Hari jum'at yang Fiona nantikan akhirnya tiba. Tidak berbeda dengan hari-hari biasanya, hari ini masih sama cerahnya dengan hari-hari sebelumnya. Jam tiga sore saja bahkan masih terlihat cukup terik. Di dalam ruang kerjanya yang ber-AC, Fiona mulai menghubungi suaminya untuk mengetahui keberadaan pria itu. "Mas, kamu dimana?" tanya Fiona begitu sambungan telepon terhubung. [Lagi di jalan mau ke rumah Mbak Arum,]Fiona meneguk ludah samar. Sejak dia memikirkan rencana untuk hari ini, jantung Fiona terus berdetak di luar batas normal. Bagaimanapun ini pertama kalinya dia hendak mengeksekusi rencananya sendiri. "Oh, aku cuma mau ngasih tau aja sih, Mas. Aku datangnya agak telat. Mau ketemu klien dulu," izin Fiona. [Oh, yaudah!] Balasan singkat Mas Jaya tidak menimbulkan gelombang apapun di dalam hati Fiona. Begitu sambungan telepon terputus, Fiona segera mengirim pesan pada Igor bahwa hari ini dia izin pulang lebih awal. Ada misi penting yang harus dilakukan. "Gor, boleh izin pula
Fiona tiba di kediaman Mbak Arum ketika acara hampir selesai. Bahkan acara tiup lilin, dan makan-makan sudah berlalu. Hanya tersisa ibu-ibu dengan acara gibahannya. Fiona meringis terpaksa ketika dia tiba di hadapan Mbak Arum. "Maaf telat, Mbak" bisik Fiona tepat di samping telinga Mbak Arum. "Ini kado dari aku!" lanjut Fiona sambil menyerahkan sebuah kado yang dia bawa kepada Mbak Arum. " ... "Melihat aksi bisu Mbak Arum ini, Fiona hanya mendecih dalam hati. Di detik dia memergoki Mas Jaya selingkuh, sejak itu pula respect-nya untuk keluarga sang suami langsung menguap tak bersisa. Fiona yang dulu tidak akan tanggung-tanggung merogoh kocek cukup dalam setiap kali keponakan suaminya berulang tahun. Mainan seharga jutaan pun dia berikan dengan royal. Tapi sekarang dia tak sudi lagi. Meskipun anak-anak kecil itu tidak bersalah. Tapi tetap saja apa yang telah kerabat mereka lakukan padanya membuat Fiona tak ikhlas. Apalagi saat ini dia memiliki misi untuk mendapatkan kompensasi ata
Hari-hari berlalu seperti biasa. Sejak insiden di ulang tahun Daffa, baik Fiona maupun Mas Jaya tidak pernah lagi bertegur sapa. Pagi minggu yang cerah ini, Fiona hanya bisa menghabiskan hari dengan bermalas-malasan di dalam kamar. Dia tidak bisa mengajak Freya keluar jalan-jalan karena sahabatnya itu ada urusan keluarga. Adapun Naura dan Max, katanya mereka sedang pergi honeymoon. Entahlah, sejak sahabatnya yang satu ini menikah, dia jadi ketularan misterius sama seperti suaminya itu. Alhasil, waktu senggang yang Fiona miliki hanya bisa digunakan untuk merencanakan bagaimana lagi caranya membuat Mas Jaya dan Mbak Zoya menderita. Sambil sesekali berbalas pesan dengan Igor yang katanya sedang menemani ibunya ke salon. Adapun rencana Fiona kali ini adalah, dia akan pura-pura menjual rumah ini, mumpung rumah ini masih atas nama dirinya. Lalu setelah itu, biarkan mereka semua kembali tinggal bersama ibu Marni yang banyak aturan? Sepertinya akan seru melihat drama rumah tangga mereka.
Selesai dari pasar, Fiona masih terinfeksi oleh perasaan riang gembira atas rencana yang sudah tidak sabar untuk dia eksekusi besok. Belum lagi ada seratus lima puluh ribu sisa uang kembalian yang masuk ke dalam kantong pribadinya. "Lumayan buat beli bensin." ujar Fiona dengan gembira. "Kamu beruntung, Mas. Mood-ku sedang baik sekarang. Kalau tidak, mana mau aku kembali dengan kantong belanjaan ini!" dengus Fiona sembari terus melangkah dengan sedikit melompat-lompat disertai siulan kecil yang lolos dari bibirnya. Alasan lain dia kembali ke rumah dengan patuh adalah karena dia tidak ingin melewatkan tontonan menarik. Melihat bagaimana tidak bergairahnya Mas Jaya ketika menyambut keluarga Mbak Zoya cukup menjadi hiburan baginya. Apalagi jika berhubungan dengan paman Mbak Zoya yang tampaknya tidak memiliki tata krama itu membuat Fiona curiga. Dia tidak ingin melewatkan apapun. Ini adalah kesempatan baginya untuk mengamati secara langsung seperti apa keluarga Mbak Zoya ini. Mana tah
Fiona baru saja berbaring tengkurap di atas ranjang empuknya ketika sebuah pesan masuk muncul di layar ponselnya. [Masak cepat!]Isi pesan itu yang kemudian diikuti oleh notifikasi transfer uang sejumlah 2 juta ke akun m-bankingnya. "Cih!" Fiona mencibir. [Cepat!]Belum sempat Fiona beranjak dari kasurnya, pesan lain bernada menuntut kembali masuk ke ponselnya. Dengan sudut bibir yang miring karena sinis, Fiona tetap berjalan keluar dari kamar menuju dapur untuk memasak. Hari ini mata Fiona terbuka lebar. Dia baru tahu kalau pria ini memiliki cinta sebesar itu untuk Mbak Zoya. Hanya untuk menghormati mertuanya, pria pelit ini sampai rela merogoh kocek cukup dalam agar Fiona bersedia memasak untuk rombongan keluarga istri barunya itu. Dulu giliran dia aja, duit sejuta harus dihemat-hemat selama sebulan. Harusnya tadi dia minta lebih banyak! Fiona menggelengkan kepala geli pada diri sendiri. Demi menanti pertunjukan menarik, dia sampai rela memasak demi keluarga madunya itu. "Fio
"Hah? Hilang? Kok bisa?!" jerit paman Rusdi dengan berlebihan. Percikan ludah bahkan terlihat nyata terbang ke atas piring di depannya. Keributan yang disebabkan pria ini membuat nafsu makan semua orang lenyap seketika. 'Aelah, mau makan siang doang banyak bener lika-likunya.' dumel Fiona sambil meletakkan sendoknya di atas piring, dan terus mengikuti pertunjukan di depannya. "Kamu bohong, ya? Sengaja biar pamanmu ini tidak bisa meminjamnya?!" tuding paman Rusdi dengan marah. Dia bahkan sampai menunjuk-nunjuk Mbak Zoya dengan jari telunjuk bulatnya yang penuh dengan noda sambal. Zoya yang dituding dengan begitu tidak menyenangkan ingin menampar bibir pamannya ini. Satu kata lagi keluar dari mulut pria ini, Zoya yakin bahwa amarah yang sudah sampai di ubun-ubunya pasti akan meluap keluar. Braakk, Mas Jaya yang sejak tadi hanya bisa diam kini mulai kehilangan kesabaran. Dengan keras dia menggebrak meja makan hingga mengagetkan semua orang. "Tidak bisakah kita makan dengan tenang?
Keesokan hari, Zoya sedang bermalas-malasan di ruang keluarga sambil menonton televisi. Sekarang sudah ada ART yang mengerjakan pekerjaan rumah. Harusnya saat ini dia bisa pergi shopping atau ke salon untuk merawat diri. Tapi karena belum lama ini dia tertipu uang arisan karena ulah Fiona, mau tak mau dia harus berhemat. Dia tidak mau dianggap boros oleh Mas Jaya jika dia meminta uang lagi. "Assalamu'alaikum!" Ucapan salam yang datang dari luar membuat Zoya mendesah lelah. Suara akrab ini terdengar seperti bisikan kematian baginya. "Walaikumsalam!" jawab Zoya dengan ogah-ogahan. Dengan enggan dia kemudian beranjak dari sofa empuk yang dia duduki menuju pintu ruang tamu. "Kamu lama sekali buka pintunya!" sentak ibu mertuanya. " ... " Zoya tidak membalas. Dia hanya mempersilakan sang mertua masuk ke dalam rumah sambil mendumel dalam hati. Seandainya dia memiliki kegiatan lain di luar rumah, dia mungkin tidak akan sering-sering berhadapan dengan mertuanya ini. "Ibu dengar sekara
Jaya sangat menyadari bahwa setelah pernikahan keduanya ini, energi kehidupannya seperti disedot habis. Setiap hari pasti ada saja yang dikeluhkan oleh keluarganya. Mulai dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun dapat memicu perdebatan. Tak terkecuali hari ini, siang tadi dia mendapat telepon dari sang ibu yang mengeluh tentang istrinya. Dikatakan bahwa sang istri telah menghardiknya. "Mas, udah pulang?" sambut Zoya di teras rumah seperti biasanya. "Hm, tadi ibu ke sini?" tanya Jaya tanpa basa-basi sambil mengambil tempat duduk di kursi teras untuk membuka sepatunya. "Iya!" jawab Zoya singkat. "Ada apa lagi? Apa saja yang kalian obrolkan?" tanya Jaya dengan santai. Namun, istrinya itu tidak langsung menjawab. Hal ini membuat ruang di antara alis Jaya berkerut samar. Gelagat seperti ini selalu mendatangkan firasat buruk baginya. Dia paling benci disuruh memilih antara ibu atau istrinya. "Tidak bisakah kalian akur barang sehari aja sama ibu?" keluh Jaya sambil