“Adam?” desah Ruby seolah terkejut. Tanpa menutupi satu pun bagian dari tubuhnya, ia berjalan mendekat. “Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku ingin ganti baju, tapi ternyata, pakaian dalamku terselip entah di mana.” “Kenapa kau tidak mencarinya dulu sebelum membuka baju? Kau sengaja ingin menggodaku, hmm?” bisik Adam penuh penekanan. Matanya melotot dan tangannya terkepal erat. Ia takut, dirinya lepas kendali melihat keindahan itu. “Oh, itu ....” Tiba-tiba saja, Ruby menggenggam tangan Adam dan memasang tampang memelas. “Aku sungguh tidak bermaksud begitu. Ini musim dingin. Mana mungkin aku berlama-lama melepas pakaian?” Sambil mengalihkan pandangan, Adam menyentak tangannya lolos dari sang mantan. Ia benar-benar risih dengan kelakuan Ruby. “Apa pun rencanamu, kau tidak akan bisa menyingkirkan posisi Amber. Dan asal kau tahu, tubuhmu ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan istriku.” Sedetik kemudian, pria itu bergegas menuju dapur. Bisa gawat jika Amber tiba-tiba kelu
Melihat Adam sibuk memindahkan potongan kayu ke dalam tas, Ruby tanpa sadar melebarkan senyum. Ia tidak pernah menduga bahwa mantan kekasihnya bisa berubah sedrastis itu. Adam kini jauh lebih kekar dari Ed, jauh lebih dewasa, dan juga jauh lebih menggoda. Poin terakhir itu membuat Ruby tak segan mendekat dan menyentuh lengannya. “Apa kau butuh bantuan?” Adam spontan berbalik dan terbelalak. Ia tidak percaya bahwa sang mantan berani mengikutinya. “Ruby, apa yang kau lakukan di sini?” bisiknya seolah Amber berada di dekat mereka. “Aku merasa tidak berguna jika duduk diam saja. Jadi, bukankah lebih baik kalau aku membantumu?” Dengan santai, Ruby berjalan menuju tumpukan kayu. Namun, sebelum ia sempat menyentuh, Adam sudah lebih dulu menyentaknya mundur. “Cepat keluar dari sini! Aku tidak butuh bantuanmu. Amber bisa salah paham kalau melihatmu di sini bersamaku, sekalipun niatmu memang membantu.” Alih-alih menanggapi, Ruby malah memperhatikan tangan yang masih menggenggam lengan
“Ini sungguh tidak adil,” desah Ruby sebelum tertunduk dan menggenggam kemarahan seerat-eratnya. “Aku selalu mencintai dengan tulus. Tapi mengapa kalian tidak pernah menghargaiku.” “Jangan memutarbalikkan fakta, Perempuan Gila. Kau tidak mencintai suamiku dengan tulus. Yang kau inginkan hanya perlindungan,” sanggah Amber diiringi tawa remeh. Tiba-tiba, Ruby kembali menegakkan kepala dan berteriak. “Diam! Kau tidak tahu apa-apa tentang kami!” “Kaulah yang tidak mengerti kebenaran. Kau mengatakan kalau aku hanyalah pelarian Adam. Padahal kenyataannya, kau sendiri yang berlari kepadanya untuk bersembunyi dari kenyataan.” Tangan Ruby sontak melayang menuju pipi Amber. Namun, sebelum jemari itu mendarat, Adam sudah lebih dulu menepisnya. Pria itu memang sudah bersiaga sejak awal. “Beraninya kau menyakiti istriku! Kau sudah melewati batas, Ruby. Sekarang juga, kemas semua barang-barangmu! Aku tidak bisa membiarkanmu tinggal di sini lagi.” “Tapi Adam—” “Sekarang!” sela sang pria den
Amber memeriksa tubuhnya sendiri dengan raut bingung. “Bukankah ini normal? Orang-orang sering demam saat menyambut musim semi.” “Ini masih musim dingin dan suhu belum naik. Kau pasti kelelahan karena Ruby. Sekarang juga, kau harus istirahat.” Adam membantu sang istri berdiri dan memandunya berjalan menuju kamar. “Aku hanya demam, Jewel. Kenapa kau memperlakukanku seperti nenek berusia 90 tahun?” “Jangan banyak protes! Beristirahat saja di kamar. Aku akan membawakanmu teh hangat dan apel. Kau harus segera mengisi tenaga.” Mendapat perhatian sebesar itu, Amber pun mengulum senyum. Sambil memeluk sang suami, ia menyandarkan kepala di pundak bidangnya. “Kau tidak perlu membawakan itu. Cukup temani aku saja. Aku pasti langsung sembuh.” “Tidak. Kau butuh teh hangat dan apel. Aku akan menemanimu setelah menyiapkannya.” Begitu pintu ditutup, mata Ruby perlahan membuka. Setelah menoleh ke arah kamar si tuan rumah, ia mendengus kesal. “Aku hampir saja mati. Tapi, kenapa malah perempuan
“Apa itu?” tanya Adam dengan alis berkerut. Sebelum kecurigaan sang pria membeludak, Ruby cepat-cepat menjawab. “Bukankah ini minuman favoritmu? Aku mencoba mengikuti resep dari internet. Kuharap rasanya sama dengan yang diseduh oleh istrimu.” Sama sekali tidak ada beban dari nada bicara Ruby. Namun, hal itu belum cukup untuk meyakinkan Adam. Pria itu masih bergeming dengan tatapan terkunci pada uap tipis yang timbul dari permukaan teh. “Kenapa kau diam saja? Apakah kau keberatan meminumnya? Kau mengira aku tega memasukkan racun ke dalam sini?” tanya Ruby dengan nada kecewa. Keputusasaan kembali mewarnai wajahnya. Khawatir jika sang mantan bertindak nekat lagi, Adam cepat-cepat mengambil cangkir itu. “Tidak, aku hanya ... senang karena kau sudah berniat baik untuk memperbaiki hubungan denganku dan Amber.” Si perempuan pucat sontak melengkungkan bibir lebih lebar. “Kalau begitu, cepat diminum. Teh itu tidak akan terasa nikmat kalau sudah dingin.” Sembari mendesah samar, Adam m
"Amber, tolong keluar sebentar! Kita harus bicara." Mendengar seruan dari luar pintu itu, Amber pun terbelalak. Dengan penuh tanya, ia mengamati mata suaminya. "Ruby mencariku? Bukan mencarimu? Apa yang dia inginkan?" Alis Adam mulai berkerut tak senang. Kekhawatiran telah menambah gerah tubuhnya. Ia yakin, mantan kekasihnya itu masih mengenakan pakaian tipis tadi. Pertengkaran pasti akan terjadi jika sampai Amber melihatnya. "Abaikan saja. Dia pasti sengaja ingin mengganggu kita," gumam Adam sebelum menyunggingkan senyum dan membelai lembut wajah istrinya. Namun, tepat ketika ia hendak merapat, suara ketukan kembali mencuri perhatian. "Amber, apa kau tidak dengar? Kita harus bicara. Ada yang perlu kau ketahui tentang Adam." Keresahan sang pria tidak bisa lagi diredam. Sembari menggertakkan geraham, ia meraih ponsel dan memasang lagu dengan volume maksimal. "Kau sungguh tidak ingin diganggu, rupanya," ujar Amber yang terbaca lewat gerak mulut. "Ya, aku ingin melahapmu sekar
Melihat air mata kemarahan menebal di pelupuk Amber, Ruby mendengus remeh. Sembari melipat tangan di depan dada dan memiringkan kepala, ia menambah bara dalam hati lawannya. “Aku heran kenapa kau begitu mudah percaya pada suamimu. Tadi pagi saja, kau seharusnya sudah curiga melihat kami berbisik-bisik mesra. Kau tahu apa yang sesungguhnya dikatakan Adam kepadaku?” Ruby menempatkan sebelah tangan di samping mulut lalu berbisik, “Dia bingung harus mulai dari mana untuk menyingkirkanmu.” Tanpa terduga, tangan Amber melayang menuju kepala Ruby. Dengan sekuat tenaga, ia mencengkeram rambut yang mengganggu matanya itu. “Hei!” Ruby spontan meringis dan membungkuk. Kulit kepalanya bisa ikut tercabut jika ia tidak mengikuti arah gerak Amber. “Aku sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapimu. Pelakor murahan sepertimu tidak pantas dibantu. Kau seharusnya membeku saja di kolam itu!” Tanpa sedikit pun iba, si wanita hamil mulai menyeret Rambut Merah itu keluar. Ia tidak peduli jika perempu
“Hentikan, Adam! Tolong beri aku waktu. Untuk saat ini, aku tidak ingin mendengar apa-apa darimu,” tutur Amber seraya memejamkan mata. Rasa pusing mulai mengguncang kepalanya. “Tapi Precious—” “Kubilang hentikan!” hardiknya dengan suara mendidih. Kedua tangannya kini terangkat menutupi telinga. “Jangan jelaskan apa pun lagi! Aku tidak ingin tahu.” Adam semakin sesak melihat penderitaan Amber. Ia tidak berani lagi bersuara, khawatir jika kata-katanya menambah duri dalam jantung istrinya itu. Sambil menelan ludah pahit, ia bergeser mendekat. Tangannya terulur menuju pundak yang terbebani kesedihan itu. Malangnya, ketika ia hampir menyentuh, Amber sudah lebih dulu berlari masuk ke rumah. “Precious ....” Adam hanya bisa menatap punggung sang istri dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin sekali merengkuhnya, mengucap kata maaf dan segala penyesalan. Namun, ia juga mengerti bahwa bukan itu yang dapat memulihkan kepercayaan, melainkan pembuktian. “Kau!” hardiknya sembari berbalik mengh