Pov Nafisah. "Emm... itu aku dari pe-pertemuan wali siswa disekolah..." Jawabku seketemunya jawaban di otakku. Pria itu memicingkan matanya. "Jarak sekolah Qiara ke tempat ini itu dua jam lebih. Dan tidak sejalur dengan rumahmu. Kamu sekarang pandai berbohong ya,""Ck.... Kak Shaka itu guru apa polisi ya? Kok sudah kayak sedang interogasi terangka," balasku agak kesal. "Maunya sih jadi imam, tapi untuk sementara ini jadi guru dulu deh. Makmumnya masih di ikat orang." Ih, apa maksudnya coba, aneh. "Setiap kali merasa resah aku selalu datang kesini. untuk mengenang seseorang. Kalau kamu kenapa datang ke sini? Untuk mengenang sesuatu atau seseorang juga?" Tuh kan.... Lama-lama jadi melebar kemana-mana.Kuputar otak, "Oh itu.... tadi aku mampir beli bakso di ujung sana." Ups, aku salah beri alasan. Tanpa sadar kugigit bibir bawahku, segera aku turunkan tanganku yang menunjuk warung bakso di ujung jalan tempat dulu kami sering makan berdua sepulang sekolah.Kulirik pria itu tersenyum j
Emang siapa yang mau memberikannya izin mengajak Qiara. Dan lagi untuk apa Kak Shaka mengucap janji seperti itu? Kalau hanya demi Olimpiade, dia tak harus sampai berjanji seperti itu dengan Qiara. Dasar pemberi harapan palsu.Aku harus berbicara dengan Kak Shaka, biar aku jelaskan jika sikap Qiara padanya hanya pelampiasan dari rasa rindu Qiara pada Mas Aska karena sudah satu bila lebih kami tinggal terpisah. Dulu Qiara sangat dekat dengan Mas Aska. segala hal. selalu ia ceritakan pada Mas Aska lebih dulu dari pada denganku. Setiap pulang kerja pasti ada sesi curhat dari gadis kecil itu pada Ayah kebanggaannya. Tentang pelajaran, temannya dan segala aktivitasnya seharian. Namun kebiasaan itu memudar setelah Mas Aska sering pulang malam. Awalnya Qiara masih dengan sabar menantin ayahnya pulang. Meski kadang respon Mas Aska tidak seperti yang diharapkan. Pria itu beralasan capek dan memintaku untuk menemani Qiara tidur. Seminggu dua minggu sampai hitungan bulan Qiara mulai bosan atau
"Gimana? Bisa kamu jelaskan lagi," pinta Kak Shaka seperti tidak yakin dengan pendengarannya. Pria itu memiringkan tubuhnya menghadapku. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, kuulangi sampai tiga kali sebelum aku kembali bicara. Dan Kak Shaka dengan sabar menungguku kembali bicara. "Aku akan jujur sama Kak Shaka. Seperti yang Kakak tahu ayah Qiara sedang dekat dengan wanita yang rumahnya di depan rumah Kakak." Kak Shaka menganggukkan kepalanya.Kualihkan pandanganku lurus ke depan, sedikit tak nyaman melihat ada rasa iba di tatapannya. "Beberapa kali Qiara sempat melihat dengan matanya sendiri kedekatan ayahnya dengan wanita itu dan putranya. Hal itu membuat dia terluka sehingga aku memilih untuk sementara waktu pisah rumah untuk menjaga agar tidak sering bertemu. Namun dua hari yang lalu Qiara kembali melihat ayahnya dengan wanita itu dan sebuah kejadian membuat Qiara sakit hati... dia berteriak histeris dan setelah kejadian itu Qiara menolak untuk makan minum sampa
Aku sudah bertanya lebih dari tiga kali pada Qiara untuk kesediaanya ikut Olimpiade. Dan gadis kecilku itu menjawab ingin tetap mengikuti acara yang diadakan penprov itu. "Tenang saja Bunda, Qiara juga gak terlalu ingin menang kok, tapi kalau mundur sebelum bertanding kan malu Bunda." Ceriwis Qiara saat kami bicara berdua sebelum tidur. "Seperti kata Bunda, lakukan sebaiknya kalau menang itu rezeki dari Alloh jadi, harus disyukuri dan kalau kalah itu juga ujian dari Alloh dan harus bersyukur dengan memperbaiki diri." "Putri ibu memang pintar dan paling bijaksana." Pujiku yang langsung membuat gadis kecil itu tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-giginya yang putih. Sudah lebih dari seminggu ini Qiara sudah kembali ceria. Dan itu karena Kak Shaka. Pria itu benar-benar sudah mencuri hati Qiara. Hampir setiap hari dia datang ke sekolah untuk menjemput Qiara dan membawa gadis kecil itu ke sebuah kafe yang letaknya di daerah universitas negeri kota ini untuk bimbingan. Hampir setia
Minggu pagi ini, kami semua akan mengantar Qiara mengikuti Olimpiade matematika di Universitas Negeri di pusat kota. Dari mulai jam setengah empat Mbak Sezha sudah sibuk di dapur untuk mempersiapkan sarapan untuk kami semua. Saat aku hendak membantu kakak iparku itu langsung menolak. Dia memintaku untuk menyiapkan segala kebutuhan Qiara saja. Mulia baju seragam, sepatu juga kalung identitas dan data-data yang diminta untuk dibawa. "Dapur biar aku yang handle, kamu urus keperluan Qiara saja. Jangan sampai ada yang ketinggalan!" perintah Mbak Sezha masih dengan sibuk membalikkan Nugget ayam yang digorengnya. Aku pun menurut dan fokus mempersiapkan Qiara. Membangunkannya dan membawanya untuk mandi. Acara yang kemungkinan berlangsung lama itu dimulai dari tingkat paling dasar. Itu artinya Qiara giliran pertama. Menurut Kak Shaka, acara akan dimulai pukul tujuh pagi. Karena itu kami harus sampai di sana tepat pukul 6 untuk konfirmasi kedatangan.Pukul lima kurang sepuluh menit semu
Hari penuh kebahagiaan itu akhirnya menghampiri kehidupan Nafisah kembali. Setelah beberapa bulan di uji dengan kesedihan dan kekecewaan kini wanita berumur 27 tahun itu kembali bisa merasakan kebahagiaan dengan kemenangan putrinya sebagai juara 1 Olimpiade matematika dan mendapatkan mendali emas juga piala dari gubernur. Tak henti-henti Nafisah mengucap syukur atas kebahagiaan hari ini. Tak lupa dia pun mengucapkan terima kasih kepada Shaka atas kerja kerasnya dalam membimbing Qiara. Rasa khawatir dengan psikis Qiara yang tertekan akibat perceraiannya akhirnya bisa musnah juga dari hatinya. Gadis kecil itu ternyata begitu kuat dan bisa menerima perpisahan kedua orang tuanya tanpa membuat prestasinya menurun. Tidak hanya Nafisah, Zamar dan Sezha pun turut merasa bahagia. Setelah beberapa bulan Melihat mendung yang menaungi hidup adiknya kini perlahan memudar.Sebagai rasa syukur dan untuk merayakan kemenangan sang keponakan siang itu Zamar mengajak Shaka untuk makan siang bersama
Pov Aska. Pagi ini aku terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Rasanya enggan sekali untuk membuka mata namun rasa sakit di perutku memaksaku untuk bangun. Dengan susah payah aku beranjak bangun dan bersandar pada sandaran ranjang. Tenggorokanku terasa sangat kering, kuarahkan pandangan di meja samping ranjang. Ah.... aku lupa membawa minum semalam. Di atas meja hanya ada botol air mineral yang sudah kosong. "Naf..... tolong ambilkan minum," pintaku dengan suara serak. "Naf....Astaga......" Kuusap wajahku kasar, lagi-lagi aku lupa.Di beberapa momen terkadang aku masih merasa kami masih hidup bersama. Salah satunya ketika sedang mandi dan sabunnya habis tanpa sadar aku berteriak memintanya membawakan sabun. Juga ketika kebingungan mencari dasi dan seringnya ketika tengah malam saat aku ingin memeluknya. Saat-saat itu benar-benar seperti sebuah hukuman yang menyiksaku. Ini baru lima bulan aku mencampakkannya demi wanita lain dan kini aku sangat menyesalinya. Nafisah adalah w
Pov Aska. Tepat pukul setengah dua belas siang, aku berangkat untuk menjemput Qiara dari sekolahnya. Sejak keluar apartemen sampai di perjalanan jantungku berdebar-debar membayangkan reaksi Qiara nanti saat bertemu denganku.Setahuku gadis kecil itu pulang pukul 12 siang. Selama ini Nafisah yang mengantar jemput Qiara. Hanya dua atau tiga kali aku menjemput Qiara ketika Nafisah sakit dan aku terpaksa mengambil cuti. Dulu Qiara begitu bahagia melihat aku yang menjemputnya. Gadis kecil itu bahkan mengenalkan aku pada teman-temannya. Semoga kali ini reaksinya masih sama seperti dulu. Setelah perjalanan selama dua puluh menit kendaraanku pun sampai di depan sebuah sekolah dasar negeri yang sudah begitu ramai dengan motor dan mobil para penjemput yang berjajar didepan pagar. Kuparkir kendaraan roda empatku sedikit jauh dari pintu gerbang. Setelahnya aku turun dan berjalan sedikit mendekati pintu gerbang supaya tidak terlewat saat Qiara keluar. Di sekolah ini para penjemput tidak diizi