Raja mengingat-ingat siapa orang yang ada di hadapannya itu, tetapi wajah pria seumuran Banara itu masih tampak asing. Kalau dilihat-lihat lebih mendalam, pria itu bukan asli Nusantara.“Tidak. Siapa anda? Aku tidak mengingatnya.” akhirnya Raja bertanya kembali.“Wajar Pak Raja tidak mengingat saya. Kita terakhir kali bertemu saat Pak Raja masih berumur 10 tahun,” tanggap Jamal.Saat umur 10 tahun? Itu artinya Jamal juga berasal dari Negara Capitol.“Apakah anda mengenal Ayah saya?” tanya Raja memastikan.“Bukan hanya mengenal, saya dan Pak Banara adalah sahabat,” balas Jamal dengan senyuman lebar. “Kami masih saling berkomunikasi hingga saat ini. Tiga hari yang lalu Pak Banara memberi tahu saya kalau Pak Raja ada di Indonesia. Sungguh saya sangat senang bisa bertemu kembali dengan Pak Raja.”Setelah Jamal mengatakan itu, perlahan Senyumannya berubah menjadi kesedihan, “Saya turut prihatin dengan kesehatan Pak Banara yang semakin menurun … Pak Banara sangat menyesali perbuatannya di m
“Tapi kalau dilihat dari ekspresi wajah Bapak, sepertinya Bapak Takut. Benar, begitu?” Walau ucapannya begitu santai, pancingan Raja sudah cukup membuat Agung panas hati. “Baiklah kalau begitu, tantangan sepertinya dibatalkan.”Raja tahu ujung-ujungnya Agung pasti menerima tantangannya. Dia melakukan hal demikian karena ingin memberikan pelajaran pada mantan manajernya itu dan para pelayan kurang ajar yang suka menghina orang lain.“Berani juga nyalimu, Raja,” kata Agung tersenyum sinis. “Kamu nggak selevel denganku karena kamu ibaratnya seperti tumpukan sampah yang menjijikkan!”Raja kembali memanas-manasi Agung, “Itu artinya Bapak takut dengan tantanganku?”“Bajingan, kamu!” Agung menunjuk Raja dengan raut wajah tampak benar-benar murka.Namun, kemarahan Agung mendadak nerubah menjadi senyuman seringai. Dia baru sadar kalau Raja sedari tadi pasti berbicara melantur. Bukankah itu justru kabar bagus untuknya? Tantangan Raja sangatlah menarik, memiliki karyawan yang tidak perlu digaji
Agung yang mendengarnya tampak menahan amarahnya. “Maafkan ketidaknyamanan ini, saya akan mengusir pria itu,” ucapnya sopan.Agung tak akan membiarkan Raja mengacaukan suasana yang mungkin saja bisa membuat Anton meninggalkan kafe miliknya. Lantas dia menghampiri suami Ayyara itu dengan wajah penuh amarah.“Pergi dari sini!” bentak Agung sembari sebelah tangannya menunjuk ke arah pintu keluar. “Dasar nggak tahu malu! Attitude-mu nol besar!”Raja justru menanggapinya dengan santai, “Bapak mengusir saya? Itu artinya Bapak mengakui kekalahan Bapak dan siap menerima hukuman yang telah disepakati? Benar begitu, Pak?”“Kamu!” Agung tampak benar-benar murka. Namun, otak Agung langsung berpikir cepat. Kalau dia mengusir Raja, itu sama saja dia menerima kekalahan dalam tantangan ini. Tentu dia akan malu membiarkan pria rendahan itu menang darinya, juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjadikan Raja sebagai pelayannya seumur hidup tanpa digaji. Di sisi lain, Agung tidak ingin suami Ayya
“Bersiap-siaplah, Pak!” seru Raja dengan penuh penekanan. “” Jelas keringat dingin semakin bercucuran di kening Agung, sebab kalimat Raja yang penuh penekanan mengingatkan dirinya soal tantangan. Agung mencoba bersikap tidak panik. Dia menatap tajam pada Raja dan berkata, “Kamu pasti menipuku! Ngaku, sisanya pasti uang mainan, 'kan?!” “Baiklah, silahkan cek lagi sedetail mungkin. Kalau perlu panggil pelayan Bapak,” balas Raja dengan santai. Dia lalu menoleh pada Anton. “Bapak juga boleh membantu mengeceknya.” Anton bersikap netral, seolah-olah dia tidak mengenal Raja, “Baiklah, aku bersedia mengecek keaslian uangnya,” katanya sembari berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah meja makan Raja. Semua orang ikut mengecek, bahkan Agung mengacak lembaran demi lembaran uang dengan harapan dia menemukan lembaran palsu. Dengan sikap penuh berwibawa, Anton berkata, “Semuanya asli, tidak ada satu pun yang palsu.” dia tersenyum puas melihat wajah Agung yang tampak semakin gelisah.
Gertakan Raja berhasil membuat nyali Agung semakin menciut, apalagi dia sama sekali tidak terlihat sedang bercanda.Melihat Agung masih belum melaksanakan perintahnya, Raja mengambil sejumlah uang di kantong kresek hitam dan melemparkannya pada pria itu.“Aku tambah 500 ribu asal Bapak menampar wajah semua karyawan Bapak sampai merah lebam,” seru Raja dengan begitu serius.Justru Agung tampak bersemangat, dia pun menoleh dan memanggil semua karyawannya, “Cepat ke sini kalau kalian nggak mau dipecat!”Awalnya semua karyawan mengelengkan kepala pertanda menolak, tetapi mendengar kata pemecatan, mereka terpaksa mendekat dan harus merelakan wajahnya menjadi santapan sang Bos.PLAK! PLAK! PLAK!Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Agung mulai menampar karyawannya satu per satu hingga wajahnya merah lebam.Melihat Agung semakin membabi buta menampar semua pelayan itu, Raja menghentikannya, “Cukup!”Namun, Agung justru tak menghentikannya karena berharap dia mendapat uang tambahan lagi da
Agung terkesiap, kalimat itu bak peluru yang menghunjam jantungnya, sangat menyakitkan. Namun, dia tak berdaya sama sekali dan memilih tetap menjalankan hukumannya. Yang terpenting sebentar lagi dia akan mendapatkan uang puluhan juta. Bahkan sembari lari di tempat, dia sekilas tersenyum karena sejujurnya total dari semua menu yang ada di kafenya hanyalah sekitar 20 juta-an saja. Namun, tidak semudah itu. Di titik ini saja napasnya mulai terengah-engah, padahal kurang dari 50 kali lari di tempat. Bahkan semangatnya mulai kendor dan memperlambat gerakannya.“Jangan curang!” bentak Anton. “lari bukan malah jalan di tempat!”“Baik, Pak.” Agung spontan mempercepat gerakannya kembali.Hingga sekitar 2 menit kemudian, akhirnya Agung mengaku nyerah, “Aku nggak kuat lagi, kakiku rasanya mau patah,” ucapnya hampir tidak terdengar jelas karena napasnya terengah-engah seirama dengan jantungnya yang berdetak kencang.“Terima kasih, usaha Bapak untuk menghiburku cukup berkesan,” ucap Raja dengan w
Ucapan Raja sebenarnya hanyalah sebuah sindiran, tetapi mereka mengartikan ucapan itu sebagai sebuah ancaman untuk merebut harta warisan dari keluarga Nugraha.“Ternyata, Kamu!” Bahri menunjuk Raja dengan raut wajah merah padam. Dia lalu mencengkeram kerah baju pria itu dengan tatapan mata melotot. “Bagsat! Kurang ajar! Jadi itu alasanmu masuk ke keluarga kami, hah?!” dampratnya sembari mendorong pria itu. “Sial! Rupanya dari dulu kamu dan Ayya berencana merebut harta warisan dari kami!”Margareth tak kalah emosinya. Bahkan wanita itu mendekat dan melayangkan sebuah tamparan pada Raja, “Bajingan kamu!”Raja menahan tangan Margareth di udara dan menghempaskannya dengan pelan. Kemudian, dia melangkah begitu saja memasuki rumah sakit.“Mau kemana kamu, hah?!”“Berhenti, Sampah!”“Dasar penjahat! Jangan harap kamu merebut harta warisan dari kami!”Bahri, Radit, dan Margareth bergantian berteriak. Namun, Raja menghiraukannya dan tetap membawa langkahnya menuju ke dalam.Tak lama kemudian,
Bahri, Margareth, dan Radit benar-benar terkejut mendengar kalimat itu keluar dari mulut Nugraha. Mereka tidak menyangka perubahan pria tua itu kentara terlihat jelas. Padahal dulu Nugraha tidak menyukai kehadiran Raja dan hanya terpaksa merestui hubungan Raja dengan Ayyara, tetapi kini semuanya sudah berubah. Bahkan Nugraha membela menantu rendahan itu dan berani mengusir anak dan cucu kandungnya sendiri.Bahri, Margareth, dan Radit beranggapan bahwa Raja dan Ayyara perlahan telah berhasil menjalankan rencana liciknya. Bukan tidak mungkin kalau ini terus terjadi, pasangan suami istri itu benar-benar akan menguasai harta Nugraha.“Apa yang Papa katakan? Kenapa sekarang Papa membela pria sialan itu? Bukankah dulu Papa membencinya, bahkan Papa nggak melarang saat kita mau menjodohkan Ayya dengan Marcel,” ungkit Margareth. Melihat Nugraha tampak kepikiran, dia pun segera menambahkan. “sepertinya Papa mulai terpengaruh oleh Ayya dan suaminya.”Nugraha bukan tersadar dengan ucapan Margaret