainkan IPA dan Bahasa Inggris.Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh saat mendengar nama putriku di sebut sebagai pemenang di Olimpiade matematika tingkat sekolah dasar.Alhamdulillah....... puji syukur terus ku gaungkan dalam hatiku. Terima kasih ya Alloh......Segera kuarahkan kamera ponselku ke atas panggung untuk merekam momen ketika Azqiara menerima piagam dan Piala penghargaan.Sangking bahagianya aku tanpa berpikir panjang langsung mengirim foto dan video Azqiara ke nomor WA Mas Aska. Dia harus melihat betapa membanggakannya putri kami.Satu menit, dua menit sampai acara selesai belum juga ada balasan dari Mas Aska padahal pesanku sudah centang biru.Begitu sibuk kah dia? Ya sudahlah yang penting aku sudah memberi tahunya."Ma, telpon Ayah, aku mau nunjukin pialaku." Pinta Azqiara untuk yang ketiga kalinya saat kami singgah di restoran cepat saji untuk merayakan kemenangannya."Kayaknya Ayah sibuk, sayang...""Sebentar aja Bun...."Tak tega menolak, akhirnya turutin juga permintaan untuk Videocall dengan Mas Aska. Namun panggilan tidak dijawab sampai aku mengulangi dua kali panggilan akhirnya diterima.Namun betapa terkejutnya aku juga Azqiara saat dilayar ponsel nampak wajah seorang wanita dengan latar belakang sebuah restoran dan di sampingnya duduk seorang anak laki-laki."Halo..... Maaf Mas Azkanya masih di kamar mandi," sapa wanita itu tanpa sedikitpun rasa bersalah.Degh..... Tenggorokanku rasanya tercekat, ada sesuatu seperti duri yang terasa mengganjal. Dadaku sontak berdenyut nyeri saat kulihat raut kecewa di wajah putriku.🌸🌸🌸Aku memutuskan untuk mengajak Azqiara pulang setelah insiden videocall yang berujung kesedihan di wajah putri kecilku. Sepanjang jalan Azqiara kecil hanya diam saja. Tak satupun ucapanku ditanggapinya dengan kata-kata. Hanya gelengan dan anggukan saja yang diperlihatkan oleh gadis kecilku ini. Kuhela nafas beberapa kali untuk menghalau rasa marah dan sakit hati yang sudah memenuhi hatiku. Lihat Mas, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Jika memang janda dan anaknya itu lebih kamu prioritaskan maka dengan berbesar hati aku dan Azqiara akan mundur. Sesampainya di rumah ternyata Mas Aska belum juga pulang padahal tadi dia sempat mengirim pesan jika dia akan segera pulang dan menjelaskan kejadian tadi. Tapi nyatanya, hatinya lebih berat meninggalkan wanita itu ketimbang menjaga perasaan putrinya sendiri. "Sayang mandi dulunya, mumpung masih sore." Kataku sambil menuntun Azqiara ke kamar mandi yang ada di dalam kamar utama. Sembari menunggu Azqiara selesai mandi, aku pindahkan baju
Sudah beberapa hari kami pisah ranjang. Dan sikap Mas Aska tetap sama, acuh dan tak mersa bersalah sedikitpun. Setiap hari pulang malam dan semakin tak peduli dengan putrinya. Aku juga sering mendengar dia berbicara lewat sambungan telpon dengan wanita itu. Biarlah, meski aku masih sangat mencintainya tapi aku sudah menyerah untuk menjadi satu-satunya wanita di hatinya.Pagi ini setelah mengantarkan Azqiara ke sekolah aku segera menuju rumah Tiara. Semalam sahabatku itu memberitahu jika hari ini ada pesanan kue basah yang harus dikirim sebelum jam 2 siang. Sudah dua tahun ini aku berkerja di catering milik sahabatku itu. Awalnya hanya sekedar bantu-bantu sebagai bentuk dukungan kepada teman yang sedang merintis usaha. Di awal-awal membuka usaha, Tiara tidak punya cukup uang untuk membayar karyawan. Di samping masalah keuangan yang belum stabil juga karena pesanan yang masih sedikit. Melihat itu hatiku tergerak untuk membantunya."Kamu hanya perlu membayarku dengan sepiring nasi untu
Pov Nafisah.Setengah empat sore semua orderan untuk hari ini sudah siap dan akan segera dikirim. Ada dua orang yang bertugas mengirimkan pesanan dan empat karyawan untuk memasak plus packing termasuk aku. Setelah mendapatkan upah untuk pekerjaan hari ini aku pun bergegas menuju rumah Mas Zamar, menyusul Azqiara yang sudah lebih dulu kesana bersama kakak ipar dan keponakanku. Sepanjang jalan pikiranku masih dipenuhi dengan pembicaraanku dengan Tiara tadi pagi. "Melihat sikap Aska yang arrogant, kamu yakin dia akan mengakui perselingkuhannya dan bersedia bercerai secara baik-baik?" Kata-kata Tiara tadi pagi. "Aku yakin seratus persen, laki-laki yang mementingkan image seperti Aska pasti akan menolak menceraikanmu apalagi dengan perselingkuhan sebagai alasan perceraian kalian." Sambungnya tadi pagi. Kurasa Tiara benar, sifat Mas Aska yang mementingkan reputasinya pasti akan mengelak dan tak mengakui hubungannya dengan Vania. Dan bisa aku pastikan dia akan menjadikan Azqiara sebagai
"Kak..." Aku terperanjat kaget melihat Kak Sakha ya g tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. "Kamu sedang apa berjongkok di situ?" ulangnya lalu mengulurkan tangannya ke arahku. "Kamu nangis?" Sadar dengan wajahku yang sudah penuh air mata aku pun mengusapnya kasar lalu bangun dan berjalan cepat menuju motorku yang ada di halaman rumah Kak Shaka. "Maaf aku harus pulang. Terima kasih sudah dinizinkan mampir." Aku berbicara sambil memakai jaket dan helmet. "Tolong minggir," pintaku pada pria yang hnaya menatapku lekat tanpa mengucapkan sepatah katapun.Kuhela nafas, mengatur emosi yang sejak tadi sudah berkerumun di dalam dadaku. "Kak Shaka dengar kan? Tolong minggir!" Suara meninggi dan terdengar tegas. "Aku antar," katanya setelah mendengus kasar dan merebut kunci motor yang aku pegang. "Gak usah." Tolakku merebut kembali kunci motorku. "Aku bisa pulang sendiri." Dengan agak kasar aku menyingkirkan tangannya yang memegangi stir motor matic punyaku. "Jangan sok kuat! Kamu tidak p
Pagi ini, seperti rencana Mas Zamar. Aku akan diantar pulang ke rumahku oleh Mas Zamar. Niatnya untuk berbicara langsung dengan Mas Aska tentang perceraian yang kami.Aku dan Mas Zamar berangkat setelah mendapat kabar dari pengacara yang aku sewa jika gugutanku sudah didaftarkan dan hanya tinggal menunggu antrian saja untuk segera di proses. Katanya paling lambat satu bulan surat panggilan akan dikirim kepada tergugat.Kami hanya berdua, sedangkan Azqiara di rumah dengan Mbak Sezha dan Aydan. Sengaja tidak membawa Qiara karena Mas Zamar tak mau ada perebutan anak saat kami membahas perceraian. Mas Zamar juga memintaku dan Qiara untuk sementara waktu tinggal di rumahnya sampai keputusan hakim keluar. Mobil Mas Zamar ditepikan di pinggir jalan depan rumahku. Tak mau menungguku, Mas Zamar langsung keluar saat melihat Mas Aska keluar dari dalam rumah dengan pakaian rapi. "Kamu mau keluar?" tanya Mas Zamar setelah membuka gerbang yang ternyata tidak di kunci. Mas Aska terlihat kaget namu
"Maaf, Mas. Tapi aku tidak akan menceriakan Nafisah. Sekalipun tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk berpisah dengan anak dan istriku. Sekali lagi Maaf, tapi perlu saya ingatkan Mas Zamar tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga kami." jawab Mas Aska menyatakan penolakannya. Pria itu memberi alasannya yang menurutku tak sesuai dengan tindakannya. Katanya, dia tidak ingin berpisah denganku dan Azqiara, tapi kenyataannya selama kami hidup satu atap dia bahkan tak punya waktu sekedar menemani anaknya belajar.Ucapannya benar-benar membuatku bingung antara harus senang ataukah miris mendengar penolakannya untuk berpisah. Ucapannya seakan-akan begitu mencintaiku dan tak ingin kehilangan diriku namun sikapnya menunjukkan sebaliknya. Selama ini dia hanya menjadikan aku babysitter untuk Azqiara dan pembantu di rumahnya. Semua pekerjaan rumah adalah tugasku termasuk juga segala urusan Qiara juga menjadi tanggung jawabku. Sedangkan dirinya sibuk di luar rumah yang katanya mencari
"Azqiara akan tetap bersamaku. Bercerai denganku itu artinya kamu memilih berpisah dengan Azqiara." Ucapan bernada ancaman keluar dari mulut lelaki yang dulu selalu mengucap kata cinta padaku sebelum badai ini datang. "Pikirkan baik-baik! Dengan mengambil keputusan berpisah, kamu akan melukai putri kita satu-satunya." Mas Aska menatapku tajam. Kilatan amarah terlihat jelas di kedua netra hitam miliknya. Kubalas tatapan tajam Mas Aska, Kuselami kedua matanya untuk mencari rasa cinta yang dulu selalu kulihat. Namun kini tak kutemukan lagi. Kupejamkan mataku, menikmati rasa sakit itu dengan kepasrahan. Inilah takdir yang harus aku jalani. Terima dan jalani meski masih ada rasa tak rela jika membayangkan kebahagiaan yang selama ini kami rajut bersama akan segera berakhir. Tenanglah, pasrahkan segalanya pada Alloh dan semua akan baik-baik saja. Kamu dan Azqiara bisa bahagia meski tanpa Mas Aska."Keputusanku sudah bulat, Mas. Aku siap. berperang di pengadilan untuk mendapatkan Azqiara.
Pov Shaka. Pagi itu aku diminta menggantikan rekan kerjaku untuk menjadi salah satu juri di acara Olimpiade matematika yang kebetulan diadakan di sekolah tempatku mengajar.Pak Rico, istrinya sedang hamil tua dan pagi ini dia menelpon jika istrinya itu mengalami kontraksi dan kemungkinan akan melahirkan hari ini juga. Aku tak tega untuk menolak meskipun sebenarnya aku ada acara pertemuan keluar besar dari keturunan almarhum inu bersama kakakku. Di jenjang SD, menjadi tugasku untuk mengawasi siswa-siswi pilihan yang berseragam putih merah itu. Bocah-bocah yang belum genap sepuluh tahun itu sangat antusias. Mereka mengerjakan dengan serius setiap soal yang diujikan.Di pojok ruangan seorang gadis kecil menarik perhatian. Sosoknya yang imut mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Mimik wajah dan ekspresinya tak asing bagiku. Bibirnya yang mengerucut sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pipinya sendiri membuatku tanpa sadar menarik ujung bibirku. 'Mirip,' gumamku dalam hati. "