“Precious ....” Adam mencoba untuk menangkap tangan Amber, tetapi gagal. Istrinya itu sudah lebih dulu melesat, meninggalkannya bersama kepedihan dan penyesalan. “Moonstone, kita harus bicara,” ujar Ruby sontak memancing tatapan sinis dari Adam. “Jangan sebut nama itu lagi! Kau adalah masa laluku. Kita tidak seharusnya bertemu lagi.” Usai menghardik, pria itu masuk mengambil dua mantel. Sambil mengenakan miliknya, ia berjalan melewati sang kakak ipar. Tanpa terduga, Ruby berani menahan langkahnya. “Adam, tolong dengarkan aku dulu!” Merasa risih, Adam menyentak lengannya hingga lolos dari genggaman. Ia tidak peduli jika sang mantan kecewa. Hatinya terlalu panas dan gerah. Tanpa menoleh ke belakang, ia bergegas menuju danau. Begitu melihat Amber duduk memeluk lutut menghadap hamparan es yang tertutupi salju, kekesalannya langsung mereda. Sambil memupuk iba, ia meletakkan mantel di pundak yang bergetar menahan isakan. “Kenapa kau malah lari? Padahal, aku berharap kau melindungiku
“Kau sungguh akan mengusirnya? Kau janji?” Mendengar pertanyaan yang penuh harap tersebut, Adam mengembangkan senyum. Sambil mengangguk, ia mulai membelai kepala sang istri. “Ya. Kau tenang saja. Tapi, kurasa itu tidak perlu. Lihatlah! Dia sudah pergi.” Amber sontak menoleh ke depan. Tidak ada lagi perempuan ataupun koper di depan pintu. Namun, bukannya gembira, ia malah berlari memasuki pondok. Begitu melihat ke dalam, kedongkolan kembali meredupkan wajahnya. Ruby sedang duduk di sofa sambil membalik-balikkan sebuah album. “Berani-beraninya kau masuk tanpa izin!” Dengan tampang datar, tamu yang tak diundang itu menoleh ke pintu. Belum sempat ia merespon, Amber sudah lebih dulu merebut album dari tangannya. “Kau bahkan berani menyentuh foto-foto pernikahan kami?” Selang satu helaan napas, sang nyonya rumah berjalan menghampiri suaminya yang baru saja tiba di pintu. “Lihatlah, Adam! Kau bilang dia tahu sopan santun. Buktinya? Dia seenaknya masuk ke rumah kita dan bahkan membon
Adam bergeming melihat Amber berbaring memunggunginya. Kesedihan terpancar jelas dari pundak yang gemetar itu. Berapa kali sang istri menyeka wajah, sebanyak itu pula hatinya dihujam oleh rasa bersalah. Ketika rasa itu tidak lagi tertahan, ia pun naik ke tempat tidur dan mendekap Amber dari belakang. "Sejak kapan istriku berubah jadi cengeng begini?" ledeknya sebelum membenamkan kecupan di pundak. "Kenapa kau di sini? Pergilah! Urus saja mantan kekasihmu itu. Dia lebih penting daripada aku," timpal Amber sembari menyikut lengan yang membungkus tubuhnya. Bukannya mundur, Adam malah menempelkan dagu di pundak wanita sensitif itu. "Kau jauh lebih penting, Precious. Karena itulah, aku di sini bersamamu." "Tapi kau ingkar janji. Kau membiarkan si Rambut Mencolok itu menggagalkan rencana bulan madu kita!" Amber menatap sang suami sinis lewat ekor matanya. "Bukankah kau sendiri yang membatalkannya?" bisik Adam tanpa berpikir panjang. "Ya, tapi itu karena perempuan sok lugu itu! Dia
Langkah Amber melambat saat matanya menangkap kesibukan Ruby di dapur. Wanita itu beberapa kali memindahkan peralatan dari meja ke wastafel. Setelah menyisakan strawberry cake dan dua kotak bekal, ia mulai mengelap dengan lincah. “Apa yang kau lakukan?” tanya Amber tak senang. Dengan tergesa-gesa, ia pergi memeriksa. “Hai!” sapa Ruby membuatnya tersentak. Sejak kapan si Rambut Mencolok itu berubah ramah? “Urusan kalian sudah selesai? Aku bingung harus melakukan apa. Daripada membuang waktu, kubuatkan saja lasagna sebagai tanda terima kasihku.” Dengan raut curiga, Amber mengikuti arah telunjuk yang runcing itu. Ternyata, oven baru Adam sedang menyala. “Kau bisa membuat lasagna?” desahnya spontan. “Bukankah itu mudah? Kita tinggal memanggang pasta yang diisi dengan daging, saus, bumbu, dan keju.” Mulut Amber sontak terkatup rapat. Ia tidak menduga kalau musuhnya itu pandai memasak. Tak ingin menampakkan rasa insecure-nya, ia pun berkacak pinggang dan meninggikan dagu. “Kenapa kau
“Tunggu dulu!” Amber menghalangi Adam yang hendak membuka pintu. Sedetik kemudian, telunjuknya mengarah pada sweater yang menggulung di dada suaminya. “Betulkan dulu pakaianmu! Aku tidak mau si Rambut Mencolok itu memandangi otot-otot itu.” Sambil mendesah tak percaya, Adam mematuhi perintah sang istri. Begitu sweater terpasang sempurna di tubuhnya, ia merentangkan tangan. “Sekarang, apakah sudah boleh?” Tanpa terduga, Amber mengaitkan tangan pada sebelah lengannya. “Sudah.” Seraya tersenyum simpul, Adam pun membuka pintu. Dua detik kemudian, Ruby telah berdiri dengan tangan menggenggam ponsel di hadapan mereka. “Maaf mengganggu. Tapi, bolehkah aku meminta password wifi?” “Memangnya kau ingin menghubungi siapa? Bukankah kau tidak punya teman? Kau bahkan harus menumpang di rumah mantan karena tidak ada yang mau berbagi tempat tinggal denganmu,” balas Amber ketus. Melihat Adam tidak merespon apa-apa, Ruby tersenyum kecut. “Ada beberapa orang teman yang jarang kuhubungi. Kupikir,
“Keluar kau!” hardik Adam menggetarkan nyali Ruby. Baru kali ini sang pria berteriak sekencang itu tepat di depan mukanya. “Kau membentakku?” gumamnya kebingungan. Keringat dingin tanpa sadar mulai keluar dari pori-pori. “Aku sudah cukup sabar menghadapimu. Tapi kau masih saja berusaha merusak hubungan kami. Sekali lagi kau menghasut istriku, aku tidak akan segan menendangmu keluar dari pondok ini!” Dengan gerak cepat, Adam membuka pintu lebih lebar. Telunjuknya meruncing ke arah luar. “Sekarang juga, tinggalkan kami!” Ruby bergeming menatap sang mantan. Wajahnya memucat, sedangkan matanya memerah. Ia masih tidak percaya bahwa pria yang dulu selalu lembut kepadanya bisa bersikap sekasar itu. “Cepat!” Adam menggertak lebih kencang. Sambil menyeka air mata yang lolos dari batas, Ruby berlari keluar ruangan. Ia tidak tahu apakah rencananya berhasil atau tidak. Ia tidak peduli lagi dengan respon Amber. Hatinya terlampau perih mengetahui Adam sudah benar-benar berubah. Sementara
“Adam?” desah Ruby seolah terkejut. Tanpa menutupi satu pun bagian dari tubuhnya, ia berjalan mendekat. “Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku ingin ganti baju, tapi ternyata, pakaian dalamku terselip entah di mana.” “Kenapa kau tidak mencarinya dulu sebelum membuka baju? Kau sengaja ingin menggodaku, hmm?” bisik Adam penuh penekanan. Matanya melotot dan tangannya terkepal erat. Ia takut, dirinya lepas kendali melihat keindahan itu. “Oh, itu ....” Tiba-tiba saja, Ruby menggenggam tangan Adam dan memasang tampang memelas. “Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Ini musim dingin. Mana mungkin aku berlama-lama melepas pakaian?” Sambil mengalihkan pandangan, Adam menyentak tangannya lolos dari sang mantan. Ia benar-benar risih dengan kelakuan Ruby. “Apa pun rencanamu, kau tidak akan bisa menyingkirkan posisi Amber. Dan asal kau tahu, tubuhmu ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan istriku.” Sedetik kemudian, pria itu bergegas menuju dapur. Bisa gawat jika Amber tiba-tiba kelu
Melihat Adam sibuk memindahkan potongan kayu ke dalam tas, Ruby tanpa sadar melebarkan senyum. Ia tidak pernah menduga bahwa mantan kekasihnya bisa berubah sedrastis itu. Adam kini jauh lebih kekar dari Ed, jauh lebih dewasa, dan juga jauh lebih menggoda. Poin terakhir itu membuat Ruby tak segan mendekat dan menyentuh lengannya. “Apa kau butuh bantuan?” Adam spontan berbalik dan terbelalak. Ia tidak percaya bahwa sang mantan berani mengikutinya. “Ruby, apa yang kau lakukan di sini?” bisiknya seolah Amber berada di dekat mereka. “Aku merasa tidak berguna jika duduk diam saja. Jadi, bukankah lebih baik kalau aku membantumu?” Dengan santai, Ruby berjalan menuju tumpukan kayu. Namun, sebelum ia sempat menyentuh, Adam sudah lebih dulu menyentaknya mundur. “Cepat keluar dari sini! Aku tidak butuh bantuanmu. Amber bisa salah paham kalau melihatmu di sini bersamaku, sekalipun niatmu memang membantu.” Alih-alih menanggapi, Ruby malah memperhatikan tangan yang masih menggenggam lengan