“Lihatlah, Adam! Sekarang, seluruh dunia tahu apa model lingerie terbaruku. Kenapa kau mengangkatnya setinggi itu?” gerutu Amber saat melihat foto yang viral di media-media orang dewasa. “Aku tidak tahu kalau perempuan serakah itu masih berani merekam kita,” sahut Adam tanpa dosa. Sedetik kemudian, ia merangkul wanita yang duduk menghadap komputer itu. “Sudahlah, jangan marah! Setidaknya, dia tidak menyebarkan video kita di sofa. Kau tahu kalau itu sangat panas, bukan?” Amber sontak melirik dengan alis berkerut. Sebagian kekesalannya telah tergantikan oleh kecemasan. “Menurutmu, apakah mungkin dia sedang menunggu pihak yang berani membayar mahal untuk video kita?” “Kau berpikir kalau perempuan serakah itu sungguh merekam momen itu?” tanya Adam sambil memundurkan kepala. “Aku hanya bercanda, Precious. Dia bisa terjerat kasus pornografi jika menyebarkan video kita.” “Itu mungkin saja terjadi. Dia tipikal orang yang menghalalkan segala cara demi mendapat keuntungan,” tutur Amber seray
Adam membuka pintu kamar sepelan mungkin lalu mengintip. Senyum jail sedang menghiasi wajahnya. Ia telah menyiapkan sebuah lingerie merah di balik sweaternya. Namun, begitu mendapati Amber sedang kesulitan menutup koper, niat untuk mengusili sang istri langsung buyar. “Kau sudah selesai berkemas?” Amber sontak menoleh dengan mata bulat. Tangan yang semula menekan koper pun terangkat ke udara. “Adam? Kapan kau membuka pintu?” Sambil mengulum senyum, laki-laki bertubuh kekar itu meraih pinggang istrinya. “Apakah kau terkejut?” “Ya, sedikit.” Amber mengangguk sambil berkedip lambat. Gemas melihat ekspresi lucu itu, Adam pun mendaratkan kecupan hangat di kening. Kemudian, selama beberapa saat, mata hijaunya memandangi sang istri lekat-lekat. “Kau pasti terlalu serius melamunkan rencana bulan madu kita ini.” Seketika, lengkung manis terbit di wajah Amber. Sekali lagi, ia mengangguk sambil menurunkan kelopak matanya. “Eng, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang harus
“Kenapa kau datang kemari?” tanya Amber dengan nada tak senang. Matanya melotot dan alisnya berkerut. Kedua tangannya terkepal erat menggenggam emosi. Ia sudah bertekad untuk tidak menunjukkan kegentaran meskipun ketegangan masih menjerat tubuhnya.“Ada yang harus kubicarakan dengan Adam. Apakah dia ada di dalam?” sahut Ruby santai. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh sikap sinis sang nyonya rumah.Sementara itu, napas Amber malah semakin bergemuruh. Ketenangan sang tamu telah menambah tekanan dalam hati. Belum lagi koper yang terlihat begitu penuh. Firasat buruk sudah tidak terelakkan. “Kau pikir aku akan membiarkanmu menyakiti Adam lagi?” Tiba-tiba, Amber melangkah maju dan meruncingkan telunjuk. “Tukang selingkuh sepertimu tidak layak mendapatkan perhatian dari Adam. Sekarang juga, cepat pergi dari sini!”Bukannya angkat kaki, Ruby malah tertunduk dan menutupi tawa kecilnya dengan tangan. Setelah kegeliannya mereda, ia menyunggingkan senyum tipis dan memiringkan kepala. “Tolon
“Precious ....” Adam mencoba untuk menangkap tangan Amber, tetapi gagal. Istrinya itu sudah lebih dulu melesat, meninggalkannya bersama kepedihan dan penyesalan. “Moonstone, kita harus bicara,” ujar Ruby sontak memancing tatapan sinis dari Adam. “Jangan sebut nama itu lagi! Kau adalah masa laluku. Kita tidak seharusnya bertemu lagi.” Usai menghardik, pria itu masuk mengambil dua mantel. Sambil mengenakan miliknya, ia berjalan melewati sang kakak ipar. Tanpa terduga, Ruby berani menahan langkahnya. “Adam, tolong dengarkan aku dulu!” Merasa risih, Adam menyentak lengannya hingga lolos dari genggaman. Ia tidak peduli jika sang mantan kecewa. Hatinya terlalu panas dan gerah. Tanpa menoleh ke belakang, ia bergegas menuju danau. Begitu melihat Amber duduk memeluk lutut menghadap hamparan es yang tertutupi salju, kekesalannya langsung mereda. Sambil memupuk iba, ia meletakkan mantel di pundak yang bergetar menahan isakan. “Kenapa kau malah lari? Padahal, aku berharap kau melindungiku
“Kau sungguh akan mengusirnya? Kau janji?” Mendengar pertanyaan yang penuh harap tersebut, Adam mengembangkan senyum. Sambil mengangguk, ia mulai membelai kepala sang istri. “Ya. Kau tenang saja. Tapi, kurasa itu tidak perlu. Lihatlah! Dia sudah pergi.” Amber sontak menoleh ke depan. Tidak ada lagi perempuan ataupun koper di depan pintu. Namun, bukannya gembira, ia malah berlari memasuki pondok. Begitu melihat ke dalam, kedongkolan kembali meredupkan wajahnya. Ruby sedang duduk di sofa sambil membalik-balikkan sebuah album. “Berani-beraninya kau masuk tanpa izin!” Dengan tampang datar, tamu yang tak diundang itu menoleh ke pintu. Belum sempat ia merespon, Amber sudah lebih dulu merebut album dari tangannya. “Kau bahkan berani menyentuh foto-foto pernikahan kami?” Selang satu helaan napas, sang nyonya rumah berjalan menghampiri suaminya yang baru saja tiba di pintu. “Lihatlah, Adam! Kau bilang dia tahu sopan santun. Buktinya? Dia seenaknya masuk ke rumah kita dan bahkan membon
Adam bergeming melihat Amber berbaring memunggunginya. Kesedihan terpancar jelas dari pundak yang gemetar itu. Berapa kali sang istri menyeka wajah, sebanyak itu pula hatinya dihujam oleh rasa bersalah. Ketika rasa itu tidak lagi tertahan, ia pun naik ke tempat tidur dan mendekap Amber dari belakang. "Sejak kapan istriku berubah jadi cengeng begini?" ledeknya sebelum membenamkan kecupan di pundak. "Kenapa kau di sini? Pergilah! Urus saja mantan kekasihmu itu. Dia lebih penting daripada aku," timpal Amber sembari menyikut lengan yang membungkus tubuhnya. Bukannya mundur, Adam malah menempelkan dagu di pundak wanita sensitif itu. "Kau jauh lebih penting, Precious. Karena itulah, aku di sini bersamamu." "Tapi kau ingkar janji. Kau membiarkan si Rambut Mencolok itu menggagalkan rencana bulan madu kita!" Amber menatap sang suami sinis lewat ekor matanya. "Bukankah kau sendiri yang membatalkannya?" bisik Adam tanpa berpikir panjang. "Ya, tapi itu karena perempuan sok lugu itu! Dia
Langkah Amber melambat saat matanya menangkap kesibukan Ruby di dapur. Wanita itu beberapa kali memindahkan peralatan dari meja ke wastafel. Setelah menyisakan strawberry cake dan dua kotak bekal, ia mulai mengelap dengan lincah. “Apa yang kau lakukan?” tanya Amber tak senang. Dengan tergesa-gesa, ia pergi memeriksa. “Hai!” sapa Ruby membuatnya tersentak. Sejak kapan si Rambut Mencolok itu berubah ramah? “Urusan kalian sudah selesai? Aku bingung harus melakukan apa. Daripada membuang waktu, kubuatkan saja lasagna sebagai tanda terima kasihku.” Dengan raut curiga, Amber mengikuti arah telunjuk yang runcing itu. Ternyata, oven baru Adam sedang menyala. “Kau bisa membuat lasagna?” desahnya spontan. “Bukankah itu mudah? Kita tinggal memanggang pasta yang diisi dengan daging, saus, bumbu, dan keju.” Mulut Amber sontak terkatup rapat. Ia tidak menduga kalau musuhnya itu pandai memasak. Tak ingin menampakkan rasa insecure-nya, ia pun berkacak pinggang dan meninggikan dagu. “Kenapa kau
“Tunggu dulu!” Amber menghalangi Adam yang hendak membuka pintu. Sedetik kemudian, telunjuknya mengarah pada sweater yang menggulung di dada suaminya. “Betulkan dulu pakaianmu! Aku tidak mau si Rambut Mencolok itu memandangi otot-otot itu.” Sambil mendesah tak percaya, Adam mematuhi perintah sang istri. Begitu sweater terpasang sempurna di tubuhnya, ia merentangkan tangan. “Sekarang, apakah sudah boleh?” Tanpa terduga, Amber mengaitkan tangan pada sebelah lengannya. “Sudah.” Seraya tersenyum simpul, Adam pun membuka pintu. Dua detik kemudian, Ruby telah berdiri dengan tangan menggenggam ponsel di hadapan mereka. “Maaf mengganggu. Tapi, bolehkah aku meminta password wifi?” “Memangnya kau ingin menghubungi siapa? Bukankah kau tidak punya teman? Kau bahkan harus menumpang di rumah mantan karena tidak ada yang mau berbagi tempat tinggal denganmu,” balas Amber ketus. Melihat Adam tidak merespon apa-apa, Ruby tersenyum kecut. “Ada beberapa orang teman yang jarang kuhubungi. Kupikir,