Nara mencoba untuk terus membuka kunci pintu ruangan itu menggunakan jepit rambutnya, dia juga terus waspada dengan selalu melihat ke sekelilingnya, untuk memastikan bahwa benar tidak ada siapa pun yang melihatnya.Tek! Ceklek, akhirnya Nara berhasil membuka pintu itu. Terlihat senyum mengembang di bibirnya, tidak ingin membuang waktu lagi, Nara pun langsung masuk ke dalam dan menutup pintu itu kembali dengan sangat pelan.Gelap! Ya, itulah kesan pertama saat Nara masuk ke dalam ruangan itu. Sepertinya ruangan ini tidak pernah di masuki siapa pun, Nara menyusuri dinding ruangan itu untuk mencari tombol lampu. Dan syukurlah, tidak butuh membuang banyak waktu, tangannya berhasil menemukan tombol lampu yang di carinya.Saat tombol lampu itu di tekan. Lampu pun menyala dan terlihatlah isi dari ruangan itu, walaupun seperti tidak pernah di masuki oleh siapa pun. Tapi ruangan ini terlihat begitu rapi, sepertinya pelayan-pelayan di sini selalu membersihkannya dengan teratur.Pandangan ma
Tangan pak San sudah memegang gagang pintu ruangan itu. Dia mulai mengayunkannya dengan perlahan. Saat ini tubuh Nara sudah gemetaran dengan hebatnya, dia memejamkan matanya. Meminta agar pak San tidak membuka pintu ruangan ini.Saat pintu itu hampir terayun dengan sempurna, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil pak San.“Pak San!” Wanita itu tampak berlari menghampiri pak San dengan ekspresi wajah khawatir.Sontak, pak San pun langsung melepaskan tangannya dari gagang pintu itu dan menolehkan wajahnya pada gadis yang merupakan Melly, pelayan pribadi Nara.“Ada apa? Kenapa kau terlihat khawatir?” tanya pak San.Melly terlihat sangat gemetaran. Ya, waktu istirahat yang diberikan oleh Nara sudah dirinya dan Lala habiskan, namun saat mereka kembali dan melihat keberadaan Nara di kamarnya. Ternyata kamarnya sudah kosong dan tidak ada Nara di dalamnya. “I-itu pak San, no-nona tidak ada di kamarnya,” ujarnya.“Apa? Apa kau mau mati? Tuan sudah memberikan tugas ini kh
Nara terkejut, saat mendengar bisikan seseorang dari belakangnya. Dengan ragu dia pun membalikkan tubuhnya secara perlahan. Matanya terbelalak, saat melihat siapa orang yang ada di depannya. “Tu-tuan Zico,” gumamnya.Zico berdiri di hadapan Nara, dia menempelkan tangan kirinya pada rak buku yang ada di depannya, tepatnya di sebelah kanan wajah Nara, sedangkan tangan kanannya dia gunakan untuk memegang buku yang baru saja dia ambil. “Ini buku yang kau inginkan?” tanyanya sembari menunjukkan smirknya.Zico lalu membalik-balikan buku yang dipegangnya untuk melihat-lihat buku tersebut, dia juga melihat sekilas judul buku yang tertera pada sampul buku itu. “Jadi kau suka buku yang seperti ini?” tanyanya lagi.Zico terlihat meremehkan buku yang ada di tangannya, yang ternyata adalah sebuah novel romantis.Nara terdiam, saat ini kepalanya sedang berpikir. Bagaimana Zico bisa ada di sini, bukankah harusnya dia ada di kantor? Memangnya ini pukul berapa, sampai dia sudah pulang.“Kau tahu,
Glek, lagi-lagi Nara menelan salivanya. Dia kembali teringat dengan Sari yang harus menerima pil pahit karena ulahnya.“Maaf,” ujar Nara seraya menundukkan kepalanya.Zico terdiam, mendengar Nara mengucapkan kata maaf padanya sembari menundukkan wajahnya, membuat Zico tidak melanjutkan kembali kemarahannya pada Nara. “Kau bilang apa?”tanyanya lagi.“Maaf, aku sungguh tidak bermaksud melarikan diri. Bukankah aku sudah beritahu alasannya tadi padamu,” jelasnya.Zico menatap Nara yang masih tertunduk itu dengan lekat. Akhir-akhir ini Nara tidak pernah berani melawannya lagi dan selalu menuruti apa yang dirinya perintahkan, jadi sepertinya alasan yang dia berikan itu memanglah benar. Entah kenapa Zico merasa percaya bahwa Nara tidak berbohong padanya.Tidak mendengar Zico mengatakan apa pun lagi. Nara pun memberanikan diri untuk mengangkat kembali wajahnya. Dia melihat Zico yang saat ini tengah menatapnya lekat. “Ka-kau masih marah padaku? Aku sungguh tidak berbohong,” ucapnya.Ke
Nara keluar dari kamar mandi, dia lalu masuk ke dalam ruang ganti untuk menyiapkan pakaian Zico. Saat mengambil pakaian yang akan Zico pakai. Pikiran Nara melayang jauh pada bingkai foto yang tadi siang dia lihat.“Alex? Apakah benar, anak laki-laki di foto itu adalah Zico? Tapi dilihat dari wajahnya, sepertinya anak itu memang Zico. Wajah yang tampan, dengan lekuk wajah sempurna. Hanya saja, dibandingkan anak kecil itu. Wajah Zico yang sekarang terlihat lebih tegas dan juga manly. Mungkin, karena sekarang dia sudah dewasa,” gumamnya.“Siapa yang manly dan sudah dewasa?” tanya Zico yang tiba-tiba sudah berada di samping Nara.Nara pun terkejut, pundaknya bahkan sampai bergerak saking terkejutnya. Dia melihat ke sisi kirinya yang sudah ada Zico di sana dan tengah menatapnya dengan penuh tanda tanya.“Itu ... anu. Adiknya Kiara, dia sudah mulai masuk usia dewasa sehingga wajahnya menjadi lebih manly,” jawab Nara.Zico menyipitkan matanya. Dari tatapannya, dia sepertinya mencurigai
Zico berada di ruang kerjanya, dia duduk di kursi kerjanya dengan kedua tangannya yang dia telungkupkan di atas meja kerjanya dan dagunya yang dia taruh dia atas tangannya. Pandangannya melihat lurus ke arah depannya, dan bibirnya tampak cemberut penuh dengan kekesalan.“Apa dia sungguh maniak laki-laki tampan? Apa dia selalu memandang dengan lekat semua laki-laki tampan yang dia temui?” Kesalnya.Zico tidak mengerti sama sekali, suasana hatinya saat ini benar-benar buruk. Dia merasa kesal jika melihat wajah Nara dan mengingat kembali ucapannya.***Nara merasa dirinya sudah cukup bersantai, sekarang hari sudah larut. Waktu juga sudah menunjukkan pukul 23. 04 malam. Nara mematikan televisinya dan beranjak dari sofa untuk kembali ke dalam kamarnya.Saat sudah berada di lantai atas. Nara saat ini berdiri di persimpangan dekat tangga, dia melihat ke arah sisi kiri dan kanannya. Dia berpikir, jika dia berjalan ke sisi kiri. Maka dia akan tiba di ruang kerja Zico. Haruskah dirinya per
“Alex!” ujarnya dengan suara yang cukup keras.Deg!Zico tersentak, ketika telinganya mendengar suara Nara yang menyebut nama Alex. Wajahnya yang tadi tertunduk fokus melihat ponselnya itu, kini menegak dan berbalik melihat Nara.Dia mengerutkan alisnya, matanya juga sudah menyipit dan menatap Nara dengan tatapan tidak percayanya. Benarkah telinganya tadi mendengar gadis ini menyebut kata Alex? Jika iya, tahu dari mana dia, apakah mungkin dia tadi hanya salah dengar saja?Zico perlahan menggerakkan kakinya mendekati Nara, yang saat ini juga tengah menatap padanya. Dia memberhentikan kakinya tepat di hadapan Nara, Nara terlihat mengikuti pergerakan tubuh Zico, sedangkan Zico, saat ini fokus melihat ke arahnya.“Kau memanggilku dengan nama apa tadi?” Zico bertanya dengan nada menekan pada Nara, dia harus tahu kenapa Nara bisa memanggilnya dengan nama itu. “Kenapa kau memanggilku dengan nama itu?!” lanjutnya, kali ini suaranya terdengar meninggi. Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia
“Alex, Alex anak baik dan berbakti, kan?” tanya seorang wanita cantik kepada putranya yang berusia sekitar enam tahun. Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya, kedua tangan mungilnya itu terangkat merangkum pipi ibunya. “Iya Ma, Alex akan jadi anak baik dan berbakti sama mama dan papa,” jawabnya dengan tersenyum.Wanita itu memegang tangan putranya yang tengah merangkum pipinya. Dia mencium tangan putranya dengan penuh rasa sayang. “Kalau begitu, Alex harus berjanji satu hal sama mama. Alex harus jaga papa dengan baik, jangan biarkan papa terluka. Karena papa adalah orang yang paling kita sayangi, jadi kita harus menjaganya dengan baik. Alex dengar mama, kan?”Anak laki-laki bernama Alex itu kembali menganggukkan kepalanya sembari tersenyum manis. “Alex janji Ma, Alex akan jaga papa dengan baik. Alex gak akan biarin papa terluka sedikit pun,” jawabnya kemudian.Wanita itu tampak tersenyum haru karena mendengar jawaban putranya, dia pun langsung memeluk tubuh mungil putranya