Katanya kalau badan terlalu leah lalu dipacu juga dengan pikiran yang membuat depresi, maka otak bisa menciptakan sebuah halusinasi. Masalahnya si empu tubuh mungkin saja tidak sadar pada kondisi badan sendiri. Seperti Ranesha yang sekarang, dia tengah melihat sebuah bayangan kematian yang mengerikan.
“Jangan!” pekik Ranesha yang melihat Hail dan Arin yang berjalan ke arah jurang. Namun, pada kenyataan yang ada dua orang itu hanya sedang ingin jalan-jalan ke taman.
Teriakan Ranehsa berhasil menarik perhatian termasuk Hail dan juga Arin. Keduanya menoleh keheranan pada sosok Ranesha yang menangis dengan tangan seolah ingin menggapai mereka.
“Kak Ran kenapa?” Arin menatap Ranesha horor, tangan mungilnya mencengkram kecil ujung lengan jas milik Hail.
Tercengang bengang, Hail tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bergeming sambil memandangi sosok mengenaskan Ranesa. Nyatanya mas
“You’re an apple of my eye. Tidak ada orang lain apalagi Juan. Saya sudah bilang hanya akan mencintai satu orang dan setia pada satu orang saja dan itu adalah Anda. Not another man, but you.”Kalimat yang Ranesha lontarkan membuat isi kepala Hail dipenuhi bunga-bunga bermekaran, perut pria ini juga terasa sesak oleh kupu-kupu yang berterbangan. Bagaimana bisa Ranesha mengungkapkan isi hatinya sebegitu mudah? Sedangkan Hail saja sampai sekarang tidak pernah benar-benar menyatakan cintanya secara gamblang.You driving me crazy, Ran.Kepala Hail memiring guna meresapi sentuhan Ranesha di pipinya. Ia sudah seperti kucing jalanan yang haus akan kasih sayang. Hail otomatis mulai berpikir serakah, ia sangat ingin agar raga dan jiwa dari sentuhan ini hanya menjadi miliknya seorang.“Ran.” Hail menggeser telapak tangan Ranesha dari sisi wajah bergerak k
“Y-Ya sudah! Tidak jadi!” Ranesha berontak dan dengan cepat kembali berbaring di tempat tidur. Ranesha menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh terutama wajahnya. Malu.Hail lantas tertawa kecil melihat itu. Ia bersidekap. "Ran," panggilnya pelan."Jangan bicara dengan saya! Saya sedang malu dan marah pada Anda!" jujur Ranesha di balik selimut sana."Ingin tahu alasan kenapa aku sampai bisa menikah dengan Meriel?" pancing Hail. Namun, dia tidak sembarang bicara. Pria ini ingin agar Ranesha tahu semuanya tanpa sisa dan Hail berharap Ranesha juga memberitahu Hail segala kisahnya juga.“Itu tidak ada dalam webtoon. Belum, mungkin belum diceritakan,” gumam Ranesha yang perlahan menarik ke bawah selimutnya. Menampilkan sedikit wajah, menghadap ke arah Hail.“Apanya yang tidak ada?” Samar, tapi Hail masih bisa mendengar sedikit apa yang Ranesha g
Wanita dengan baju terusan berwarna kuning, wajah yang cerah, dan sepasag mata biru bak berlian yang cemerlang itu menunduk sedikit untuk menyamakan tinggi badannya dengan Hail kecil. Ia menatap tanpa rasa jijik pada bocah kotor tadi.“Aku adalah Adora, siapa namamu, Nak?” tanyanya terdengar lembut dan sopan.Hail termenung. Ini adalah yang pertama kali baginya. Pertama kali ia dihampiri oleh seseorang yang berpenampilan bersih dan rapi. Pertama kali ia diperlakukan selayaknya sesama manusia. Pertama kali ada yang bertanya namanya dengan lembut.Mata Hail berkaca-kaca, antara haru dan bahagia membuat hatinya meleleh bagai mentega. “H-Hail,” sahut anak kecil itu sambil menunduk, salah tingkah. Bahkan ia sampai gagap hanya dengan menyebutkan namanya sendiri.“Hail?” ulang Adora, sedikit memiringkan kepala guna melihat wajah bocah kecil di hadapannya. Sungguh, hati Ad
Masa sekarang. Di kamar VIP nomor 13 pada salah satu rumah sakit.Bulir bening segera meluncur indah dari sapasang mata bernetra hazelnut di sana. Perempuan berambut cokelat terang sebahu itu memasang mimik muka seolah dialah yang terluka mendengar cerita Hail barusan.“Jadi … saat berteman dengan saya saat itu, Anda menyembunyikan hal seperti ini,” simpul Ranesha disela isak tangisnya.Hail tidak mengerti. Itu tadi kisah pilunya, semua penderitaan tadi hanya Hail yang mengalaminya, jadi kenapa malah Ranesha yang menangis seperti ini?“Iya, begitulah,” jawab Hail seadanya.Ranesha menunduk dan menghapus air mata. Ia kembali mendongak, kini tanganya terulur untuk menyentuh Hail. Ranesha menangkup wajah pria tampan itu dan tersenyum kecut.“Pasti sulit, ya? Bertahan sendirian seperti itu. Berjuang sendirian seperti itu. Kehi
“Hah ….” Ranesha mengembuskan napasnya berat, menopang dagu di pinggir jendala, melihat pemandangan di luar jalanan yang muram. Langit malam tiba-tiba berubah kelam, tanpa bulan dan tidak ada bintang. Benar-benar mewakili perasaan Ranesha sekarang.“Kita sudah sampai di rumah Dokter Sylvia,” lapor sang supir di depan.“Terima kasih. Tolong tunggu saja di sini, Pak. Mungkin memang akan lama,” ujar perempuan tadi seraya keluar dari mobil.“Baik Nona Muda.”Tungkai kaki Ranesha digerakkan santai menuju ruangan Dokter Sylvia. Sebenarnya dia bisa saja cukup dengan memanggil sang dokter ke rumah, akan tetapi di sana ‘kan terdapat bom waktu bernama Caspian. Bisa-bisa rencana Ranesha dikacaukan. Padahal ia hanya menuntut sebuah kebenaran.“Akhirnya Nona Ran datang,” sambut Sylvia tanpa rasa terkejut barang sedikit p
Di sebuah apartemen mewah milik Perusahaan Deimos. Dalam salah satu tempat tinggal yang hanya disediakan secara eksklusif.“Ck! Susah sekali! Kenapa semua harus serumit itu!” protes seorang laki-laki tampan dengan dagu runcing, hidung bak paruh burung dan yang paling khas adalah netra biru permata dan rambut pirangnya yang sedikit keriting.Lelaki ini masih beradu sengit dengan pria paruh baya yang terlihat tenang dan elegan di sisinya. Orang tua itu berseragam rapi dan tetap teguh pada pendiriannya sendiri.“Maaf Tuan Muda, tapi Anda harus menyelesaikan ini,” kukuhnya, kembali menunjuk setumpuk dokumen gila pada satu-satunya pewaris resmi Perusahaan Deimos—Aron Deimos.“Sudah! Aku telah mengerjakan banyak hal sambill duduk di sini selama berjam-jam! Apa kau ini sedang melakukan pembunuhan berencana?” hardik Aron murka. Ia sampai melemparkan sisa-sisa berkas
“Hail, aku akan pulang hari ini.”Begitulah teks pesan yang Hail terima setelah satu bulan lamanya tak berkontakan sama sekali dengan sang istri tercinta. Ah, entah apa masih pantas untuk menyematkan kata ‘tercinta’ pada seorang wanita yang selalu menyakiti hatinya.Hari ini adalah hari libur dan Hail tidak ingin mengusik Ranesha. Sekretarisnya itu terlihat masih sangat sibuk dengan urusan keluarga. Hail tidak boleh menjadi sosok penggangu. Ia cukup menunggu sampai semua urusan di sana beres.“Sekarang juga mucul masalah baru,” gumam Hail. Ia memejamkan mata, tidak membalas pesan istri sahnya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di benak Hail.“Apa ini adalah perasaan ragu?” Hail hanya berbicara sendiri, memang tidak dapat dipungkiri kalau sebagian hatinya masih dimiliki oleh Meriel. Hail tidak membenci wanita itu, bahkan atas semua yang telah Meriel lakuka
“Benar. Istri Anda hamil dengan usia kandungan yang sudah mencapai minggu keenam,” terang seorang dokter yang tadi memeriksa Meriel.Gila. Ini pasti hanya bercanda, 'kan?Hail menggosok wajahnya frustasi, tertunduk lesu dengan ribuan pikiran yang menyerang. Karena sudah minggu keenam, maka tidak salah kalau Meriel mengatakan jika janin yang ada di dalam perutnya adalah anak Hail. Pasalnya saat mengingat lagi, mereka berdua terakhir kali melakukan hubungan badan sekitar tanggal itu.“Oh … God,” keluh pria ini, tidak menghiraukan ekspresi dan asumsi dokter di hadapannya. Untungnya ini ruang privasi sang dokter. Jadi hanya akan ada satu orang yang bisa menghujat Hail karena tidak terlihat bahagia dengan kehadiran anaknnya sendiri.Begitulah pikir Hail, ia merasa pantas juga untuk dihina. Namun, ternyata dokter tersebut tidak merasa demikian. Ia malah mendekat dan