Share

Bab. 7. Pre Eklamsia

Lampu berwarna hijau itu telah padam sejak sepuluh menit yang lalu, namun belum ada satupun dari tim dokter yang keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Perasaan cemas mulai menggangu pikiran Sandi. Dia mulai tak sabar menunggu kabar dari dalam ruangan yang dipakai untuk berjuang antara hidup dan mati.

 

Sambil memejamkan mata, Sandi bersandar pada dinding dengan melipat kedua siku di dada. Jantungnya terus memompa dengan cepat. Rasa khawatirnya meningkat dengan pesat. Rasa sabarnya pun turut menipis karena pintu berlapis kaca itu tak kunjung terbuka. Ingin sekali dia mendobrak pintu kaca itu. Namun, itu jelas tak mungkin.

 

"Ckk, lama banget, sih! Nggak tahu apa yang nunggu diluar ini deg-degan banget." Sandi mulai berdecak kesal, dia kembali menegakkan punggungnya yang terasa pegal.

 

Berulang kali juga gerakan itu dia lakukan hanya untuk mengurangi rasa takut yang kian menggebu. Kembali dia berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi.

 

"Kenapa lama banget, sih, keluarnya! Cepat dong, Dok! Semoga saja mereka baik-baik saja, ya, Tuhan!" Sandi terus menggerutu.

 

Dia berusaha mengintip pintu kacanya tapi hasilnya nihil. Pandangannya tak bisa melihat apapun dengan yang terjadi dalam ruang operasi itu. Hanya derap langkah kaki yang tertangkap oleh pendengarannya.

 

"Ah, sial!" Lagi dan lagi, Sandi menggerutu kesal seraya menendang dinding ruangan itu dengan pelan.

 

"Dengan keluarga Bu Nana." Mendadak terdengar suara seseorang yang memanggil keluarga Iparnya. Serta merta Sandi menoleh, matanya membeliak saat melihat seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi.

 

Dia segera menghampiri seorang wanita yang tengah berdiri di depan ruang operasi. Rasa sedih tiba-tiba menelisik dadanya. Aroma khas yang keluar dari ruangan operasi itu masuk dalam indra penciumannya yang sensitif. Aroma khas ruang bersalin itu mengingatkan saat istrinya tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.

 

"Saya keluarga Bu Nana, Dok. Bagaimana hasil operasinya? Mereka baik-baik saja, kan? Bagaimana bayinya?" Tanpa rasa sabar, Sandi mencecar dokter itu dengan pertanyaan bertubi-tubi.

 

"Mari ikut saya ke ruangan praktek saya, Pak. Saya akan menjelaskan disana," ajak dokter bername tag dr. Irawati.

 

"Kenapa harus ke ruangan dokter. Jelaskan disini saja tidak apa-apa, Dok. Saya sudah nggak sabar ingin melihat bayinya." Sandi menolak ajakan itu.

 

Dia tak paham akan maksud dari ajakan itu. Sedangkan dokter Ira hanya menarik senyum pendek. Dia berusaha menjelaskan agar keluarga pasien bisa mengerti. 

 

"Lebih enak ngobrol diruangan saya, Pak. Akan banyak penjelasan yang harus bapak dengarkan disana. Disini tak akan nyaman. Banyak lalu lalang orang yang lewat." Kembali dokter Ira mengajaknya. Dia tentu tak mau banyak orang yang mendengar obrolan penting itu.

 

"Kenapa harus ke ruangan, Dok? Ada apa? Apa mereka tidak baik-baik saja?"

 

"Makanya itu ikut saya ke ruang praktek disana. Lebih cepat lebih baik karena waktu kita tidak banyak, Pak. Terima kasih." Tanpa menunggu jawaban dari Sandi, dokter Ira berbalik, lalu menyeret langkah menuju ke ruangannya.

 

Karena rasa sabar yang semakin menipis, Sandi menyusul dokter Ira untuk masuk ke ruangan yang ada di belakang loket pembayaran. Debaran jantungnya semakin cepat. Dia takut mendengar sesuatu yang buruk.

 

"Jadi begini, Pak ...," dokter Ira mulai menjelaskan. Dia menatap ragu pada Sandi yang menarik kursi ke belakang, lalu duduk di atasnya.

 

"Begini gimana, dok? Tolong jangan bertele-tele," tukas Sandi tak ingin membuang waktu.

 

"Begini, Pak ...." Dokter Ira menegakkan punggung. Dia membenarkan posisi duduknya. Debaran jantungnya ikut menaik karena tatapan Sandi tak kunjung berkedip.

 

"Dengan berat hati saya mau mengabarkan, bahwa Bu Nana mengalami koma pasca melahirkan. Beliau ...,"

 

"Apa, dok? Koma! Dokter jangan main-main, ya! Saya serius bertanya ini!" potong Sandi memutus kalimat penjelasan itu.

 

Deru napasnya kembali memburu. Dia tak sanggup mendengar kalimat buruk selanjutnya.

 

"Sabar, ya, Pak, kami paham kabar ini sangat menyakitkan. Kami juga sudah berusaha semampunya. Dengan berat hati kami sampaikan, bahwa Bu Nana mengalami koma karena preeklamsia yang dideritanya sewaktu hamil."

 

"Apa itu preeklamsia? Dokter jangan main-main sama saya!" Sandi menggebrak meja yang menghalangi jaraknya dengan dr. Ira.

 

"Sabar, Pak, sabar. Dengarkan penjelasan dokter dengan tenang, ya." Asisten dr.Ira ikut menimpal. Dia memegang sapu untuk berjaga-jaga. Takutnya Sandi gelap mata dan merusak ruangan praktek dokternya.

 

"Diam kamu! Jangan ikut campur!" Membeliak mata Sandi menatap asisten dr. Ira, yang membuatnya bersembunyi dibalik tirai yang ada di belakangnya.

 

"Tolong jaga emosi anda, Pak. Kita bisa jelaskan masalah ini baik-baik," ucap dr.Ira mencoba menenangkan.

 

"Sampai kapan koma itu berlanjut, Dok? Hanya sebentar, kan? Tolong jangan lama-lama dibuat koma pasien, itu, Dok. Dia harus segera sadar. Sudah lama dia mengharapakan bayi itu." Sekuat tenaga Sandi berpikir positif akan kabar itu.

 

Dia tak bisa membayangkan jika mamaknya tahu tentang kabar menantunya. Pasti hatinya hancur berantakan.

 

"Untuk itu saya belum bisa memastikan. Koma dari efek praeklamsia itu bisa lama dan juga bisa sebentar. Hanya keajaiban Tuhan yang bisa membantunya, Pak," jelas dokter Ira tak ada yang ditutupi.

 

"Preeklamsia itu apa, Dok? Dari tadi anda muter-muter nggak jelas! Jangan main-main sama emosi saya, Dok!"

 

"Saya akan jelas, kan, tapi Bapak tenang dulu."

 

"Jelas, kan, sekarang, Dok!"

 

"Iya, iya, preeklamsia itu kelebihan zat protein sewaktu mengalami kehamilan. Kelebihan zat protein itu bisa berakibat hipertensi tinggi dan kejang ketika akan melahirkan. Semoga saja Ibu Nana tidak kejang terus menerus pasca operasi, ya, Pak."

 

"Allahuakbar! Cobaan apalagi ini, Tuhan. Tak sayangkah kau sama Nana, Tuhan. Dia salah apa samamu, Tuhan. Kenapa cobaan dia banyak sekali!" Sandi mengusap wajahnya prustasi. Kembali hatinya koyak tak siap menerima kabar menyakitkan itu.

 

"Sabar, ya, Pak, kami akan berusaha semampu kami. Banyak yang mengalami kasus seperti ini, dan bisa pulih dengan cepat. Banyak berdoa, ya, Pak." Mati-matian dokter Ira menahan air matanya yang hendak keluar. Dia paham betul dengan perasaan keluarga pasien.

 

"Berapapun biayanya tolong selamatkan adik saya  ya, Dok. Kasihan hidupnya sudah menderita dari kecil. Bayi itu sangat dia tunggu dari lama. Jadi mohon selamatkan dia, ya, Dok."

 

"Saya akan berusaha semampu saya, itu janji saya pada anda, Pak." dr. Ira mengusap ujung netranya yang mulai mengeluarkan tetesan bening.

 

"Baik. Saya tunggu janji dokter. Terima kasih."

 

Membalik langkah tak sabar untuk keluar dari ruangan praktek dokter kandungannya Nana, Sandi membawa kabar buruk itu dengan hati hancur lebur. Sungguh bukan kabar itu yang dia harapkan.

 

Semoga saja mamaknya tak histeris.

.

.

"Bang gimana adikmu? Udah siap belum operasinya? Kau gak ada ngasih kabar sama Mamak." Mak Suri melirik lampu ruang operasi yang telah padam. Seketika tatapannya melebar. "Eh, itu lampunya udah mati. Mana adikmu? Sudah siap itu operasinya." 

 

Terburu-buru Mak Suri meletakkan mukenanya di kursi. Dia melangkah menuju ruang operasi yang sudah tertutup rapat. Sejak di mushola perasaanya tak tenang. Tanpa Mak Suri sadari, Sandi menatapnya dengan berlinangan air mata.

 

Sungguh tak kuat rasa hatinya untuk berkata jujur pada mamaknya. Entah apa yang terjadi jika mamaknya tahu yang sebenarnya.

 

"San, mana adikmu? Kenapa kau diam saja!" Mak Suri berbalik, memukul bahu anak sulungnya yang hanya menunduk tak bersuara.

 

"San, jawab! Mana adikmu? Kau jangan main-main sama Mamak, ya? Itu operasinya sudah siap, kan?" Pukulan itu berganti menjadi guncangan pada bahunya. Berkali-kali Mak Suri mengangkat wajah anak sulungnya, namun Sandi kembali menunduk.

 

Diamnya Sandi, membuat amarah Mak Suri semakin menjadi. Sekelebat bayangan buruk melintas di pikirannya.

 

Karena tak kuat lagi menahan rasa sedih itu sendirian, Sandi beranjak dari kursi, memeluk mamaknya dengan kuat, hingga memejamkan mata karena rasa sakit yang dia terima. Dia berharap dengan pelukan itu mamaknya bisa tenang.

 

"Lepas, Bang! Kenapa kau peluk Mamak? Lepas, hey! Ada apa?" Mak Suri semakin berontak. Sekuat tenaga dia ingin melepas pelukan itu.

 

"Tenang, Mak, tenang! Tenang, ya! Operasinya sudah siap dari tadi. Aku ...,"

 

"Aku apa? Terus mana adikmu? Mana?" Kedua lengan yang mengungkung bahunya, dia lepas dengan paksa. Tenaganya berkali-kali lipat menjadi lebih kuat.

 

"Nana...," Ragu-ragu Sandi mengatakan yang sebenarnya.

 

"Nana kemana, Bang? Jangan kau mainkan rasa sabar Mamak, ya!" hardik Mak Suri dengan tatapan nyalangnya.

 

"Jawab, Bang?"

 

"Nana koma di ICU, Mak. Dia koma. Dia nggak sadarkan diri setelah melahirkan. Nana koma, Mak." Meraung-raung Sandi menjelaskan itu semua.

 

Hatinya tak lagi mampu saat melihat mamaknya sudah banjir air mata.

 

"Apa, Bang? Koma. Kenapa bisa begitu? Tadi pagi dia masih baik-baik saja, Bang! Dia baik-baik saja! Dia sudah janji mau merawat anaknya bareng-bareng sama Mamak! Dia sudah janji, Bang! Mana dokternya, mana dia! Dia harus bertanggung jawab dengan semua itu!"

 

"Mak, tenang, Mak, tenang dulu! Dokter sudah berusaha semampu mereka! Mamak tenang, ya! Nana pasti kuat melewati ini semua. Tolong Mamak tenang, ya!"

 

Kembali Sandi memeluk Mamaknya. Hatinya hancur lebur karena cobaan itu datang silih berganti.

 

"Nana. Sadar kau Nak'e. Bangunlah. Anakmu sudah lahir itu," lirih Mak Suri dengan suara tak bertenaga. Dia merosot dari pelukan sandi, hingga memejamkan mata tak sadarkan diri.

 

"Mak, Mak, bangun, Mak! Mak, jangan pingsan! Bangun, Mak!" Sandi menggendong mamaknya, dan berlari menuju ke ruangan UGD. 

 

Dia berteriak memanggil dokter dan perawat untuk segera menangani mamaknya yang pingsan.

 

Dari dulu Sandi tak pernah menerima kata perselingkuhan. Baginya, perselingkuhan itu penyakit, yang akan menyebar jika dibiarkan.

 

Perselingkuhan itu ibarat benalu, yang akan memakan habis inangnya jika tak segera dibinasakan. Begitulah kejamnya perselingkuhan. Kau akan dibuat ketagihan, walaupun sudah mendapatkan yang diinginkan.

 

Berhati-hatilah ....

 

"Mak jangan mati dulu! Kita balaskan dendam ini dulu pada dia yang mengacaukan segalanya! Habis kau, Nang!"

  

 

Bersambung....

 

🍁🍁🍁🍁

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Rb
kurang gede koin nya...gila sampai 19koin utk satu bab?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status