"Untuk apa kamu menasehati orang egois seperti Aska. Mana mungkin dia mengerti dengan perasaan Qiara dan Nafisah. Bajing** sepertinya hanya akan memikirkan dirinya sendiri." Zamar masih terus mengumpat dan meluapkan amarahnya dengan kata-kata kasar. Shaka menghela nafas, "Dulu aku juga pernah melakukan kesalahan sampai membuat Nafisah tidak hanya membenciku, dia juga sangat jijik padaku. Meski aku begitu mencintanya, aku memilih untuk pergi supaya Nafisah bisa bahagia." Aska langsung mendongakkan wajahnya menatap Shaka yang masih berdiri di tengah-tengah Zamar dan Aska. "Posisi dan situasi kita tidak sama. Dulu hubungan kalian hanya sekedar pacaran tapi kami sudah disatukan dengan nama Allah." Shaka dan Zamar kompak tertawa remeh. "Alloh memang menyatukan kalian tapi kamu sendiri yang memotong ikatan itu." Ucap Zamar yang sangat muak dengan omongan Aska yang berlagak jadi korban. "Kamu itu tersangka tapi seolah jadi korban yang paling tersakiti. Malu, aku sebagai lelaki melihat sik
Sekitar pukul tiga sore motor yang dikendarai oleh Shaka berhenti tepat didepan pintu pagar rumahnya. Dengan santai pria itu turun dan membuka kunci gembok pagar lalu membuka satu sisinya untuk akses motornya masuk. Libur sekolah sudah tiba, tapi untuk para pengajar masih mendapat giliran jadwal piket datang ke sekolah. Setiap guru mendapatkan jatah tiga hari dalam seminggu. Mulai jam 7 sampai jam satu siang. Tadi pulang dari sekolahan Shaka menyempatkan mampir ke rumah Zamar untuk bertemu Nafisah dan Qiara. Liburan sekolah membuat gadis kecil itu tak mau menerima les dari Shaka. Jadilah Pak guru Shaka harus menahan rindu selama hampir sepekan karena tak melihat wajah cantik Nafisah dan imutnya Qiara. Dua hari yang lalu setelah dari apartemen Aska, pak guru tak mengantar Zamar pulang karena bawa mobil sendiri-sendiri. Seingatnya terakhir kali melihat wajah Nafisah ketika wanita itu sakit tiga hari sebelum Qiara libur sekolah. "Kan sekolahnya masih libur, lesnya juga libur dong. M
Seperti permintaan Zamar, pagi ini Shaka akan mengantarkan Nafisah ke pengadilan. Hari ini sidang pertama untuk kasus gugatan hak asuh yang dilayangkan Aska terhadap Nafisah. Setelah mengeluarkan mobil dari halaman rumahnya Shaka kembali turun untuk menutup kembali pagar rumah. Saat hendak berbalik sebuah panggilan menghentikan langkah kakinya. "Pak.... Pak Shaka...." teriak seorang wanita dengan menggandeng tangan putranya. "Iya?" Dahi Shaka berkerut melihat siapa yang memanggilnya. "Ada apa Bu?" tanyanya pada Vania yang baru saja sampai di depannya. "Maaf, boleh saya ikut sampai depan?" Wajah Vania memelas. "Ini sudah siang, ojek online yang saya pesan belum juga datang padahal putra saya sudah hampir terlambat masuk sekolah." Wanita itu mendorong pelan tubuh anaknya ke depan Shaka. "I-iya Om... boleh minta antar gak Om??" Bocah sembilan tahun itu tersenyum kaku, seperti terpaksa. Shaka diam sejenak, bingung menjawab. Tidak mungkin dia menolak karena bilangnya cuma sampai dep
"Karena sikap kasar dan ucapan pedas mantan istri saya. Saya khawatir sikapnya itu.... akan mempengaruhi tumbuh kembang putri saya..... Dan lebih saya khawatirkan, putri saya akan memiliki sikap buruk seperti mantan istri saya itu." Dengan hati bergemuruh dan mata memanas Nafisah menatap mantan suaminya. "Tega kamu Mas," gumam Nafisah lirih. Wanita dengan jilbab putih bermotif bunga itu tak menyangka Aska benar-benar mempermalukannya. Ucapan Nafisah memang terkadang pedas tapi hanya ketika dia kasari lebih dulu atau berhadapan dengan orang yang sudah menyakitinya. Jadi jika dikatakan Nafisah memiliki sikap kasar dan mulut pedas itu tidak benar. Ucapan Aska tak hanya membuat Hati Nafisah emosi. Melainkan ada dia pria dewasa yang sudah yang tersulut emosinya. Zamar dan Shaka kompak berdiri hendak protes andai saja tak diminta untuk kembali duduk oleh security. "Tenang Pak." Salah satu pengacara menoleh memberi arahan untuk Zamar dan Shaka kembali tenang. "Ada lagi Pak Aska, alasan
Pov Nafisah. Perdebatan demi perdebatan bergulir memenuhi ruang sidang yang hampir seperti sidang tertutup karena hanya ada dua sampai empat orang penonton. Tidak seperti sidang-sidang para artis yang bangku penontonnya dipenuh dengan awak media juga penggemar yang penasaran dengan kisah idolanya. Tak hanya perdebatan, saling serang dan saling tuding menjadi proses yang katanya wajar untuk mencapai kemenangan. Berkali-kali hatiku berdenyut nyeri mendapati kenyataan yang begitu miris ini. Ya... Alloh... Haruskah seperti ini? Kami seperti musuh besar padahal dulu kami pernah mengarungi hari-hari indah bersama sebagai suami istri. Aku seperti berperang dengan diriku sendiri ketika aku dituntut untuk membuka aib dari mantan suamiku itu. Meski hatiku sakit dan terluka atas pengkhianatan Mas Aska namun jiwaku seolah menolak saat aib mantan suamiku dijadikan senjata untuk mendapatkan hak asuh putri kami. Aku pun tak tahu juga tak pernah menyangka jika yang dimaksud Mas Zamar dan Kak
"Assalamu'alaikum, " ucapku seraya melangkah masuk ke ruang tamu."Wa'alaikum salam.." kompak suara dari dalam. Degh.....Tubuhku tiba-tiba menegang. Kakiku kaku seolah terpaku di tempat melihat siapa tamu yang datang pagi ini. Untuk apa mereka datang ke sini? "Mereka menunggumu dari tadi," bisik Mbak Sezha sembari mengambil alih belanjaan yang kubawa dan membawanya ke dapur. Dengan jantung yang berdegup kencang aku pun mengurangi senyum tipis, "Sudah lama, Om, Tante...." Aku mencium pungung tangan kedua mantan mertuaku itu bergantian. Ya, tamu pagi ini adalah mantan mertuaku. Om Jatmiko dan Tante Halimah. Entah apa tujuan mereka datang? Jika ingin menemui Azqiara harusnya mereka datang tengah hari, bukan di jam-jam Azqiara sekolah. "Lumanyan sekitar satu jam. Kamu dari mana?" tanya Tante Halima dengan senyum hangat sama seperti dulu saat aku masih menjadi menantu kesayangannya."Maaf, tadi setelah mengantar Qiara, mampir belanja sebentar." Jawabku jujur. Dari dalam Mbak Sezha ke
"Siapapun nanti yang mendapatkan hak asuh Azqiara, kalian harus tetap mengatakan pada anak itu siapa orang tua kandungnya." Duar........ Mataku melotot sempurna. "Maksudnya Om, bagaiama?" Seperti orang bodoh aku meminta mantan mertuaku itu mengulangi ucapannya. Om Jatmiko mendengus kasar. Tubuhnya ditegakkan dan condong ke depan. "Azqiara berhak tahu siapa orang tua kandungnya. Cepat atau lambat kamu harus memberitahunya karena itulah kenyataannya. Jadi akan lebih baik dia tahu jati dirinya lebih awal." Hatiku seperti tertindih batu besar yang seketika membuatku sesak nafas. Tanpa bisa kucegah air mataku jatuh tanpa aba-aba. "Kenapa Om, mengingkarinya janji Om dulu?" tanyaku dengan jati yang penuh dengan kekecewaan. Mantan ayah mertuaku pun membisu. Aku yakin dai juga sama sedihnya sepertiku. Di sampingnya Tante Halimah menundukkan kepalanya sambil terisak. "Dulu Om sendiri yang membawa bayi Azqiara dan menyerahkannya padaku. Om memintaku menerimanya menjadi anakku," Tak bisa k
Sudah seminggu berlalu namun aku belum juga menghubungi mantan mertuaku untuk menyampaikan keputusanku atas kesepakatan yang mereka tawarkan. Jujur aku masih ragu. Satu sisi hati memahami perasaan mereka namun sisi yang lain takut jika anak yang aku rawat sejak kecil tak lagi menganggapku ibu kandungnya. Selain itu aku juga takut psikis Qiara tertekan setelah mengetahui kenyataan jika dirinya anak angkat. Meski begitu sebenarnya aku sudah memiliki pilihan. Hanya saja aku belum benar-benar yakin. Mungkin aku harus istikharah lagi untuk lebih menyakinkan hatiku.Di tengah deburan masalah dan kerisauan namun pernikahanku dan Kak Shaka yang sudah direncakan tetap dilaksanakan sesuai tanggal yang sudah kami sepakati. Tidak seperti rencana awal, kami hanya akan menjalani akad nikah tanpa resepsi.Banyaknya masalah yang datang membuat persiapan tidak bisa maksimal. Hampir seluruh waktu dan pikiran habis untuk tercurah pada persidangan perebutan hak asuh. Bagiku tak ada masalah toh ini ada