Share

Bab. 5. Air Ketuban.

Sungguh, kali ini harapan mereka sudah sirna. Adik satu-satunya itu telah berdusta untuk kesekian kalinya. Kebohongan demi kebohongan telah dia ciptakan sendiri. Lelaki yang masih berstatus suami itu tak menyadari, bahwa semua kebohongan itu telah membawanya ke dasar jurang kehancuran yang lebih dalam.

Dusta yang dia lontarkan itu sakit. Dusta yang kesekian kali telah diucapkan itu mampu memporak-porandakan kepercayaan adik iparnya. Dusta itu telah merusak rasa kepercayaan dari keluarga besarnya juga.

Berkali-kali Mak Suri mengucap kata istighfar dari bibirnya yang bergetar. Sekelebat bayangan beberapa hari yang lalu mulai mengganggu pikirannya. Mak Suri teringat kembali dengan sederet perkataan menantunya di dapur kala itu.

"Sabar, ya, Sayang. Mulai hari ini kita berjuang bersama-sama. Hanya kita yang akan berjuang dalam pertarungan ini. Ingat! Kalian jangan mengharapkan lelaki itu lagi. Kita akan melewati badai ini hingga garis finis. Mama masih mampu untuk merawat kalian dengan tangan sendiri. Kita lihat, Bang, siapa yang akan mengemis minta maaf akan ulahmu itu. Akan kupastikan kau takkan bertemu dengan darah dagingmu sendiri."

Sederet kalimat itu mampu mencabik-cabik tangisan Mak Suri. Walaupun perkataan itu sudah lama terucap, tapi masih mampu merobek air matanya hingga kini.

Satu harapan Mak Suri. Semoga Nana Sudrina menjadi Wanita tangguh setelah cobaan ini berakhir. Sudah banyak asam manis dan pahit kehidupan yang telah wanita itu terima. Sejak umur dua tahun, ia telah merasakan pahitnya berpisah dengan kedua orang tua kandungnya. 

♡♡♡♡♡

"Dengan keluarga Bu Nana."

Salah satu perawat di RS Awal Bros memanggil keluarga Nana. Lelaki berseragam biru itu berdiri di depan sebuah pintu berwarna coklat. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lorong di lantai dua. Terlihat ada beberapa keluarga pasien yang menunggu di lorong itu. Ada yang menunggu sambil berdiri, ada juga sebagian orang yang duduk dengan wajah kecemasan yang tersirat.

Sandi tergagap saat teriakan itu terucap kembali. Dia duduk di deretan kursi tunggu yang letaknya tak jauh dengan ruangan yang merawat Nana. Dia segera mengangkat bokong dari nyamannya kursi tunggu itu, menyeret langkahnya yang terasa berat, kemudian menghampiri perawat yang tengah memegang sebuah buku kecil berwarna hitam dan pena di kedua tangannya.

"Saya keluarganya, Mas. Bagaimana dengan keadaan adik saya? Apa dia baik-baik saja?" Sandi bertanya tanpa jeda.

Dia berdiri gelisah di depan perawat lelaki bername tag Bayu Purnama. Perawat itu tersenyum, lalu melihat catatan yang ada di sebelah tangan kirinya.

"Suaminya Bu Nana ada, Pak?" Perawat itu bertanya lagi sambil mengecek catatan buku di tangan.

Sandi tampak berpikir. Alasan apa yang harus dia berikan. Tentu tak mungkin mengungkapkan, bahwa suaminya tengah selingkuh di perantauan sana.

"Suaminya lagi kerja jauh, Mas. Jadi nggak bisa hadir hari ini. Memangnya ada apa dengan pasiennya, Mas? Apa keadaannya kritis?"

Akhirnya alasan itu yang dia pilih. Dia tak mau mengaku sebagai suaminya walau dalam keadaan terdesak. Menambah masalah baru tentu bukanlah jalan yang harus diambil. Walaupun rasa panik telah menyerang secara berlebihan, dia tetap harus berpikir jernih.

Bayu tampak berpikir. Dia sedikit ragu untuk menyampaikan suatu kalimat pada keluarga pasien yang dirawat di rumah sakit dimana dia bekerja.

"Saya butuh tanda tangan dari suami Bu Nana, Pak. Tanda tangan untuk penindakaan operasi cesar yang akan kami lakukan. Keadaan dua janin dalam kandungan Bu Nana harus segera dilakukan tindakan, agar ketiganya bisa selamat. Itu ikhtiar yang harus kami lakukan, Pak."

Dengan kalimat yang tersusun rapih, Bayu menerangkan tujuannya mencari suami Nana.

"Apa? Cesar? Apa keadaannya sedemekian kritis, Mas? Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Sandi tak sabaran.

Dia mulai takut dengan keadaan semuanya. Apa adik iparnya itu kuat untuk tindakan cesar itu.

"Tindakan cesar memang harus dilakukan, Pak. Itu untuk meminimalisirkan resiko yang akan kita terima. Dan salah satu dari penyebab itu, Bu Nana mengalami preeklamsia, dimana protein dalam kandungannya berlebihan. Kita tak bisa menunggu lagi, Pak."

Bayu menunjukkan catatan hasil tes darah milik Nana pada Sandi. Tes darah itu dilakukan sesaat Nana telah masuk dalam ruang rawatan.

"Apa nggak bisa normal, Mas? Nana ingin sekali melahirkan normal. Dia pasti akan terpukul sekali jika tak bisa melahirkan normal."

"Bu Nana mulai kehilangan tenaga, Pak. Tindakan ini harus segera dilakukan karena air ketubannya terus merembes keluar dan mulai menipis, jadi…."

"Bagaimana dengan pembukaannya, Mas? Apa tak ada kemajuan sama sekali?"

Sandi dan perawat itu menoleh serentak ke belakang. Mertua dari Nana itu sudah berdiri di belakang mereka. Dua lelaki beda usia itu menunjukan ekspresi yang berbeda. 

"Pembukaannya sudah mandek, Bu. karena pembukaan dan tenaganya tak mendukung untuk kelahiran normal." Perawat itu menerangkan lagi agar bisa di terima dengan baik oleh keluarga pasiennya.

"Lakukan saja yang terbaik, Mas! Saya bersedia untuk bertanda tangan di surat perjanjian itu. Saya mertua pasien, Mas." Mak Suri menjawab dengan pasti atas keputusan itu.

Rasanya memang berat untuk mengambil tindakan itu. Apalagi Nana pernah berucap, dia ingin sekali melahirkan normal apapun resikonya. Namun, Mak Suri tentu tak ingin meloloskan permintaan itu. Dia masih ingin Nana membesarkan buah hatinya, walau tanpa kehadiran sang suami. Maka dari itu, keselamatan ketiganya harus diutamakan.

🍁🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status