"Keberhasilan apa yang kau maksud, Bas?" tanya Amber sembari menggeleng samar. "Tolonglah ... jangan berpura-pura bodoh. Langsung saja ucapkan terima kasih kepadaku dan yang lain. Kami tidak akan meminta bayaran," timpal Sebastian ringan. Tak kuat menanggung beban pertanyaan dalam benaknya, sang wanita pun mememejamkan mata rapat-rapat. "Tunggu dulu! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku dan Adam sungguh tidak tahu apa-apa. Kami baru mengaktifkan ponsel sekarang. Dan yang kami lihat sejak tadi hanyalah komentar dari para haters." Suasana mendadak hening sejenak. Sebastian tampaknya butuh waktu untuk mencerna keadaan. "Jadi, kau tidak tahu apa saja yang sudah kami lakukan?" "Ya!" sahut Amber dengan anggukan dalam. Mata bulatnya kini memancarkan ketegangan kepada Adam. "Kupikir kalian diam-diam memantau lewat komputer. Ternyata tidak?" gumam si penelepon seperti sedang bergelut dengan pikiran. "Tolong jangan bertele-tele, Tuan Evans. Ceritakan saja! Amber bisa ping
“Sebetulnya, kedatanganku kemari untuk membahas masalah itu. Suamiku marah besar dengan kelakuan kalian. Kredibilitas perusahaan menurun sejak merger dibatalkan,” aku Nyonya Lim sambil mengelus bros yang melekat di tasnya. “Apakah Tuan Lim akan tetap datang menjemput Amber?” terka Adam dengan suara yang agak direndahkan. Setelah mendesah berat, Nyonya Lim kembali mempertemukan pandangan. “Saat ini, dia masih sibuk mengurus perusahaan. Tapi begitu masalah itu selesai, dia pasti akan langsung bertindak.” Dalam keheningan, Adam membiarkan otaknya bekerja keras. Kekusutan yang harus diurainya telah bertambah runyam. “Sebenarnya, apa yang sedang dihadapi oleh Perusahaan Lim?” “Tidak ada. Hanya saja, suamiku bukanlah seseorang yang puas dengan pencapaian kecil. Dia membutuhkan jaringan dan modal besar untuk ekspansi ke negara-negara berkembang. Sekarang, obsesi tersebut malah menimbulkan masalah.” “Apakah masalah akan selesai jika dua hal itu sudah didapat?” selidik Adam seraya menaikk
"Papa?" desah Amber, tersedak oleh kengerian. Sebelum Tuan Lim bergerak, secepat mungkin ia merapatkan pintu lalu memutar kunci. "Amber, apa yang kau lakukan?" tanya sang ibu dengan nada heran. "Tidak! Aku tidak akan membiarkan Papa menyakiti Adam lagi!" seru sang putri dengan napas terengah-engah. Tangannya terentang memagari pintu, berjaga-jaga jika ada yang mendobrak masuk. Memahami ketakutan sang kekasih, Adam pun mengelus kepalanya lembut. "Tenang, Precious. Ayahmu pasti datang untuk menjemput ibumu, bukan mengajak ribut. Sekarang biarkan ibumu keluar." "Dan mengizinkan mereka masuk lalu menghajarmu hingga pingsan? Tidak!" Tiba-tiba, pintu diketuk lagi dari luar. Sedetik kemudian, suara Tuan Lim merambat melalui celah partikelnya. "Inikah caramu menghormati orang tuamu?" "Aku tidak mau menghormati orang yang tidak menghargai Adam," balas Amber dengan nada yang lebih tinggi. "Laki-laki itu mengubahmu menjadi durhaka, hm?" sindir sang ayah sebelum menggebrak pintu dengan t
"Kenapa Papa meninggalkan map itu?" desah Amber sambil berkedip-kedip menatap Adam. "Entahlah." Dengan kebingungan yang sama, sang pria mengambil map lalu meneliti berkas yang tadi tidak sempat ia baca. "Surat pengalihan aset dari Adam Smith kepada Amber Lim?" Mendengar keterangan tersebut, sang wanita sontak mendekat. Dengan mata bulat, ia memeriksa sendiri apa yang tertulis di sana. "Ini kesepakatan di antara kita? Bukan antara dirimu dengan perusahaan?" Selang satu desah cepat, Amber merebut berkas itu dan berlari keluar. "Papa!" Seketika, Tuan Lim menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Apa maksud dari semua ini? Tolong jelaskan!" seru Amber seraya mengangkat berkas di tangannya. Dengan tampang santai, sang ayah berbalik dan melipat tangan di balik pinggang. "Apa yang perlu dijelaskan? Semua sudah tertulis di dalam surat." "Papa mengalihkan kekayaan Adam kepadaku. Kenapa?" Selagi pria yang sedang dibicarakan meletakkan mantel di pundak Amber, Tuan Lim mende
Melihat nama Ruby di kotak masuk, napas Adam mendadak tertahan. Kekakuan menjalar membekukan sarafnya, sementara kegelisahan merambat menyelimuti hatinya. Setelah menelan ludah, barulah ia mampu mengalahkan ketegangan. “Aku juga tidak tahu mengapa perempuan ini mengirim pesan lagi,” ucapnya datar. “Apa kau mau membacanya?” tanya Amber sembari menoleh dengan tampang ragu. Selang keheningan sesaat, Adam menggeleng dan merebut mouse. "Dia sudah tidak penting lagi." Namun, tepat ketika pria itu hendak menghapus pesan secara permanen, Amber menahan tangannya. "Tunggu, Adam ...." Sang pria seketika bergeming dan mengerjap. Ia tidak menduga bahwa sang kekasih akan menghentikan aksinya. "Ada apa, Precious?" "Menurutku, menghapus pesan tidak akan menyelesaikan masalah. Perempuan itu masih akan terus berusaha menghubungimu," tutur Amber di sela kebimbangan. "Kau ingin aku membalasnya?" simpul Adam dengan mata terbelalak maksimal. Ia seperti sedang menyaksikan keajaiban. Sambil menggeng
Sambil tersenyum lebar, seorang balita berdasi kupu-kupu melempar bunga dari keranjang kecilnya. Setelah maju satu langkah, ia mengulangi gerakan itu dan tertawa kencang. "Mamamama ..." ocehnya sambil menatap wanita cantik di tepi karpet. Telunjuknya meruncing ke arah kelopak bunga di dekat sepatu mungilnya. "Benar. Kau hebat, Pangeran Kecil. Lakukan terus seperti itu sampai ke ujung sana," ujar sang ibu sambil menunjuk ke arah Adam. Memahami perintah itu, sang balita kembali memasukkan tangan ke dalam keranjang. Setelah menggenggam lebih banyak, ia melompat dan melempar dengan sekuat tenaga. Kelopak bunga pun berjatuhan menimpa kepala dan wajahnya. "Astaga .... Mengapa Cayden Evans sangat menggemaskan? Aku ingin membungkus dan membawanya pulang," ujar Freja sembari mengepalkan kedua tangan di samping wajah. "Kita beruntung bisa menyaksikan aksi lucunya secara langsung. Bukankah terakhir, dia melempar bunga untuk pernikahan paman dan bibinya?" timpal Ella tanpa menurunkan kam
"Cemburu?" Sebastian mengerutkan sebelah alis. Selang satu dengusan, barulah ia menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku sudah move on." "Yayayayaya," oceh Cayden seraya meruncingkan telunjuk ke arah sang paman. Alisnya terangkat tinggi seolah mengejek. Merasa diragukan, mata Sebastian pun membulat. "Kau tidak percaya padaku?" Sementara sang balita menutupi tawa dengan tangan, pria itu memutar posisi duduknya. "Ayolah, Cayden. Suatu saat nanti, kau akan mengerti bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan, tetapi dipertemukan. Kita tidak perlu menyia-nyiakan tenaga untuk mengejar seorang wanita yang bukan jodoh kita." "Jadi, kau sudah mengikhlaskan Amber?" simpul Gabriella tanpa berhenti mengelus kepala putranya. Tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu lagi, Sebastian meringis kecil. Sambil melipat tangan di depan dada, ia kembali menyandarkan punggungnya. "Kalau saja aku tahu kalian akan meledekku seperti ini, aku tidak akan membiarkan Amber menceritakannya kepada ka
Merasa cemas, Adam spontan menarik pinggang Amber untuk menempel padanya. Kemudian, sambil menaikkan alis, ia mengangkat dagunya sedikit. “Apakah ada yang salah? Ini hari pernikahan kami. Wajar saja jika kami terlihat mesra.” Mendapat respon semacam itu, Sebastian mendengus. Kakinya terhenti beberapa langkah di hadapan sang pengantin. “Tanpa mengumbar kemesraan pun, semua orang di sini tahu kalian sudah menikah. Kau yakin ciuman tadi hanyalah ungkapan kasih sayang? Bukan untuk memanas-manasiku?” Merasakan ketegangan di antara kedua pria itu, semua orang sontak bergeming. Tidak ada satu pun yang berani bergerak ataupun bersuara hingga tiba-tiba, Gabriella menjewer telinga sepupu suaminya itu. “Berhentilah menimbulkan masalah, Sebastian! Jangan membuat malu keluarga Evans. Sekarang, cepat ucapkan selamat kepada Amber dan Adam!” Dalam sekejap, si pembuat onar meringis dan memegangi tangan Gabriella. Kepalanya miring dan tubuhnya melengkung mengimbangi rasa sakit. “Ampun, Gaby! Aku h