“Kamu kenapa, sih? Masih belum puas sama yang semalam?” tanya Vela dengan kerut alis yang begitu menakutkan. Perempuan itu sangat terusik oleh kelakuan pria yang masih bersandar di tubuhnya.
“M-maaf, Vel. Aku … enggak sadar,” jelas Eridan sembari beranjak dari “bantalnya”. Dengan ekspresi yang masih beku, pria itu merapatkan kedua telapak tangannya sebagai wujud permohonan ampun.
“Enggak sadar?” selidik perempuan yang ikut duduk sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. Kali ini, ia merasa tidak aman tanpa busana.
“Y-ya. Tadi, aku bermimpi. Aku enggak tahu kalau tanganku ternyata bergerak sendiri,” jelas Eridan tidak ingin sang istri salah sangka.
“Memangnya, apa yang kamu mimpikan?” tanya Vela dengan kepala sedikit mendongak.
“Ah … itu … aku bermimpi lagi membuat adonan pempek. Iya, lagi bikin pempek,” bohong Eridan berusaha menghindari kemarahan sang istri. Akan tetapi, kerut alis perempuan itu ma
“Apakah itu bus tur kita?” bisik Vela yang membungkuk di belakang Eridan. Mereka berdua sedang mengintip dari balik sebatang pohon dekat parkiran.“Sepertinya begitu,” sahut laki-laki sambil tetap fokus mengamati keadaan di dalam bus.“Tapi, apakah tur bulan madu biasanya menggunakan bus dan ramai-ramai seperti itu?” tanya Vela meragukan. Pria di depannya pun mengangkat bahu.“Aku juga tidak tahu, Vel,” jawab Eridan singkat.“Jadi, kita harus bagaimana sekarang? Pihak hotel enggak mau memberitahukan identitas si pemesan. Aku yakin, ini pasti rencana Ares,” tuduh perempuan yang begitu yakin. Nama Ares sudah sangat buruk di matanya. “Apa kita pulang saja? Enggak perlu ikut tur itu?”“Apa kamu enggak tertarik ikut tur itu?” tanya Eridan tanpa disangka. Pikirannya ternyata berbeda dengan sang istri.
Tiba-tiba, Eridan menempatkan tangannya di pundak Vela. Perempuan itu pun tersentak dan hampir saja berteriak. “Ridan!” tegurnya dengan suara pelan. Kerut alis Vela telah melukiskan keterkejutan sekaligus ketakutan.“Ih, kok kaget, sih? Aku cuma mau mengajak kamu kabur. Kita naik ke mercusuar saja, yuk! Mumpung masih buka,” ajak sang pria seraya menunjuk bangunan setinggi 65 meter di belakang mereka.Si perempuan otomatis mendongak memeriksa puncak yang dicat dengan warna merah. Dari atas sana, pembunuhan yang diceritakan sang pemandu pasti terlihat jelas. Spontan saja, Vela menggeleng untuk mengusir pemikiran aneh dalam otaknya.“Enggak mau? Pemandangan di puncak mercusuar enggak kalah indah dibandingkan dengan pemandangan dari Menumbing, loh. Di sana, kamu pasti merasa seperti Rapunzel,” bujuk Eridan sembari memasang tampang memikat.“Rapunzel? Serius?&rdqu
“Kamu enggak sanggup melihat Cassie sama Ares?” terka Vela mengungkapkan prihatin. Sebelah sudut bibir Ridan sontak terangkat walau berat.“Tadi, ya … aku marah. Bagaimana mungkin, dia bisa menemukan penggantiku secepat ini, dan itu Ares? Padahal, kemarin dia masih mengamuk di pernikahan kita,” ujar Eridan jujur. Tatapannya menerawang pilu. Selang keheningan sejenak, lengkung bibir yang lebih ringan tertuju pada Vela.“Tapi, begitu aku keluar dari mercusuar dan menginjak tanah, tiba-tiba saja, aku sadar kalau Cassie itu masa lalu aku, sedangkan masa depanku ada di sini,” ucap sang pria dengan nada yang berbeda. Ia terdengar sehangat sentuhan jemarinya. “Untuk apa aku berlari mengejar masa lalu, sementara masa depanku selalu ada di sampingku?”Alih-alih terenyuh, Vela malah mendesah tak senang. “Ridan, kalau kamu masih mencintai Cassie, kamu seharusnya memperjuangkan dia. Masa depanmu masih bisa diubah, tapi hatimu sepertinya sudah m
Begitu Vela mengambil napas, Eridan dapat melihat getar bibir merah yang baru saja memanjakan hasrat. Kini, sang pria mengerti alasan Vela menuduhnya gugup, yaitu untuk meredakan ketegangan dalam dirinya sendiri.Tiba-tiba, sang wanita meraih tangan sang suami. Dengan lembut, dipandunya telapak besar Eridan untuk menemui bukit kembar.“Ini yang kamu lihat dalam mimpi, kan?” tanya Vela sambil menekan jemari sang pria agar masuk ke kulitnya lebih dalam. “Lakukanlah! Aku enggak bakal marah.”Glek!Eridan kesulitan menelan ludah. Ia tidak tahu jika Vela memiliki pesona yang mematikan. Ketika perempuan itu membiarkan tangannya mandiri, pria itu malah mematung. Haruskah ia memenuhi egonya, atau menyadarkan logika yang mulai terkikis? Eridan tidak mampu berpikir.“Apakah sesulit itu melupakan Cassie?” tanya Vela salah paham. Ia mengira bahwa suaminya
“Bagaimana ini, Ridan? Aku belum hamil,” ujar Vela begitu keluar dari kamar mandi. Pria yang menunggunya di kasur pun ikut mengerutkan alis. Ia sendiri bingung dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan rencana.“Kalau Mama tahu, kita harus bilang apa?” desah Vela sambil mengenakan pakaian.“Apa kita mengaku saja? Kita jelaskan semuanya kepada Mama,” usul Eridan tak yakin.“Berarti, kita harus siap menghadapi kekecewaan Mama, dong?” timpal wanita yang merasa bersalah karena telah berdusta.“Ya, mau bagaimana lagi? Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Kita enggak bisa menyembunyikan kebohongan selamanya, Vel,” tutur Eridan bijak. Sang istri pun mengakui kebenaran dari perkataannya. Wanita itu kini menatap langit-langit dan menghela napas berat. Malam nanti, ia harus mengungkapkan fakta kepada sang ibu.***“Sst, Ridan … coba lihat celanaku. Tembus, enggak?” bisik Ve
“Vela!” teriak Nyonya Aster sambil berjalan cepat menuju putrinya. “Cepat duduk! Mama telepon Ridan sekarang. Kita harus ke rumah sakit,” perintah sang ibu dengan nada panik.“Ada apa, Ma? Kenapa ke rumah sakit? Aku sudah sehat, kok,” jelas Vela sambil mengikuti langkah Nyonya Aster yang menuntunnya menuju kursi dekat meja makan.“Kamu pendarahan, Vel! Jangan sampai janinmu kenapa-kenapa.”Deg!Tubuh Vela seketika menegang. Debar jantungnya menyadarkan bahwa dirinya sudah lengah. Bagaimana mungkin ia membiarkan ketakutannya menjadi nyata hanya karena lupa? Si wanita muda pun menelan ludah.“Ma, aku enggak apa-apa. Ini—““Kamu duduk diam di sini!” perintah Nyonya Aster sebelum mengambil ponsel di atas meja.Vela pun meringis. Kebohongan sudah tidak bisa diperpanjang. Dengan desah napas pasrah, ia bangkit dari kursi dan menggenggam jemari sang ibu yang sedang mencari
“Hebat sekali kalian! Menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk kabur dari kenyataan,” sindir Nyonya Aster dengan mata berkaca-kaca.“Bukan begitu, Ma,” timpal Vela seraya berjalan menghampiri. Belum sampai jemarinya meraih, tangan sang ibu sudah terangkat menghentikan langkahnya.“Sekarang, Mama tanya. Apa tujuan kalian menikah? Hm?”Vela pun menatap Eridan dengan rahang bergetar, sedangkan sang pria memandangnya dengan wajah agak tertunduk.“Enggak bisa jawab, kan? Itu karena kalian tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral,” tutur Nyonya Aster dengan raut putus asa. “Menikah itu komitmen seumur hidup, bukan setahun atau dua tahun.”Leher Eridan kini tertekuk sempurna. Ia sadar bahwa tindakan mereka memang salah dan dirinya tidak pantas mengajukan pembelaan. Sekalipun alasan yang dipaparkan oleh sang mert
Begitu Eridan melepas bibir Vela, barulah sang wanita berkedip dan memproses tindakan suaminya. Akan tetapi, setelah lewat beberapa detik, ia tidak kunjung menemukan alasan yang tepat.“Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?” tanya Vela dengan kerut alis tak terdefinisikan.“Bukankah kamu bertanya, kenapa aku betah menjadi sahabatmu? Itulah jawaban dariku,” jawab Eridan sebelum menyunggingkan senyum simpul.“Hah?” Vela semakin heran. Setelah memutar bola matanya ke berbagai sudut, dahinya malah mengernyit.“Maksud kamu bagaimana? Aku enggak mengerti. Aku kan bertanya kenapa kamu betah menjadi sahabatku, bukan menjadi suami,” tutur wanita yang masih menyimpan sejuta tanya.Setelah mendesah ringan, Eridan pun berdiri. “Pulang, yuk! Kita harus packing. Besok, perjuangan kita kembali dimulai,” ajak sang suami sambil mengu