"Harus berkonsentrasi, agar semua cepat terselesaikan," gumamnya saat memasuki goa. Leo melangkah dengan perlahan, lalu merendahkan tubuhnya di tepi kolam, yang akan menjadi tempat pertapaan sang Tuan. Tanpa menunggu lama Austin langsung turun dari tubuh Leo dan mengusap lembut kepala besar binatang buas itu. "Apa yang akan kau lakukan selama aku bertapa di sini?" tanya Austin mencemaskan keberadaan Leo saat ia memulai pertapaannya. Leo mengendus pelan ke tubuh Austin lalu bersikap manja padanya. Pikiran itu semakin membuatnya merasa cemas. "Apa yang kau makan nanti? Kau tidak bisa keluar jika tanpa bantuan kekuatanku," sambungnya masih mengusap kepala besar Leo. Leo mengaum, mengangkat kepalanya, menengadah ke atas. Hal itu membuat Austin mengerutkan keningnya. Belum lagi saat Leo melangkah meninggalkannya ke arah pintu masuk goa. "Tunggu! Kau mau ke mana? Tubuhmu akan hancur jika melintasi air terjun itu," teriak Austin sambil mengejar langkah Leo. Leo bukannya ingin keluar da
"Sepertinya aku ambil lorong yang ini saja," gumamnya memutuskan. Ia kembali melanjutkan langkahnya, masih dengan dua kristal yang masih di dalam genggaman. Langkah demi langkah ia ambil dengan kewasapadaan tinggi. Hingga ia membolakan mata saat melihat satu hewan bertubuh besar, hewan berkaki banyak yang tak lain adalah laba-laba. "Besar sekali, apakah ini yang dimaksud naga tadi?" gumam Austin bersamaan dengan langkah yang terhenti. Ia berjalan mengendap-endap, tanpa diduga laba-laba yang sedang tertidur itu membuka matanya dengan sempurna. Mata berwarna biru, kontras dengan kristal yang ada di goa tersebut. Tatapannya seolah marah pada pria yang sudah memasuki kekuasaannya. Laba-laba itu mengangkat tubuhnya, terbangun dan melangkah dengan perlahan. "Apa yang harus kulakukan? Haruskah kubakar saja laba-laba ini?" gumamnya bingung. Austin mengangkat tangan bersamaan dengan langkahnya, ia mengeluarkan api dari tangan tersebut dan mengarahkannya pada laba-laba tersebut. Sialnya
'Panas sekali,' batin Austin merasakan energi yang memasuki tubuhnya. Tubuh seakan tebakar hingga menghancurkan tulang, meski begitu ia hanya mengeluarkan keringat dengan kulit memerah. Mata masih terus terpejam, tertutup rapat masih menahan kesakitannya. Hingga sakit itu mulai berangsung hilang, bulir merah kehitaman mulai keluar dari pori-porinya. Hingga mengeluarkan berbau yang sangat amis dan menyengat. Begitu Austin membuka mata, ia melihat banyak genangan darah terhampar luas di hadapannya. Ia seperti orang yang kehilangan arah, napasnya tersengal karena energi yang memaksa masuk ke dalam tubuhnya. "Apakah ini dimensi lain? Ke mana naga itu?" gumamnya. Austin masih memperhatikan sekitar. Meski berbeda dengan dimensi sebelumnya, tapi dimensi ini juga tak memiliki apa pun di dalamnya. "Ya, aku harus mencari pohon itu lagi, entah siapa atau hewan apa lagi yang akan mendatangiku," gumamnya, mulai berdiri dan melangkah tanpa arah. "Aku harus cepat, kenapa Tuan Aldrik dan Kakek
"Susui dulu anak kita," balas Austin sambil tersenyum. Austin terus memainkan tangan nakalnya di benda kenyal itu. Gairahnya pun terpancing karena tangan Kenny palsu yang saat ini sedang meraba pahanya. Austin memejamkan matanya, merasakan sensasi nikmat dari sentuhan tangan wanita itu. "Lusy! Tolong bawa Tuan muda ke kamarnya," pinta Kenny palsu memberikan bayi yang ada di tangannya. "Baik, Nyonya," balas Lusy palsu sambil meraih bayi tadi. Tanpa Austin sadari bayi yang dibawa Lusy tadi tidak meminum susu dari dada Kenny palsu, tapi ia meminum darah. Bahkan jejak darah itu tertinggal di sudut bibirnya. "Sayang, aku sangat merindukanmu," bisik Kenny palsu dengan nada sensual nan menggoda. Ia pun mendudukkan diri di pangkuan Austin. Saling berhadapan hingga kedua inti gairah mereka bersatu, meski terhalang pakaian yang dikenakannya. "Aku juga sangat merindukanmu," balas Austin yang sudah terbakar gairah. Austin mulai memajukan wajahnya, mencumbunya dengan rakus. Melupakan kenya
"Aku akan memberitahumu, asalkan kau memenuhi syarat yang kuberikan," balas Alana masih bergelayut manja pada Austin. "Katakan, jangan membuang waktuku." Austin menatap wajah Alana, wanita cantik itu tersenyum saat mendapatkan tatapan dari pria yang baru saja mencuri hatinya. "Bawa aku bersamamu dan nikahi aku," pinta Alana. "Kau membual, aku tidak mungkin menikahi iblis sepertimu," balas Austin marah dan langsung mengempaskan tangan wanita tersebut. Alana mengepalkan tangannya, ia menatap Austin dengan senyum paksa. 'Baiklah, sekarang mungkin kau tidak mau menikahiku, tapi setelah aku sudah berada di dunia manusia maka kau harus menikahiku,' batinnya berencana. "Kenapa kau tersenyum seperti itu? Sekarang katakan di mana kau menyimpan tongkat putih itu," tanya Austin lagi. "Baiklah, aku akan mengatakannya, asal kau berjanji akan membawaku bersamamu keluar dari dimensi ini," balas Alana. Austin tidak mengatakan persetujuannya, ia hanya menganggukkan kepala pada wanita yang ada
"Abaikan permintaannya, lebih baik cepat kau naik. Jangan menghabiskan waktumu untuk iblis itu," ucap naga merah memperingati. Austin mengangguk antusias, ia meloncat ke tubuh naga dan terbang meninggalkan kekesalan Alana. "Berengsek! Awas kau, lihat saja, aku akan berusaha keluar dari sini dan memasuki duaniamu. Aku akan menghancurkanmu dan juga manusia lainnya," maki Alana dengan dendam yang baru saja tersemat di hatinya. "Bagaimana dia bisa berada di lembah itu? Apa kesalahan yang telah dia perbuat?" tanya Austin. "Kau tak perlu tahu, itu bukan urusanmu. Lebih baik kau fokus saja pada tujuanmu," balas naga merah yang enggan menceritakan kisah Alana. "Baiklah, setelah ini apa yang harus aku lakukan?" tanya Austin. "Seperti sebelumnya. Kau harus merendam tubuhmu dan bawa tongkat itu menuju dimensi lain. Kau harus menyelesaikan tugas terakhirmu di sana," balas naga. "Benarkah itu adalah tugas terakhirku? Tidak ada yang dimensi lain lagi yang harus kukunjungi setelahnya?" tanya
"Apa yang anda katakan Tuan? Bahaya apa yang anda maksud?" tanya Kenny cemas. Seketika langit menjadi hitam, lalu mulai menjatuhkan hujan dan membasahi semua orang yang ada di lapangan. "Tetap di tempat, jangan bergerak," pinta Tuan Aldrik. Semua tetap di tempat, membiarkan tubuh mereka basah karena hujan yang terus mengguyur bumi. Tapi Kenny masih penasaran dengan ketakutan yang Tuan Aldrik gumankan. Tanpa diduga bayi yang ada di gendongannya tersenyum, tertawa dan terbang dari gendongan sang Ibu. "A-anakku!" teriak Kenny dengan tangan menggantung diudara. Bayi laki-laki itu seperti bermain dengan hujan di udara, bahkan petir yang menyambar seolah tak membuatnya takut. Lain halnya dengan Kenny, wanita itu sangat ketakutan melihat apa yang terjadi dengan anaknya. "Biarkan saja, alam sedang menyambutnya," ucap Tuan Aldrik. Nyonya Aldrik meraih tubuh Kenny, ia menenangkan Kenny dengan memeluknya. "Biarkan saja Nak, kau tidak lihat tawa bahagia anakmu. Nanti dia akan turun," ucap
"Baik, Tuan," balas rombongan pria lain. Mereka masih berjalan hingga matahari sudah berada tepat di atas kepala. Taun Aldrik senantiasa menemani pria bertubuh gempal untuk mengistirahatkan diri. Ia pun duduk di bawah pohon rindang, sambil menatap pintu masuk desa yang terlihat dari atas bukit. Hatinya merasa cemas, masih mengharapkan kedatang Tuan Arthur untuk menolong mereka. Penglihatan tentang kehancuran itu terlihat samar, meski begitu ia mengetahui waktu tragedi itu terjadi. Ia melihat langit keemasan, semakin terang akibat kebakaran yang Perneco lakukan. "Ayo kita jalan lagi," ajak Tuan Aldrik pada pria di sampingnya. Pria bertubuh gempal itu menganggukkan kepalanya, ia berjalan meski tertatih dengan sekarung persediaan makanan di punggungnya. "Tuan, anda duluan saja. Aku akan mengikutimu dari belakang," ucap pria itu karena tak enak hati saat Tuan Aldrik mengimbangi langkahnya. "Kita jalan bersama, aku pun sedang mengintai sekitar. Takut Perneco tiba-tiba mengetahui kebe