Sambil tersenyum lebar, seorang balita berdasi kupu-kupu melempar bunga dari keranjang kecilnya. Setelah maju satu langkah, ia mengulangi gerakan itu dan tertawa kencang. "Mamamama ..." ocehnya sambil menatap wanita cantik di tepi karpet. Telunjuknya meruncing ke arah kelopak bunga di dekat sepatu mungilnya. "Benar. Kau hebat, Pangeran Kecil. Lakukan terus seperti itu sampai ke ujung sana," ujar sang ibu sambil menunjuk ke arah Adam. Memahami perintah itu, sang balita kembali memasukkan tangan ke dalam keranjang. Setelah menggenggam lebih banyak, ia melompat dan melempar dengan sekuat tenaga. Kelopak bunga pun berjatuhan menimpa kepala dan wajahnya. "Astaga .... Mengapa Cayden Evans sangat menggemaskan? Aku ingin membungkus dan membawanya pulang," ujar Freja sembari mengepalkan kedua tangan di samping wajah. "Kita beruntung bisa menyaksikan aksi lucunya secara langsung. Bukankah terakhir, dia melempar bunga untuk pernikahan paman dan bibinya?" timpal Ella tanpa menurunkan kam
"Cemburu?" Sebastian mengerutkan sebelah alis. Selang satu dengusan, barulah ia menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku sudah move on." "Yayayayaya," oceh Cayden seraya meruncingkan telunjuk ke arah sang paman. Alisnya terangkat tinggi seolah mengejek. Merasa diragukan, mata Sebastian pun membulat. "Kau tidak percaya padaku?" Sementara sang balita menutupi tawa dengan tangan, pria itu memutar posisi duduknya. "Ayolah, Cayden. Suatu saat nanti, kau akan mengerti bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan, tetapi dipertemukan. Kita tidak perlu menyia-nyiakan tenaga untuk mengejar seorang wanita yang bukan jodoh kita." "Jadi, kau sudah mengikhlaskan Amber?" simpul Gabriella tanpa berhenti mengelus kepala putranya. Tak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu lagi, Sebastian meringis kecil. Sambil melipat tangan di depan dada, ia kembali menyandarkan punggungnya. "Kalau saja aku tahu kalian akan meledekku seperti ini, aku tidak akan membiarkan Amber menceritakannya kepada ka
Merasa cemas, Adam spontan menarik pinggang Amber untuk menempel padanya. Kemudian, sambil menaikkan alis, ia mengangkat dagunya sedikit. “Apakah ada yang salah? Ini hari pernikahan kami. Wajar saja jika kami terlihat mesra.” Mendapat respon semacam itu, Sebastian mendengus. Kakinya terhenti beberapa langkah di hadapan sang pengantin. “Tanpa mengumbar kemesraan pun, semua orang di sini tahu kalian sudah menikah. Kau yakin ciuman tadi hanyalah ungkapan kasih sayang? Bukan untuk memanas-manasiku?” Merasakan ketegangan di antara kedua pria itu, semua orang sontak bergeming. Tidak ada satu pun yang berani bergerak ataupun bersuara hingga tiba-tiba, Gabriella menjewer telinga sepupu suaminya itu. “Berhentilah menimbulkan masalah, Sebastian! Jangan membuat malu keluarga Evans. Sekarang, cepat ucapkan selamat kepada Amber dan Adam!” Dalam sekejap, si pembuat onar meringis dan memegangi tangan Gabriella. Kepalanya miring dan tubuhnya melengkung mengimbangi rasa sakit. “Ampun, Gaby! Aku h
“Adam, jangan menyia-nyiakan tenagamu. Cepat turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri,” ujar Amber seraya menarik-narik mantel suaminya. Alih-alih menurut, pria itu malah terus berjalan menuju pondok. “Tidak bisa, Precious. Ini adalah hari spesial kita. Aku harus memberikan pelayanan ekstra untuk istriku tercinta.” “Kalau kau mau memberikan pelayanan ekstra, lakukan saja nanti malam. Sekarang, kau sebaiknya menghemat tenaga. Kau mengerti maksudku, bukan?” bisik Amber sebelum memasang senyum penuh arti. Mendengar nada menggoda tersebut, hati Adam pun tergelitik. Sambil tertawa samar, ia melirik dengan mata menyipit. “Kau tidak perlu khawatir, Precious. Aku sudah mempersiapkan banyak tenaga untuk hari ini. Sekarang, bersiaplah memasuki istana kita!” Sedetik kemudian, Adam mengangkat istrinya lebih tinggi. Tak menduga gerakan itu, Amber spontan memekik. “Adam, berhati-hatilah! Jangan lupakan bayi kita di dalam perutku!” “Tenang, Sayang. Aku tidak mungkin membiarkanmu jatuh. Sekarang
“Adam,” desah Amber sambil menegakkan punggung. Dengan mata bulat, ia berkedip-kedip tegang. “Sepertinya, seseorang sedang memata-matai kita.” Dalam sekejap, seluruh sel dalam tubuh Adam terisi oleh ketegangan. Dengan lengkung alis yang serupa, ia balas berbisik. “Kau tahu dari mana?” Lewat gerak bola mata, sang wanita menunjuk jendela di balik punggung suaminya. “Kurasa orang itu sedang merekam kita.” “Apakah sekarang juga masih?” Sang pria tidak berani menoleh ke belakang. Setelah memeriksa sekali lagi, Amber mengangguk. “Masih. Apa yang harus kita lakukan?” Tanpa terduga, Adam beranjak dan menempelkan bibirnya ke telinga sang istri. “Kau tunggu saja di sini dan berpura-puralah tidak tahu. Aku akan diam-diam menyergapnya.” Dengan raut tegang, Amber membiarkan Adam berjalan menuju dapur. Ia tahu suaminya itu pasti berencana keluar lewat jendela belakang. “Semoga itu bukan orang jahat. Semoga tidak ada bahaya yang mengancam Adam.” Bibirnya terus membisikkan doa hingga tiba-tiba
“Lihatlah, Adam! Sekarang, seluruh dunia tahu apa model lingerie terbaruku. Kenapa kau mengangkatnya setinggi itu?” gerutu Amber saat melihat foto yang viral di media-media orang dewasa. “Aku tidak tahu kalau perempuan serakah itu masih berani merekam kita,” sahut Adam tanpa dosa. Sedetik kemudian, ia merangkul wanita yang duduk menghadap komputer itu. “Sudahlah, jangan marah! Setidaknya, dia tidak menyebarkan video kita di sofa. Kau tahu kalau itu sangat panas, bukan?” Amber sontak melirik dengan alis berkerut. Sebagian kekesalannya telah tergantikan oleh kecemasan. “Menurutmu, apakah mungkin dia sedang menunggu pihak yang berani membayar mahal untuk video kita?” “Kau berpikir kalau perempuan serakah itu sungguh merekam momen itu?” tanya Adam sambil memundurkan kepala. “Aku hanya bercanda, Precious. Dia bisa terjerat kasus pornografi jika menyebarkan video kita.” “Itu mungkin saja terjadi. Dia tipikal orang yang menghalalkan segala cara demi mendapat keuntungan,” tutur Amber seray
Adam membuka pintu kamar sepelan mungkin lalu mengintip. Senyum jail sedang menghiasi wajahnya. Ia telah menyiapkan sebuah lingerie merah di balik sweaternya. Namun, begitu mendapati Amber sedang kesulitan menutup koper, niat untuk mengusili sang istri langsung buyar. “Kau sudah selesai berkemas?” Amber sontak menoleh dengan mata bulat. Tangan yang semula menekan koper pun terangkat ke udara. “Adam? Kapan kau membuka pintu?” Sambil mengulum senyum, laki-laki bertubuh kekar itu meraih pinggang istrinya. “Apakah kau terkejut?” “Ya, sedikit.” Amber mengangguk sambil berkedip lambat. Gemas melihat ekspresi lucu itu, Adam pun mendaratkan kecupan hangat di kening. Kemudian, selama beberapa saat, mata hijaunya memandangi sang istri lekat-lekat. “Kau pasti terlalu serius melamunkan rencana bulan madu kita ini.” Seketika, lengkung manis terbit di wajah Amber. Sekali lagi, ia mengangguk sambil menurunkan kelopak matanya. “Eng, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang harus
“Kenapa kau datang kemari?” tanya Amber dengan nada tak senang. Matanya melotot dan alisnya berkerut. Kedua tangannya terkepal erat menggenggam emosi. Ia sudah bertekad untuk tidak menunjukkan kegentaran meskipun ketegangan masih menjerat tubuhnya.“Ada yang harus kubicarakan dengan Adam. Apakah dia ada di dalam?” sahut Ruby santai. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh sikap sinis sang nyonya rumah.Sementara itu, napas Amber malah semakin bergemuruh. Ketenangan sang tamu telah menambah tekanan dalam hati. Belum lagi koper yang terlihat begitu penuh. Firasat buruk sudah tidak terelakkan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu menyakiti Adam lagi?” Tiba-tiba, Amber melangkah maju dan meruncingkan telunjuk. “Tukang selingkuh sepertimu tidak layak mendapatkan perhatian dari Adam. Sekarang juga, cepat pergi dari sini!”Bukannya angkat kaki, Ruby malah tertunduk dan menutupi tawa kecilnya dengan tangan. Setelah kegeliannya mereda, ia menyunggingkan senyum tipis dan memiringkan kepala. “Tolon