"Aku kok jadi bingung siapa ya, yang ngasih tahu Mas Aska kalau aku sempat nolak Kak Shaka." Tiara langsung menatapku. "Mana aku tahu. Lagian itu bukan urusanku," jawabnya ketus lalu kembali sibuk dengan catatannya. Aku bukan curiga pada Tiara tapi melihat sikapnya yang mendadak ketus membuatku berpikiran negatif padanya. Meski benar dia yang memberitahu Mas Aska, aku juga tak akan marah. Toh, itu memang benar. Hanya saja apa motifnya memberi tahu Mas Aska tentang aku dan Kak Shaka. Bukankah awalnya dia sangat mendukungku untuk bercerai dan memulai hidup baru. Bahkan saat aku pertama cerita tentang Kak Shaka, dia memberikan support. "Kalau dia sudah berubah. Gak ada salahnya memberinya kesempatan. Yang penting dia mencintaimu dan bisa nerima Qiara." Katanya waktu itu. Suasana yang canggung membuatku tak nyaman. Akhirnya aku pamit pulang. Kuucapkan terima kasih lagi dan memohon maaf jika selama bekerja disini aku melakukan kesalahan. Tak hanya pada Tiara, aku pun meminta maaf pad
Author Pov. "Mama." Nafisah terpaku. Dia tak menyangka jika orang tua Aska akan datang ke rumahnya. Tubuhnya mendadak kaku sampai tak membalas pelukan ibunya Aska. "Kenapa diam saja? Nggak suka Mama datang kesini?" Halimah, mamanya Aska mengerutkan dahi melihat sang menantu yang hanya diam saja, seolah tak mengharapkan kedatangannya. "Ah.... bu-bukan begitu Ma. Aku hanya terkejut." Nafisah memberi alasan. "Kalian dari mana saja, kami hampir dua jam menunggu di depan rumah." Sahut pria paruh baya yang baru saja turun dari mobil. "Habis keluar cari makan Pa," jawab Nafisah lalu menoleh pada Shaka yang berjalan menyusulnya sambil menggandeng Qiara. "Kita masuk dulu ya, Pa, Ma." Nafisah mengambil kunci dari dalam tasnya dan segera membuka pintu pagar rumahnya. "Qiara sayang..... kok gak salim sih sama Nenek," ujar Halimah sambil cemberut lalu melirik pada sosok pria yang sedang menggandeng tangan cucunya. "Dia siapa? Saudara kamu? Lalu dimana Aska?" Perempuan berkerudung biru tua
"Maju, siapa yang mau membawa keponakanku!!!" Katanya lantang. Halimah langsung gemetaran. Wanita yang tadinya begitu galak begitu melihat Zamar nyalinya langsung ciut. Saking takutnya sampai hampir jatuh jika tidak dipegangi oleh Aska. "Mama gak papa? Sebaiknya Mama duduk saja." Aska menuntun Mamanya untuk duduk.Dari luar muncul Sezha bersama Aydan berjalan masuk lalu membantu Nafisah mengambil alih Qiara dari tangan Jatmiko. Saat pria paruh baya itu menolak Shaka dengan sigap memegangi lengannya. "Lepaskan, atau keselamatan kalian jadi taruhanya. Saya bisa lebih kejam dari Mas Zamar jika itu tentang Nafisah." Bisik Shaka dengan rahang yang mengeras. Sejak tadi dia diam bukan berarti takut. Dia hanya berusaha sabar karena sadar akan posisinya. Tapi kesabarannya mulai terkikis habis oleh air mata Nafisah. Perlahan Jatmiko pun melepaskan tangannya dari tubuh Qiara. Pria itu mundur, sadar tak akan menang jika adu otot dengan pria yang jauh lebih muda darinya apalagi sekarang ada Z
Shaka Pov. Seperti petir yang menyambar di tengah gemuruhnya hujan tangis yang sejak tadi menaungi ruangan berukuran 6X4 ini ketika pernyataan itu meluncur dengan mulus dari mulut papanya Aska. Aku begitu terkejut sampai membatu beberapa detik, sampai akhirnya tersadar setelah mendengar suara bergetar dari sisi sebelahku."Aku yang membesarkan Qiara. Aku juga menyayanginya seperti anak kandungku sendiri. Papa tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimana jika Qiara dengar." Nafisah menatap nyalang pada mantan mertuanya dengan wajah yang dipenuhi air mata. Mendadak dadaku bergemuruh penuh amarah. Tanpa sadar kedua tanganku sudah mengepal kuat. Rasanya benar-benar tidak terima melihat wanita yang aku cintai terluka sampai menangis seperti ini. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang begitu dalam sama seperti 12 tahun yang lalu. Ketika aku mengecewakannya.Segera kualihkan tatapanku pada Mas Zamar. Meminta persetujuannya untuk aku ikut campur. Namun pria itu memberiku isyarat untuk diam saja
"Batalkan rencana pernikahanmu dan rujuklah dengan Aska." Duar....... Dengan enteng meluncurlah syarat yang diajukan oleh pria yang rambutnya sudah di penuh dengan uban berwarna putih itu membuat tersentak kaget. Sumpah demi apapun jika tidak memikirkan dosa sudah pasti bogem tanganku mendarat mulus di wajah pria sok bijaksana itu. Tanpa punya rasa malu bisa-bisanya meminta syarat yang sangat tidak masuk akal. Meminta menantunya rujuk dengan putranya yang sudah selingkuh dan memilih wanita lain. Namun kemarahan itu tak lebih besar dari rasa penasaran di hatiku akan hatiku reaksi dari Nafisah, pemeran utama dari situasi ini. Segera aku menoleh pada wanita cantik di sampingku ini. Wajahnya yang sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata itu kini bertambah pucat pasi. Tatapannya begitu shock dan kebingungan. Isak tangisnya memang sudah berhenti namun tidak dengan air matanya. Masih begitu deras seperti kran air yang bocor. Tak tega aku menggenggam tangannya yang terasa dingi
Nafisah Pov. Sudah seminggu berlalu setelah pertemuan yang tidak sengaja itu. kini hari-hariku dipenuhi dengan rasa takut dan kekhawatiran karena teror dan ancaman yang setiap hampir malam Mas Aska kirimkan lewat aplikasi pesan bergambar ganggang telpon berwarna hijau. Karena hal itu aku sempat stress berat dan jatuh sakit. Beruntung sekali sekarang sudah menginjak masa liburan sekolah sehingga aku bisa lebih tenang karena tidak over thinking, takut Mas Aska atau orang tuanya datang ke sekolah dan membawa Qiara pergi. Sejak mendapatkan pesan bernada ancaman dan teror dari Mas Aska aku yang dulunya berpikir santai kini jadi over thinking dan parno sendiri. Mas Aska sukses hidupku tak tenang. Entah apa yang ada dalam otak pria itu, tidak puaskan sudah menyakitiku dengan menduakan cintaku dan kini dengan begitu tak tahu malunya meminta rujuk dan saat ditolak malah mengancamku dengan menggunakan Qiara supaya aku membatalkan pernikahanku dengan Kak Shaka. [Jika kamu benar mencintai Qi
Dengan penuh amarah Zamar mendatangi apartemen Aska. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari Shaka. [Mas, tolong Share Lock. Aku tahu kamu tidak membutuhkan bantuanku tapi Nafisah dan Mbak Sezha butuh bantuanku untuk membuat mereka sedikit lebih tenang jika aku bersamamu.]Meski merasa tak suka, tapi Zamar tetap menuruti permintaan sang calon adik ipar. Shaka benar, dirinya memang butuh orang ketiga untuk menemaninya bertemu Aska disaat emosinya sedang memuncak seperti saat ini. Tepat setelah Zamar memarkir mobilnya Shaka sampai di parkiran apartemen. Pria berbadan tegap itu segera melangkah lebar menyusul Zamar yang sudah berjalan lebih dulu menuju lift. "Mas, tolong sedikit tenang. Jangan terbawa emosi." Ucap pria berhidung mancung itu setelah bisa mensejajarkan langkahnya sambil ngos-ngosan. Zamar hanya melirik sebentar lalu segera masuk kedalam besi berbentuk kotak yang akan membawanya dan Shaka menuju unit dimana orang yang sudah memetik emosinya t
"Untuk apa kamu menasehati orang egois seperti Aska. Mana mungkin dia mengerti dengan perasaan Qiara dan Nafisah. Bajing** sepertinya hanya akan memikirkan dirinya sendiri." Zamar masih terus mengumpat dan meluapkan amarahnya dengan kata-kata kasar. Shaka menghela nafas, "Dulu aku juga pernah melakukan kesalahan sampai membuat Nafisah tidak hanya membenciku, dia juga sangat jijik padaku. Meski aku begitu mencintanya, aku memilih untuk pergi supaya Nafisah bisa bahagia." Aska langsung mendongakkan wajahnya menatap Shaka yang masih berdiri di tengah-tengah Zamar dan Aska. "Posisi dan situasi kita tidak sama. Dulu hubungan kalian hanya sekedar pacaran tapi kami sudah disatukan dengan nama Allah." Shaka dan Zamar kompak tertawa remeh. "Alloh memang menyatukan kalian tapi kamu sendiri yang memotong ikatan itu." Ucap Zamar yang sangat muak dengan omongan Aska yang berlagak jadi korban. "Kamu itu tersangka tapi seolah jadi korban yang paling tersakiti. Malu, aku sebagai lelaki melihat sik