Perceraian Fiona dan Mas Jaya berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Mungkin karena fokus Mas Jaya, dan keluarganya masih ada pada komplotan debt collector yang belum juga menemukan titik terang. Sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa rumah yang telah Fiona dan Mas Jaya tempati selama 3 tahun telah berubah kepemilikan. "Sampai ketemu lagi, Mas. Semoga kamu bahagia selalu!" ucap Fiona sambil menjabat tangan Mas Jaya sebelum mereka meninggalkan kantor Pengadilan Agama. "Kamu juga jangan lupa jaga kesehatan!" pungkas Mas Jaya sambil membalas jabatan tangan Fiona. Dia juga menyempatkan diri untuk menepuk ringan bahu Fiona, layaknya memberikan semangat pada teman lama. Fiona mengangguk pelan. "Sebenarnya aku punya hadiah terakhir buat kamu, Mas. Tapi aku lupa bawa. Aku kirim kapan-kapan aja, ya!" lanjut Fiona sambil menebarkan senyum menyegarkan. Mas Jaya mengangguk ringan. Wajahnya terlihat begitu bahagia hari ini. Dengan Mbak Zoya yang terus bergelendotan di sisi lengan yang satu
Wajah Jaya seketika membeku ketika melihat keramaian yang tidak diketahui sedang terjadi di depan rumah yang sempat dia tinggalkan untuk sementara waktu itu. Laju kendaraannya pun spontan melambat karena lalu lintas kompleks dipenuhi oleh dua buah truk besar. "Mas, ada apa ya?" tanya Zoya sambil meregangkan lehernya dengan tidak sabar. Hatinya diliputi sekelumit firasat buruk. " ... "Jaya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimana dia mau menjawab, jika dia saja tidak tahu menahu mengenai apa yang sekiranya sedang terjadi?Setelah mengambil tempat parkir tepat di belakang truk yang ternyata sedang mengangkut barang-barang itu, Jaya langsung berjalan ke arah rumahnya dengan langkah tergesa. Masalah apa lagi yang mungkin terjadi di rumah terkutuk ini? "Bu, apa yang sedang terjadi?" tanya Jaya pada seorang wanita yang dia tahu adalah tetangga rumahnya. "Loh, Nak Jaya!" sapa Ibu itu terlihat kaget. "Saya pikir Nak Jaya sudah tidak tinggal di rumah ini lagi. Ini loh ada orang pind
Ketika Jaya sedang dirundung malang, Fiona justru sedang fokus pada pekerjaannya. Sampai tiba-tiba ruangan yang semula hanya terdengar suara ketikan pada papan keyboard diinterupsi oleh dering telepon dari ponsel yang tergeletak tak berdaya di samping komputer. Dari sudut matanya, Fiona melirik nama mantan suami yang muncul pada layar teleponnya. Alis Fiona lantas berkedut pelan. Dia tidak tahu untuk alasan apa pria ini menghubunginya sekarang. Ini belum 24 jam sejak mereka resmi bercerai. Tidak mungkin pria itu sudah merindukannya, dan menyesal karena telah menceraikannya, bukan? Fiona tidak serta-merta mengangkat telepon itu. Biarkan saja mantan suaminya itu berpikir bahwa dia bukan lagi prioritas. Karena teleponnya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berdering setelah panggilan ketujuh, Fiona mau tak mau mengangkat telepon itu. "Halo?" sapanya dengan ramah. [Apa yang sudah kamu lakukan?!]Fiona harus menjauhkan telepon itu dari telinganya karena teriakan super menggele
Nafas linglung keluar dari hidung Zoya saat mereka kembali tiba di rumah mertua. Rumah yang lebih mirip seperti sarang penyihir daripada rumah yang seharusnya dijadikan tempat untuk berlindung. Zoya tidak mengambil langkah tergesa seperti Mas Jaya. Di situasi ini, dia hanya ingin menyamarkan aura keberadaannya agar tidak menjadi sasaran amuk sang mertua. "Muka kamu kusut banget. Ada apa?" tanya Ibu Marni dengan curiga ketika melihat wajah putranya yang lebih keruh dibandingkan dengan saat brangkas pentingnya hilang. "Perceraian kamu tidak berjalan lancar?"Jaya menghembuskan nafas keras. "Fiona sudah menjual rumah kami itu seharga 1 M," beritahu Jaya dengan kesal. Mata ibu Marni membola. "Apa?! Dia menjual rumah kamu seharga 1M? Berani sekali dia!" raungnya sambil menepuk sofa yang dia duduki dengan keras. Kepalanya kembali berdenyut menyakitkan. "Sekarang mana uang satu miliar itu?" "Dia tidak mau memberikannya padaku," keluh Jaya dengan kepala yang turut berdenyut pusing. "AP
Fiona yang sudah lama kembali fokus pada pekerjaannya kembali diganggu oleh suara telepon di atas meja. Namun, kali ini dia tidak menunda panggilan itu. Diraihnya gagang telepon yang tergeletak di atas meja itu. "Halo?" sapa Fiona dengan nada suara profesional. "Maaf, Bu Fiona. Seseorang yang bernama ibu Marni mencari ibu. Beliau sedang menunggu di lobi," jelas seseorang dari seberang. "Ibu Marni?" tanya Fiona untuk memastikan dia tidak salah dengar. "Iya, Ibu Marni!" jawab suara seorang pria di seberang dengan mantap. " ... "Alis Fiona berkedut pelan. "Dengan siapa dia datang ke sini?" tanyanya. "Dengan seorang remaja tanggung?" jawab orang itu terdengar sedikit tak yakin. "Mereka hanya berdua?" tanya Fiona lagi. "Iya!"Sudut bibir Fiona berkedut pelan. "Baiklah. Saya akan menemui mereka, tapi suruh mereka menunggu. Saya sedang meeting!" beritahu Fiona. "Baik, Bu!"Fiona mengembalikan gagang telepon itu sambil mencibir. "Heleh, udah kebaca banget kalau Mas Jaya pasti ngadu
PLAK, Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Fiona, hingga kepalanya terlempar ke kanan, dan telinganya berdenging. Fiona yang tidak pernah menyangka telapak tangan mertuanya suatu saat akan mendarat di pipinya seketika bengong untuk waktu yang lama. "Kamu itu menantu tidak berguna. Sudah tidak bisa memberikan anak. Sekarang dengan kurang ajarnya kamu juga menjual rumah anak saya?!" tembak Ibu Marni dengan sadis di depan dua orang resepsionis yang hanya bisa melirik takut-takut pada mereka. Fiona tidak langsung merespon. Kepalanya masih mencerna apa yang sedang terjadi. Pasalnya, ini baru kali pertama seseorang menyentuh kulitnya dengan cara yang begitu kasar. Mendiang orang tuanya saja tidak pernah menggunakan tamparan untuk mendidiknya. "Sekarang mana uang hasil penjualan rumah itu!" tagih ibu Marni sambil membentangkan telapak tangannya di depan wajah Fiona. Dia benar-benar tidak lagi peduli dengan kerumunan orang yang mulai tertarik oleh keributan yang dia ciptakan. "Bu ... "
"Sialan!" maki Fiona sembari melempar tas kerjanya di atas sofa ruang tamunya yang empuk. Fiona khusus menandai hari ini sebagai hari paling bersejarah dalam hidupnya. Karena untuk pertama kali dalam 30 tahun kehidupannya, Fiona baru merasakan bagaimana rasanya ditampar. "Sialan!" maki Fiona sekali lagi. sambil terus berjalan ke arah kamar mandi. Melalui pantulan bayangannya di cermin wastafel, Fiona bisa melihat pipi kirinya yang memerah, dan terlihat sedikit bengkak. "Kuat juga tenaganya!" dumel Fiona. Kali ini dia berjalan lurus ke arah dapur. Mengambil es batu dari kulkas untuk digunakan mengompres pipi kirinya yang masih sesekali meninggalkan sensasi berdenyut yang terasa panas. Sembari mengompres pipinya, Fiona bermain dengan ponselnya untuk memesan makanan online karena dia sedang malas memasak. Selama menunggu pesanannya tiba, Fiona juga menyempatkan diri untuk menonton adegan penamparan itu serta membaca komentar yang disematkan orang-orang atas kasusnya yang sedang dit
Malam ini, Fiona berdandan dengan totalitas. Karena acara reuni ini mengusung tema semi formal, Fiona memilih untuk mengenakan gaun selutut berwarna hitam segelap malam berbahan satin yang menjuntai mulus di tubuh rampingnya. Bibirnya disapukan lipstik sewarna merah darah yang menjadi warna favoritnya. Dia paling suka dilihat orang sebagai pribadi yang berani, dan tidak mudah diintimidasi seperti ini. "So gorgeous!" decak Igor yang malam ini akan berangkat bersamanya. Rambut sebahu Fiona digelung sederhana sehingga bisa mengekspos leher panjangnya yang menawan. Malam ini dia juga mengenakan kalung pemberian Igor untuk sedikit menyemarakkan penampilannya yang sederhana. Tidak lupa tas tangan yang hanya mampu menampung ponsel tergenggam dalam jemarinya. "Berangkat sekarang?" "Yuk. Jemput Freya dulu!" ajak Fiona. Igor menggulung matanya. "Aelah gagal romantis!" keluhnya setengah bercanda. Fiona hanya terkekeh pelan sebagai tanggapan. Mau bagaimana lagi, sahabatnya itu sudah mewanti