Hari pertama, kembalinya Meriel di kediaman Hail.
Meriel mendesah ringan, ia menatap nanar layar ponselnya. Tadi salah satu pengawal Aron yang menjaga anak itu di rumah sakit, baru saja memberi kabar, bahwa Aron masih dirawat di sana dengan kondisi yang cukup stabil.
Hanya saja, tulang pipi kanannya retak akibat dihantam oleh kaki Hail, tulang tangan yang ia gunakan untuk melindungi diri juga ada bagian yang retak, mirisnya lagi bagian terparah adalah tiga tulang rusuk Aron yang patah.
Meriel merinding ngeri ketika membaca pesan teks berisi keadaan dan foto Aron saat ini, ia jadi bertanya-tanya sekuat apa sebenarnya suaminya itu. Karena yang ia tahu dan kenal selama ini hanyalah sosok Hail yang kadang dingin tapi begitu lembut dan perhatian padanya.
Namun demikian, Meriel merasa Hail sudah benar-benar berubah sekarang. Ia tidak hanya melihat sosok lembut itu berbah jadi seseorang yang bengis bak mons
Mata biru milik Meriel menatap nyalang manik netra hazelnut Ranesha. “Mengaku saja, kau mengincar suamiku, kan?” tuduhnya dengan nada dingin yang tajam.Ranesha hampir saja tertawa nyaring. Sekarang kecurigaannya sudah jelas, sang pemeran utama wanita ini memang mengajaknya berperang. Jadi, benar bahwa hati Meriel tidak sesuci yang digambarkan. Ranesha sangat ingin berteriak mengungkapkan topeng wanita itu.“Iya, saya mencintai suami Nyonya. Apa ada masalah?” tantangnya kelewat berani. Mata mereka beradu sengit.Meriel lantas tertawa hambar. Ia menyibak rambut pirang bergelombangnya ke belakang dan tersenyum dengan raut wajah begitu merendahkan lawan.“Baiklah, baiklah. Sekarang aku bisa mengerti, terima kasih,” ujar Meriel membuat alis Ranesha bertaut jadi satu, mengerutkan kening dalam. Masih berusaha mencerna apa maksud kalimat yang keluar dari bibir berwarna pe
“Padahal aku dan Juan sudah mencadangkan data setiap malam, tapi ada kecoak yang mengacaukannya.” Alexi menyindir seluruh orang di dalam ruangan. Ia tidak segan-segan menyembunyikan rasa curiganya. Kasus ini tentu tidak akan terjadi tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.Alis Hail bertaut. Ia memandang Alexi dengan tatapan yang menuntut penjelasan lebih. Maka di situlah Juan berusaha mengambil alih.“Begini, Mikhail hanya orang yang menjalankan perintah. Ada pihak yang memintanya, dan ada satu pihak lagi yang membantu mereka,” tukas ketua dari tim pengembangan tersebut.“Makanya.” Alexi berdiri, mengedarkan pandangan. “Pasti ada kecoak di sini,” sindirnya lagi.Kali ini Sean sudah tidak dapat menahan diri, tangan yang mengepal itu langsung melayang pada kerah baju Alexi, menarik pemuda itu dengan sangat kasar. “Maksudmu apa berkata seperti itu!&
Lapangan hijau yang sangat luas sepanjang mata memandang, dihiasi dengan beberapa pohon rindang dan bukit-bukit kecil. Di salah satu bukitnya, ada dua gundukan yang dilapisi marmer mahal dengan warna abu-abu cemerlang. Pada masing-masing dari dua gundukan itu, tertuliskan nama orang yang berbaring di bawah sana, sebagai tempat peristirahatan terakhir mereka.Ranesha membersihkan rerumputan liar yang masih bersisa sedikit, ia juga mengusap penuh sayang debu yang menempel pada marmer-marmernya. Bunga yang perempuan itu bawa tadi ia letakkan satu-satu pada dua kuburuan itu.“Helena Seibert, Damian Seibert,” eja Ranesha pada dua nama yang tertulis di sana. Wajahnya mendadak muram.“Apa … kalian tahu kalau Ranesha yang kalian kenal sudah tiada? Makasudku, aku bukan Ranesha yang kalian kenal, dia … hilang. Aku juga tidak tahu ke mana, tapi sekarang jiwaku menempati tubuh Ranesha ini,” raca
“Apa?” Ranesha mengarahkan pandangan netranya pada manik mata indah Juan. Seakan berusaha mencari celah kebohongan dan menuntut penjelasan lebih atas kata-kata ambigu lelaki itu barusan.Pasokan oksigen terasa semakin menipis dikala tubuh gadis itu masih sedikit gemetar kedinginan. Hal ini adalah kemungkinan besar ia tidak dapat mencerna dengan baik kata-kata Juan tadi.“K-Kau tadi bilang apa?” ulang Ranesha lagi, seolah mendesak agar mulut yang hanya tersenyum tipis itu kembali terbuka agar bicara.I’m into you, Ranesha. Hati Juan menjerit ingin mengeluarkan kalimat tersebut. Namun, ia malah terkekeh ringan dan mengacak pelan rambut Ranesha yang tadi ia rapikan.“Pasti CEO kita itu lagi, kan? Wah … sangat menyebalkan,” ujar Juan tidak jelas, ia memutar kepala lurus ke depan, memandang pada jalan yang lengang.“Maksu
Juan mengikuti Ranesha yang baru keluar dari mobilnya. Gadis itu Juan paksa ikut pulang bersamanya saja karena saat makan-makan tadi, Ranesha malah muntah tiba-tiba. Sungguh perempuan yang selalu berhasil memberikan Juan efek kejutan dan perhatian penuh. Masalah mobil yang Ranesha bawa, bisa menyuruh pelayan aau supir khusus untuk mengambilnya ke sana.“Yakin kalau kau baik-baik saja? Tidak ke rumah sakit dulu? Atau menemui Dokter Sylvia saja, akan aku antar,” bujuk lelaki itu untuk keseribu kalinya—mungkin. Ia tidak bisa berhenti cemas dengan wajah pucat dan mata bengkak gadis yang tengah bersamanya kini.Ranesha yang merasa dirinya masih sehat sentosa itu kembali menggeleng sebagai penolakan halus. Ia malah lebih memikirkan rasa malu paling mengerikan yang terus-terusan ia tunjukkan pada Juan. Apa aspal yang dia pijaki saat ini tidak bisa memuai jadi air laut saja? Ranesha ingin menyembunyikan diri sekarang.
Hancur. Satu kata yang masih tidak dapat menggambarkan perasaan kedua orang di dalam satu ruangan ini. Baik Hail mau pun Ranesha terlihat enggan bahkan untuk saling berbicara satu sama lain. Seolah ada jarak lintas dimensi yang menjulang dalam dan tinggi di antara keduanya. Dinding tak kasat mata yang semakin kokoh, lebih gelap dari pada kegelapan sekali pun.“Rating My Teacher meningkat dengan signifikan. Sampai saat ini tidak ada yang melaporkan masalah terkait bug, eror, atau yang lainnya,” lapor Ranesha tanpa menatap sang atasan di hadapan. Ia sok sibuk berbicara dengan tablet di tangan.“Ok,” balas Hail bahkan lebih dingin dari pada lautan di kutub es. Wajah pria itu terlihat lebih parah dari pada hari-hari sebelumnya. Dengan mata sedikit bengkak, garis hitam di kantung mata yang semakin terlihat, dan tentu titik kejenuhan yang tidak dapat wajah tersebut sembunyikan—meskipun tampan.
“Ugh ….” Mata Ranesha memandang dengan perasaan berkecamuk pada tiga anak manusia yang tengah duduk di atas sofa dengan dua komputer di atas meja. Ketiga pria di sana tengah berdiskusi dengan nyaman dalam ruang baru yang telah disiapkan sang sekretaris piawai dengan sempurna.Namun, entah kenapa Ranesha malah kesal sendiri. Memang dirinya jadi tidak berenang dalam kolam dokumen-dokumen seperti biasa, akan tetapi itu bukan berarti dia harus jadi penyiap makan dan minum ketiga orang di sana bukan?“Aku sudah seperti pembantu saja,” gumam perempuan bersurai cokelat terang ini. Tangannya yang memegang nampan berisi cemilan dan kopi jadi gemetar menahan rasa kekesalan. ia bagaikan bom yang dijinakan, tak bisa meledak lagi.“Oh? Makanan sudah datang!” seru Juan setelah mengangkat kepala dan menoleh, ia bisa merasakan aura kehadiran Ranesha yang mematung di ambang pintu.
Ada satu hal yang baru-baru ini disadari oleh Hail. Ia tidak lagi menunggu-nunggu Meriel seperti dulu. Pikirannya tidak lagi hanya terpaku pada bagaimana merebut hati Meriel agar sang istri mencintainya, supaya Meriel meninggalkan selingkuhan itu. Bukannya tidak sama sekali memikirkan hal tersebut, hanya saja ... kini tidak seperah dulu lagi.Celakanya adalah itu bukan kabar baik sama sekali. Malah buruk. Kenapa? Kenapa pikiran Hail tidak dipenuhi oleh Meriel lagi? Ia tahu bahwa hatinya masih milik Meriel. Hail paham betul akan perasaannya yang tergila-gila dengan gadis semanis gulali tersebut. Jadi, coba jawab kenapa saat ini otak Hail malah sering tertuju pada Ranesha. Kenapa Hail merasakan amarah yang lebih membara ketika melihat Ranehsa dengan lelaki lain ketimbang saat istrinya—Meriel—selingkuh dan bahkan tidur dengan Aron?Apa? Apa artinya semua ini?“This is weird.” Hail memijat pe